Renta Diterpa Bencana, tetapi Tetap Berdaya
Bencana tak lantas membuat patah semangat. Bencana justru harus menjadi energi tambahan untuk tetap berdaya.
Bencana bukan penghalang untuk tetap berkarya, termasuk di kalangan lanjut usia dan kelompok rentan lainnya. Tak mau bergantung pada orang lain jadi daya ekstra terus bergerak.
Sanating (70) mengelap wajahnya yang berlumur keringat. Ia bersiap menjual hasil jerih payah hari itu. Tiga wadah plastik berisi dua jenis kue siap untuk dijual. Kue tersebut masih hangat. Seperti sore-sore yang lain, ia berencana berkeliling kompleks hunian sementara untuk menjajakan racikannya itu.
Begitu hendak meninggalkan hunian sementara (huntara), Sanating kedatangan tamu. Tak sekadar bertamu, salah satu anggota rombongan tersebut memborong kuenya. Kue cantik manis yang lembut berwarna dominan hijau dan ubi jalar goreng dibalut tepung terigu ludes terjual.
Tamu tadi bahkan membeli dengan harga melebihi yang seharusnya. Normalnya ia mengantongi Rp 100.000 dari hasil menjual kue. Kali ini ia mendapat rezeki hingga 50 persen lebih banyak dari harga normal itu. Saban hari Sanating mendapatkan laba bersih Rp 40.000 dari hasil penjualan kue.
”Cukup untuk beli garam,” ucap penyintas gempa dan tsunami itu di kompleks huntara Kelurahan Lere, Kecamatan Palu Barat, Kota Palu, Sulawesi Tengah, Senin (21/9/2020).
Sanating adalah penyintas gempa dan tsunami yang melanda Kota Palu, Kabupaten Donggala, dan Sigi, 28 September 2018, atau dua tahun lalu. Rumahnya yang tak sampai 50 meter dari garis pantai Teluk Palu di Jalan Cumi-cumi hancur.
Satu cucunya meninggal akibat bencana itu. Duka tersebut datang setelah sebulan sebelumnya ia kehilangan suami, Moh Tahir (82).
Rumahnya yang hancur tak bisa diperbaiki untuk ditempati lagi karena area permukiman itu ditetapkan sebagai zona merah atau terlarang untuk pembangunan hunian baru. Bersama tak kurang dari 200 keluarga, ia menempati huntara.
Gempa bermagnitudo 7,4 disusul tsunami dan likuefaksi dua tahun lalu itu menewaskan 3.124 orang, sebanyak 705 jiwa hilang, dan korban dikubur massal tanpa identitas 1.016 jiwa. Bencana itu juga merusak 110.214 rumah. Total nilai kerusakan Rp 24,96 triliun.
Baca juga : Penyintas Tak Tinggal Diam di Huntara
Penyintas dengan rumah rusak berat saat ini masih tinggal di huntara. Baru sebagian kecil yang sudah menempati hunian tetap di tempat relokasi.
Sanating, sebagaimana penyintas lainnya di Lere, menempati huntara dengan tinggi 2 meter, panjang 5 meter, dan lebar 4 meter. Dindingnya dari papan lapis, lantai semen kasar yang ditutupi perlak. Sementara bagian dapur yang ada di belakang huntara berukuran panjang 5 meter, lebar 1,5 meter, dengan atap lebih pendek dibandingkan dengan atap bagian utama huntara.
Berada di huntara pada siang hingga sore hari, hawa panas sangat terasa. Tak butuh waktu lima menit untuk merasakan peluh bermunculan di wajah.
Sanating tinggal sendiri di huntara itu dua tahun terakhir. Kelima anaknya tinggal di tempat lain dengan keluarga masing-masing.
Huntara itu jadi saksi betapa Sanating punya kemauan besar untuk hidup mandiri. Ia memenuhi kebutuhan hidup harian dari hasil jerih payah sendiri dengan menghasilkan berbagai macam kue. Tak soal mendapatkan berapa, ia hanya ingin tetap beraktivitas seperti dulu. Sebelum bencana gempa, ia terbiasa menjelajahi pasar-pasar mingguan di sekitar Palu untuk menjual ikan panggang/ikan asap.
”Masih lebih enak makan dari hasil keringat sendiri daripada menunggu dikasih orang,” katanya.
Kemauan besar untuk tetap berdaya itu membuat Sanating menampik ”keenakan” tinggal dengan salah satu dari lima anaknya. Keuntungan Rp 40.000 per hari dari hasil berjualan kue sudah lebih dari cukup untuk membiayai hidup hariannya. Ia memegang teguh prinsip kalau masih bisa bekerja kenapa harus menyerah.
Bencana lalu pun tak menjadi alasan pembenar untuk menyerah ataupun menggantungkan hidup pada kelima anaknya. ”Saya harus gerak sedikit setiap hari biar tidak sakit. Alhamdulillah selama ini saya tidak sakit dan bisa bekerja yang ringan-ringan seperti ini,” ujarnya merujuk usaha kue dari dapur huntaranya.
Baca juga : Modal Usaha untuk Penyintas Mulai Dikucurkan
Daya besar Sanating untuk tetap tak menyerah sudah terajut tiga bulan pascagempa. Saat itu Kota Palu dan dua daerah lainnya masih berjibaku dengan tanggap darurat. Ia mulai bekerja dengan menyajikan nasi kuning seharga Rp 5.000 per bungkus. Nasi kuning dijual ke penghuni huntara atau sukarelawan yang menyambangi kompleks huntara silih berganti. Karena banyak penyintas menggeluti usaha sama, ia lalu beralih ke usaha kue.
Masih lebih enak makan dari hasil keringat sendiri daripada menunggu dikasih orang. (Sanating)
Nasi kuning jamak dijumpai di pinggir jalan di Palu. Satu porsi berisi nasi yang memang berwarna kuning ditambah potongan daging ayam atau ikan suwir plus sambal.
Kelompok usaha
Untuk keberlanjutan usaha, difasilitasi Jejaring Mitra Kemanusiaan (JMK)-Oxfam, Sanating bersama ibu rumah tangga lainnya di kompleks huntara Lere bergabung dalam kelompok usaha Nosarara. Kelompok itu menjadi wadah para ibu untuk saling memotivasi mengembangkan usaha.
Organisasi sosial itu memberikan insentif modal usaha setiap anggota Rp 1,6 juta setahun pascagempa. Sanating menggunakan modal itu untuk membeli blender, termos, dan wadah penyimpanan kue. ”Saya masih sehat, saya akan terus buat kue,” ucapnya.
Di Kelurahan Lere, JMK-Oxfam membentuk lima kelompok usaha dengan total anggota 125 orang. Sebagian besar anggotanya perempuan, orang lanjut usia, dan penyandang disabilitas. Mereka penyintas yang sebelum gempa menggantungkan hidup dari hasil laut Teluk Palu, seperti menjual udang merah kecil dan ikan panggang. Mereka diberi modal usaha Rp 1,6 juta per orang. Bantuan yang dikucurkan JMK-Oxfam bertujuan untuk merangsang mereka tetap berkarya pascabencana.
”Setelah gempa, hidup jalan terus. Ya, kami harus tetap bekerja,” ujar Siti Arfa (45), Ketua Kelompok Usaha Bahari 1.
Kelompok itu menjual udang merah kecil yang dikeringkan. Suku Kaili yang mendiami Palu menyebut udang merah kecil itu dengan sebutan lamale.
Kelompok yang diketuai Siti beranggotakan enam orang, semua keluarga dekatnya. Dua di antaranya penyandang disabilitas. Bersama-sama, mereka menjaring lamale dari tengah malam hingga subuh di pinggiran Teluk Palu, menjemur sampai kering, lalu menjual per kilogram seharga Rp 40.000.
Selain penguatan produksi, anggota kelompok juga diberi pelatihan untuk pemasaran dalam jaringan. Sejumlah produk mulai dipasarkan melalui media sosial, di antaranya ikan asap.
Selain di Kota Palu, JMK-Oxfam juga membantu penyintas di desa-desa Kabupaten Sigi dan Donggala. Di Sigi, antara lain, penyintas membentuk kelompok ternak kambing dan kelompok pengolahan sagu.
Jelang akhir September bersamaan dengan selesainya partisipasi JMK-Oxfam dalam program pemulihan Sulteng, setiap anggota kelompok diberi modal tambahan sekitar Rp 900.000 untuk memastikan usaha mereka terus berkembang.
Koordinator Pemulihan JMK-Oxfam Sulteng Yospina L La’bi mengatakan, kelompok usaha tetap akan didampingi meskipun intervensi langsung berakhir. Ada pendamping dari desa atau kelurahan setempat yang bertugas untuk memastikan keberlanjutan kelompok usaha tersebut.
Sanating dan para ibu di Kelurahan Lere, serta tempat lain di Palu, Donggala, dan Sigi membuktikan tak ada kata menyerah setelah ditimpa bencana. Bencana sering menjadi pelecut untuk tetap berdaya.