RUU Cipta Kerja Dinilai Perburuk Nasib Buruh Kebun
RUU Cipta Kerja bakal disahkan. Banyak orang menilai kebijakan itu tidak solutif termasuk para buruh. Buruh di Kalteng menilai kebijakan tersebut bakal memperburuk keadaan buruh kebun.
Oleh
DIONISIUS REYNALDO TRIWIBOWO
·4 menit baca
PALANGKARAYA, KOMPAS — Pengesahan Rancangan Undang Undang Cipta Kerja dinilai akan memperburuk kondisi buruh kebun. Salah satu yang paling dicermati adalah persoalan upah. Di Kalimantan Tengah, masih banyak buruh sawit mengeluh soal upah dan sistem kerja borongan yang diterapkan perusahaan.
RUU Cipta Kerja tinggal selangkah menuju disahkan menjadi Undang Undang (UU). Jadwal Rapat Paripurna DPR untuk mengesahkan RUU Cipta Kerja belum ditentukan. Yang pasti, sebelum masa reses DPR pada 9 Oktober 2020.
Dalam rapat pada Sabtu malam, dari sembilan fraksi di DPR, hanya dua fraksi yang menolak RUU Cipta Kerja disahkan sebagai UU, yakni Fraksi Partai Keadilan Sejahtera dan Fraksi Partai Demokrat (Kompas, Senin 5 Oktober 2020).
Rancangan Undang Undang tersebut bakal berdampak pada banyak aspek. Salah satunya buruh di perkebunan. Di Kalteng, perkebunan sawit menjadi salah satu sektor penopang ekonomi. Data dari Dinas Perkebunan Provinsi Kalteng, setidaknya saat ini terdapat 333 perusahaan perkebunan sawit yang mendapat izin konsesi dengan luas mencapai 3,9 juta hektar. Namun, saat ini hanya 188 perusahaan yang beroperasi dengan total luas mencapai 1,13 juta hektar.
Di sektor itu ratusan ribu buruh menaruh harapan untuk menghidupi keluarganya. Sekretaris Serikat Pekerja Sawit Indonesia (Sepasi) Provinsi Kalteng Dianto Arifin mengungkapkan, pihaknya sejak awal menolak adanya RUU Cipta Kerja. Menurut dia, kebijakan itu sama sekali tidak memberikan solusi dalam permasalahan yang dihadapi buruh kebun saat ini.
”Kebijakan yang ada sudah membuat begitu banyak persoalan apalagi yang baru. Dalam rancangan itu, ada pengurangan pesangon dan penghilangan upah minimum lalu diganti upah per jam,” kata Dianto di Palangkaraya, Senin (5/10/2020).
Dianto menjelaskan, saat ini banyak pekerja kebun di Kalteng yang diupah tidak mengikuti standar Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang mengharuskan perusahaan memberikan upah minimum sektoral kabupaten (UMSK). Saat ini, sebagian besar buruh sawit di Kalteng diupah dengan sistem borongan.
”Sistem itu kan menggunakan target, misalnya kalau hari ini memupuk targetnya 40 karung per hari tapi normalnya kami hanya bisa 25 karung, jadi upahnya dibayar setengah saja,” kata Dianto.
Dianto mengungkapkan, jika bisa memenuhi target borongan, buruh mendapatkan Rp 199.000 per hari. Namun, situasi di lapangan berbeda. ”Banyak target borongan yang sulit sekali dicapai karena tidak logis dikerjakan manusia, apalagi masih ada perusahaan yang tidak menyediakan APD lengkap,” katanya.
Dianto mengungkapkan, jika kebijakan Cipta Kerja itu disahkan buruh kebun tidak lagi memilih harapan. Banyak konflik yang bakal muncul. Selain itu, akan banyak orang juga kehilangan pekerjaan.
”Kebijakan ini tidak memihak buruh kecil seperti kami, tetapi memihak perusahaan,” ujar Dianto.
”Kebijakan ini tidak memihak buruh kecil seperti kami, tetapi memihak perusahaan.
Sekretaris Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) Kalimantan Tengah Halind Ardi mengungkapkan, pihaknya juga mengkritisi beberapa poin pada RUU Cipta Kerja. Bahkan, GAPKI pusat juga ikut memperjuangkan hak-hak buruh yang dipotong dalam kebijakan tersebut.
”Akan tetapi, ini kan kebijakan, ya. Kami juga tidak bisa melawan pemerintah. Jadi, tetap semuanya harus dipertimbangkan, di satu sisi kesejahteraan buruh juga penting,” kata Halind.
Halind menjelaskan, persoalan upah memang selalu muncul jauh sebelum RUU Cipta Kerja atau yang kerap disebut Omnibus Law itu dibahas oleh legislatif. Menurutnya, upah merupakan kesepakatan antara perusahaan dan pekerja di awal. ”Jadi, itu harus sudah ada kesepakatan sehingga kemudian hari tidak ada lagi masalah,” katanya.
Halind mengungkapkan, anggota GAPKI Kalteng mencapai 110 perusahaan dengan total 302.000 buruh sawit. Jumlah itu di luar dari keluarga yang dibawa tinggal di dalam perkebunan atau di sekitar perkebunan.
”Kami setiap tiga bulan itu ada evaluasi, jadi jika ada masalah buruh sawit harus berani melaporkannya, jangan diam saja,” kata Halind.
Kepala Dinas Ketenagakerjaan Provinsi Kalteng Syahril Tarigan enggan berkomentar banyak lantaran belum melihat lagi isi terbaru dari RUU Cipta Kerja dan kaitannya dengan buruh. Meskipun demikian, menurut dia, pembahasan kebijakan itu sudah dilakukan dengan melibatkan banyak pihak, termasuk poin-poin yang dikritisi serikat buruh.
”Kami siap menjalankan saja dan menyesuaikan dengan kondisi di daerah jika memang sudah disepakati dan disahkan, tetapi saya pikir kebijakan itu dibuat juga untuk kebaikan semua,” ungkap Syahril Tarigan.