Tolak RUU Cipta Kerja, Serikat Buruh di DIY Mogok Kerja Tiga Hari
Sejumlah organisasi serikat buruh di Daerah Istimewa Yogyakarta akan melakukan mogok kerja pada 6-8 Oktober 2020. Aksi ini merupakan bagian dari mogok kerja nasional untuk menolak RUU Cipta Kerja.
Oleh
HARIS FIRDAUS
·4 menit baca
YOGYAKARTA, KOMPAS — Sejumlah organisasi serikat buruh di Daerah Istimewa Yogyakarta akan melakukan mogok kerja pada 6-8 Oktober 2020. Aksi ini merupakan bagian mogok kerja nasional yang dilakukan kelompok buruh sebagai penolakan terhadap pengesahan Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja oleh pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat.
Beberapa organisasi buruh di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) yang mendukung aksi mogok kerja itu tergabung dalam Majelis Pekerja Buruh Indonesia (MPBI) DIY. Dari keterangan tertulis MPBI DIY, aliansi itu terdiri dari sejumlah organisasi, di antaranya Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI) DIY, Serikat Pekerja Nasional (SPN) DIY, Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia (FSPMI) Regional DIY-Jawa Tengah, dan Asosiasi Serikat Pekerja Indonesia (ASPEK) DIY.
Selain itu, organisasi lain yang juga mendukung aksi mogok kerja tersebut adalah, Federasi Serikat Pekerja Niaga, Bank, Jasa, dan Asuransi DIY; Federeasi Serikat Pekerja Logam Elektronik Mesin DIY; Federasi Serikat Pekerja Tekstil, Sandang, dan Kulit DIY; Lembaga Bantuan Hukum SIKAP Yogyakarta; Sekolah Buruh Yogyakarta; dan Front Perjuangan Pemuda Indonesia (FPPI) Yogyakarta.
Sekretaris Dewan Pimpinan Daerah (DPD) KSPSI DIY Irsad Ade Irawan mengatakan, aksi mogok kerja itu akan dimulai Selasa (6/10/2020). Dalam aksi itu, para buruh akan melakukan pelambatan proses produksi di tempat kerja masing-masing. Sesuai dengan Undang-Undang (UU) Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, upaya memperlambat proses produksi juga termasuk sebagai mogok kerja.
”DPD KSPSI DIY menginstruksikan anggotanya melakukan pelambatan proses produksi atau slowdown. Kami juga meminta seluruh anggota untuk memasang spanduk dan membuat video untuk mendukung dan melaksanakan aksi mogok nasional,” ujar Irsad, Senin (5/10/2020), di Yogyakarta.
Irsad menyebutkan, pihaknya belum bisa memastikan berapa jumlah buruh yang akan mengikuti aksi mogok kerja tersebut. Dia menambahkan, pada Rabu (7/10/2020), DPD KSPSI DIY juga berencana menggelar aksi demonstrasi untuk menolak RUU Cipta Kerja.
Pada Kamis (8/10/2020), akan digelar aksi bersama sejumlah organisasi serikat buruh di DIY untuk menyuarakan penolakan terhadap RUU Cipta Kerja.
Sementara itu, pada Kamis (8/10/2020), akan digelar aksi bersama sejumlah organisasi serikat buruh di DIY untuk menyuarakan penolakan terhadap RUU Cipta Kerja. ”Aksi bersama ini akan diikuti massa dengan estimasi sekitar 500 sampai 1.000 orang,” ujar Irsad.
Irsad menuturkan, aksi mogok kerja dan demonstrasi itu dilakukan karena upaya dialog yang dilakukan kelompok buruh dengan pemerintah terkait RUU Cipta Kerja tidak memberi hasil yang memuaskan. Padahal, RUU Cipta Kerja dinilai merugikan kepentingan para buruh dan pekerja.
”Dengan mogok kerja ini, kami berharap pemerintah mencabut RUU Cipta Kerja dari program legislasi nasional,” tuturnya.
Menurut Irsad, aksi mogok kerja merupakan tindakan yang sah karena sudah diatur dalam UU Ketenagakerjaan. Dia memaparkan, pengesahan RUU Cipta Kerja akan berpengaruh terhadap hubungan industrial antara pengusaha dan pekerja. Oleh karena itu, mogok kerja yang dilakukan organisasi buruh untuk menolak RUU Cipta Kerja masih memiliki kaitan dengan hubungan industrial sehingga sah dilakukan.
Irsad juga menyebutkan, para buruh yang mengikuti aksi mogok kerja dan demonstrasi itu tidak bisa dikenai sanksi oleh perusahaan. ”Teman-teman yang berpartisipasi dalam aksi ini tidak bisa dikenai sanksi karena aksi ini kan masih dalam bingkai hubungan industrial,” ungkapnya.
Dengan adanya aksi mogok kerja ini, kami berharap pemerintah mau mencabut RUU Cipta Kerja dari program legislasi nasional (Irsad Ade Irawan).
Sikap pemda
Secara terpisah, Kepala Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Disnakertrans) DIY Aria Nugrahadi berharap para buruh atau pekerja di DIY tidak mengikuti aksi mogok kerja dan demonstrasi pada 6-8 Oktober 2020. Hal ini untuk menjaga situasi di DIY tetap kondusif sekaligus memastikan perusahaan-perusahaan di DIY tetap beroperasi seperti biasa.
Aria juga berharap, para buruh bisa menyampaikan aspirasinya melalui forum tripartit yang beranggotakan perwakilan pemerintah, pengusaha, dan serikat buruh. ”Dalam hal merespons rancangan undang-undang itu, pekerja ataupun buruh diharapkan tidak melakukan unjuk rasa dan mogok kerja,” ujarnya.
Aria menambahkan, saat ini, kondisi sejumlah perusahaan dan pabrik di DIY sudah mulai membaik setelah terkena dampak pandemi Covid-19. Oleh karena itu, dia berharap, kondisi yang baik itu tetap bisa dipertahankan.
”Saat ini, kondusivitas dan produktivitas perusahaan dan pabrik di DIY cukup baik dan kita berharap tetap mampu bertahan melewati masa-masa pandemi ini sehingga kondusivitas itu harus bersama-sama dijaga,” kata Aria.
Aria menuturkan, mogok kerja yang sah adalah mogok kerja yang dilakukan karena ada perselisihan hubungan industrial antara pemberi kerja dan pekerja. Oleh karena itu, dia menilai, mogok kerja terkait RUU Cipta Kerja termasuk kategori mogok kerja yang tidak sah karena tidak berkaitan dengan hubungan industrial antara pemberi kerja dan pekerja.
Aria menyebut, saat mengikuti mogok kerja yang tidak sah, pekerja atau buruh bisa mendapat sanksi dari perusahaan. ”Ketika ada mogok kerja yang tidak sah, apabila kita melihat implikasinya, yang dikorbankan adalah hak-hak dari pekerja atau buruh itu sendiri,” ujarnya.
Sementara itu, Gubernur DIY Sultan Hamengku Buwono X mempersilakan para buruh menggelar aksi untuk menyampaikan aspirasinya. Namun, Sultan meminta aksi yang digelar para buruh itu dilakukan secara tertib.
”Saya kira, kalau mau menyampaikan aspirasi, silakan saja. Tapi yang tertib, jangan menimbulkan masalah,” ujar Sultan HB X.