Saatnya Menarik ”Rem Darurat” Penanganan Pandemi di Yogyakarta?
Pandemi Covid-19 di Daerah Istimewa Yogyakarta telah memasuki fase perluasan penularan. Dalam kondisi seperti ini, dibutuhkan pembatasan mobilitas masyarakat untuk mengendalikan penularan Covid-19.
Pandemi Covid-19 di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) memasuki fase lanjutan yang kian kritis. Belakangan, telah terjadi perluasan penularan penyakit akibat virus korona baru tersebut. Penanganan mengandalkan penelusuran kontak dinilai sulit mengejar kecepatan penularan.
Pada 19 September 2020, masyarakat DIY dikejutkan dengan lonjakan jumlah kasus Covid-19. Hari itu, jumlah kasus baru Covid-19 di DIY mencapai rekor tertinggi dengan 74 kasus dalam sehari. Untuk ukuran DIY, jumlah kasus itu tergolong tinggi. Sebelumnya, rekor kasus tertinggi terjadi pada 1 Agustus dengan 67 kasus dalam sehari.
Beberapa hari setelah munculnya rekor baru itu, jumlah kasus baru Covid-19 di DIY juga relatif tinggi. Pada 20 September, misalnya, terdapat 70 kasus baru di DIY. Sementara itu, pada 21 September ada 64 kasus, pada 22 September terdapat 67 kasus, dan 23 September muncul 63 kasus.
Setelah itu, jumlah kasus baru Covid-19 di DIY kembali fluktuatif. Pada 24 September, hanya ada 22 kasus baru Covid-19 di DIY dan pada 25 September kembali naik menjadi 61 kasus. Setelah itu, jumlah kasus baru Covid-19 di DIY kembali pada tren fluktuatif.
Baca juga: Rekor Baru, Pasien Covid-19 di DIY Bertambah 74 Orang dalam Sehari
Meski begitu, peningkatan kasus pada 19 September itu menjadi alarm peringatan untuk melihat lebih jauh kondisi pandemi Covid-19 di DIY. Apalagi, rata-rata kasus Covid-19 per hari di DIY pada September 2020 ternyata jauh lebih tinggi dibandingkan dengan beberapa bulan sebelumnya.
Berdasarkan laporan harian yang dirilis Dinas Kesehatan (Dinkes) DIY, jumlah kasus Covid-19 di DIY pada September 2020 sebanyak 1.218 kasus. Ini artinya, pada September lalu, rata-rata ada 40,6 kasus Covid-19 di DIY dalam sehari. Sementara itu, pada Agustus 2020, terdapat 751 kasus Covid-19 di DIY atau rata-rata 24,23 kasus dalam sehari.
Jumlah kasus Covid-19 per hari di DIY pada September 2020 mencapai tiga kali lipat lebih dibandingkan dengan Juli dan 15 kali lipat lebih dibandingkan dengan Juni.
Pada Juli 2020, total kasus Covid-19 di DIY sebanyak 361 kasus atau rata-rata 11,65 kasus dalam sehari. Adapun pada Juni 2020, jumlah kasus Covid-19 di DIY hanya 77 kasus sehingga rata-rata terdapat 2,57 kasus dalam sehari. Dari data itu bisa disimpulkan, jumlah kasus Covid-19 per hari di DIY pada September 2020 mencapai tiga kali lipat lebih dibandingkan dengan Juli dan 15 kali lipat lebih dibandingkan dengan Juni.
Hingga Rabu (7/10/2020), jumlah pasien positif Covid-19 di DIY telah mencapai 2.853 orang. Dari jumlah tersebut, sebanyak 2.183 orang di antaranya sembuh dan 75 orang meninggal. Dengan demikian, masih terdapat 595 pasien positif Covid-19 di DIY yang belum dinyatakan sembuh.
Epidemiolog Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Riris Andono Ahmad, mengatakan, kenaikan jumlah kasus yang signifikan itu merupakan salah satu indikator meluasnya penularan Covid-19 di DIY. ”Ini yang terjadi saat ini di DIY. Jadi, ada penularan di komunitas yang meluas sehingga kasusnya meningkat dengan cepat,” ujarnya.
Riris menambahkan, indikator lain penularan yang meluas adalah meningkatnya positivity rate atau tingkat kepositifan pada saat jumlah orang yang menjalani tes dengan metode reaksi rantai polimerase (polymerase chain reaction/PCR) telah meningkat.
Positivity rate adalah perbandingan jumlah orang yang menjalani tes PCR dengan jumlah orang yang terkonfirmasi positif Covid-19. ”Indikasi lain dari penularan meluas adalah positivity rate semakin tinggi. Saat kita meningkatkan pemeriksaan, jumlah kasus positif ikut meningkat. Itu berarti penularannya semakin tinggi,” ungkap Riris.
Saat penularan Covid-19 di suatu wilayah belum meluas, peningkatan jumlah orang yang menjalani tes PCR seharusnya berdampak pada menurunnya positivity rate.
Riris menjelaskan, saat penularan Covid-19 di suatu wilayah belum meluas, peningkatan jumlah orang yang menjalani tes PCR seharusnya berdampak pada menurunnya positivity rate. ”Kalau transmisi (penularan) enggak meningkat dan kita tingkatkan jumlah tes, positivity rate harusnya turun,” ujarnya.
Namun, ketika peningkatan jumlah tes diikuti peningkatan positivity rate, hal itu menjadi penanda penularan yang meluas. Positivity rate dan jumlah orang yang menjalani tes PCR merupakan dua indikator yang dipakai Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) untuk menilai efektivitas penanganan pandemi di suatu wilayah. Berdasarkan rekomendasi WHO, jumlah orang yang menjalani tes PCR minimal 1 per 1.000 penduduk per minggu dengan positivity rate kurang dari 5 persen.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik DIY, jumlah penduduk DIY pada 2019 sekitar 3,8 juta orang. Oleh karena itu, jika merujuk rekomendasi WHO, jumlah orang yang mestinya menjalani tes PCR di DIY minimal 3.800 orang per minggu atau 543 orang per hari.
Mengacu laporan harian Dinkes DIY, Kompas membuat perhitungan positivity rate di DIY selama tiga bulan terakhir. Hasil penghitungan itu menunjukkan, positivity rate di DIY pada bulan September meningkat dibandingkan dengan Juli dan Agustus. Adapun jumlah orang yang menjalani tes PCR pada September lebih banyak dibandingkan dengan dua bulan sebelumnya.
Baca juga: Penularan Meluas, DIY Tingkatkan Tes dan Penelusuran Kontak
Pada Juli 2020, jumlah orang yang menjalani tes PCR di DIY sebanyak 15.424 orang atau rata-rata 498 orang per hari dengan positivity rate sebesar 2,34 persen. Pada Agustus 2020, jumlah orang yang menjalani tes PCR turun menjadi 15.152 orang atau rata-rata 489 orang per hari. Adapun positivity rate pada bulan itu sebesar 4,96 persen.
Sementara itu, pada September 2020, terdapat 17.980 orang yang menjalani tes PCR di DIY. Oleh karena itu, rata-rata orang yang dites per hari meningkat menjadi 599 orang sehingga sudah memenuhi rekomendasi WHO. Namun, positivity rate di DIY pada September juga meningkat menjadi 6,77 persen sehingga tak memenuhi rekomendasi WHO.
Mobilitas
Riris menjelaskan, meluasnya penularan Covid-19 terjadi karena peningkatan mobilitas masyarakat di DIY setelah munculnya wacana normal baru. Peningkatan mobilitas itu termasuk kehadiran para pelaku perjalanan dari luar daerah yang masuk ke wilayah DIY. Bahkan, kehadiran para pelaku perjalanan dari luar daerah itu diduga ikut berpengaruh pada meluasnya penularan Covid-19 di DIY.
Jika melihat perjalanan pandemi di DIY, penularan Covid-19 di provinsi itu sebenarnya dalam kondisi relatif terkendali pada periode akhir Mei sampai awal Juni 2020. Pada periode itu, Pemerintah Daerah (Pemda) DIY relatif berhasil mengendalikan penularan di beberapa kluster besar, misalnya kluster jemaah tabligh, kluster Gereja Protestan di Indonesia Bagian Barat (GPIB), serta kluster supermarket Indogrosir.
”Pada saat itu, pemda DIY memang mampu mengendalikan transmisi Covid-19. Kala itu, transmisi tidak dihentikan, tetapi bisa dikendalikan,” kata Riris.
Namun, keberhasilan mengendalikan kasus itu tidak diikuti dengan kebijakan pembatasan yang ketat terhadap para pelaku perjalanan dari luar daerah. Akibatnya, sejak pertengahan Juni 2020, kasus Covid-19 di DIY kembali meningkat, antara lain, karena banyaknya pelaku perjalanan dari daerah lain yang datang ke DIY.
Mengacu pada data Dinkes DIY, pada Juni 2020, jumlah pasien positif Covid-19 di DIY yang memiliki riwayat perjalanan dari luar daerah ternyata cukup dominan. Dari total 77 pasien Covid-19 di DIY pada Juni 2020, sebanyak 31 orang di antaranya atau 40,26 persen memiliki riwayat perjalanan dari luar daerah. Pasien dengan riwayat perjalanan luar daerah itu biasa disebut sebagai kasus impor karena mereka diduga tertular Covid-19 di luar DIY.
Pada Juni, jumlah pasien dengan riwayat perjalanan luar daerah itu sama banyaknya dengan jumlah pasien yang diketahui positif Covid-19 berdasarkan hasil penelusuran kontak pasien sebelumnya. Para pasien hasil penelusuran kontak itu diduga tertular Covid-19 di DIY sehingga mereka biasa disebut kasus transmisi lokal.
Namun, pada bulan-bulan berikutnya, persentase pasien dengan riwayat perjalanan luar daerah itu cenderung menurun. Pada Juli 2020, misalnya, hanya 18,84 persen pasien Covid-19 di DIY yang punya riwayat perjalanan luar daerah. Pada Agustus, persentase itu menurun menjadi 10,39 persen dan kembali menurun menjadi 6,65 persen pada September 2020.
Yang menarik, penurunan persentase pasien dengan riwayat perjalanan luar daerah itu ternyata diikuti dengan peningkatan jumlah pasien hasil penelusuran kontak. Pada Juli 2020, persentase pasien hasil penelusuran kontak sebesar 29,36 persen. Angka itu meningkat menjadi 33,69 persen pada Agustus dan meningkat lagi menjadi 50,49 persen pada September.
Data itu menunjukkan, banyaknya kasus impor di DIY pada Juni 2020 diduga menjadi salah satu pemicu banyaknya transmisi lokal pada bulan-bulan berikutnya. Oleh karena itu, banyaknya kasus impor itu juga ditengarai turut menyebabkan terjadinya penularan Covid-19 yang meluas di DIY saat ini.
Banyaknya kasus impor di DIY pada Juni 2020 diduga menjadi salah satu pemicu banyaknya transmisi lokal pada bulan-bulan berikutnya.
Pembatasan
Riris menyatakan, dengan kondisi penularan yang sudah meluas, Pemda DIY perlu mengambil sejumlah langkah untuk mengendalikan penularan. Dia menyebutkan, salah satu langkah yang harus dilakukan adalah membatasi mobilitas masyarakat. Hal itu karena mobilitas warga menjadi salah satu faktor yang meningkatkan risiko penularan Covid-19.
Pembatasan mobilitas warga itu diharapkan bisa menjadi ”rem darurat” untuk menurunkan penularan. ”Ketika transmisinya sudah sangat meluas, untuk bisa menurunkan transmisi, mobilitas penduduk harus dihentikan,” ungkap Riris.
Baca juga: Penularan Mulai Meluas, Aktivitas Masyarakat di DIY Perlu Dibatasi
Riris memaparkan, pembatasan mobilitas itu bisa dilakukan dengan menerapkan beberapa kebijakan, misalnya bekerja dari rumah dan beribadah dari rumah. Aktivitas lain yang bisa dibatasi misalnya pariwisata dan acara-acara yang menghadirkan peserta dalam jumlah banyak. Sementara itu, kebijakan pembelajaran jarak jauh yang masih berlaku di DIY harus dilanjutkan.
Menurut Riris, pembatasan mobilitas itu minimal dilakukan dalam jangka waktu satu atau dua kali masa inkubasi virus SARS-CoV-2 penyebab Covid-19. Berdasarkan beberapa referensi, masa inkubasi virus SARS-CoV-2 sekitar 14 hari sehingga pembatasan mobilitas itu minimal dilakukan 14-28 hari. ”Secara teoretis, dengan menghentikan mobilitas selama dua kali masa inkubasi, transmisinya akan terpotong,” katanya.
Baca juga: Dilema Besar Penanganan Pandemi Covid-19 di Yogyakarta
Riris juga mengingatkan, saat penularan Covid-19 telah meluas seperti sekarang, upaya penelusuran kontak tidak akan cukup memutus mata rantai penularan. Hal ini karena proses penularan terjadi lebih cepat dibandingkan dengan upaya penelusuran kontak. Apalagi, saat penularan sudah meluas, seorang pasien positif akan sulit dilacak dari mana dia tertular.
”Pada kondisi transmisi yang sudah meluas, contact tracing tidak cukup. Ini karena kemampuan contact tracing petugas akan lebih lambat dibandingkan dengan kecepatan penularan,” ujarnya.
Oleh karena itu, Riris menuturkan, harus ada penapisan (screening) berupa tes PCR secara massal di komunitas atau wilayah tertentu yang diidentifikasi terjadi perluasan penularan. ”Apabila penularan meluas di suatu wilayah, wilayah tersebut harus dilakukan screening, tidak hanya contact tracing. Ini untuk mengimbangi kecepatan penularan,” tuturnya.
Riris memaparkan, apabila penularan Covid-19 di DIY tidak bisa dikendalikan, jumlah pasien positif akan terus meningkat sehingga dikhawatirkan bisa melebihi kapasitas layanan kesehatan di rumah sakit. Dia mengingatkan, jika jumlah pasien melebihi kapasitas rumah sakit, korban meninggal akibat Covid-19 juga berpotensi bertambah banyak. ”Kalau kemudian kasusnya melebihi kapasitas, semakin banyak orang yang bisa menjadi korban,” katanya.
Pada kondisi transmisi yang sudah meluas, contact tracing menjadi tidak cukup. (Riris Andono Ahmad)
Direktur Utama Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Dr Sardjito, Yogyakarta, Rukmono Siswishanto, menyatakan, dalam penanganan pandemi Covid-19, ada tiga level pengaturan kapasitas rumah sakit. Level pertama adalah level konvensional. Dalam level ini, tempat tidur yang disiapkan untuk pasien Covid-19 masih berjumlah sedikit karena jumlah pasien juga masih sedikit.
Level kedua adalah level kontingensi, yakni saat rumah sakit menambah jumlah tempat tidur untuk pasien Covid-19. Pada level ini, sebagian fasilitas dan tempat tidur yang sebelumnya digunakan untuk pasien umum dikonversi atau dialihkan untuk penanganan pasien Covid-19.
Dalam level kontingensi, rumah sakit masih bisa melakukan perawatan terhadap pasien Covid-19 dan pasien selain Covid-19 sesuai dengan standar yang berlaku. Hal ini karena rumah sakit masih bisa memisahkan pasien Covid-19 dengan pasien lain agar tidak terjadi penularan.
”Jadi, kalau ada pasien Covid-19 dan pasien non-Covid-19 dirawat di rumah sakit bersama-sama, itu akan aman karena kami masih bisa melakukan pemisahan,” kata Rukmono yang juga menjabat sebagai Wakil Ketua Bidang Kesehatan Gugus Tugas Penanganan Covid-19 DIY.
Baca juga: 57 Persen Tempat Tidur RS Rujukan di DIY Sudah Terisi
Sementara itu, level ketiga adalah level kritis. Pada level ini, fasilitas dan tempat tidur untuk pasien Covid-19 kembali ditambah. Namun, pada level ini, kualitas pelayanan terhadap pasien Covid-19 kemungkinan berada di bawah standar. Selain itu, pada level kritis, rumah sakit kemungkinan juga harus menutup layanan untuk pasien selain Covid-19.
”Kalau sudah kritis, mungkin kami akan menutup layanan non-Covid-19 untuk didedikasikan kepada yang khusus Covid-19. Ini sangat berbahaya karena akan banyak orang yang menjadi telantar,” ungkap Rukmono.
Rukmono menyebut, saat ini, rumah sakit di DIY masih berada pada level kontingensi sehingga masih bisa merawat pasien Covid-19 dan pasien lain dengan baik. Berdasarkan data Dinkes DIY, total tempat tidur yang disiapkan untuk pasien Covid-19 di provinsi itu sebanyak 452 tempat tidur yang tersebar di 27 rumah sakit rujukan.
Tempat tidur yang disiapkan itu terdiri dari dua jenis, yakni 48 unit tempat tidur kritis yang dilengkapi ventilator dan 404 tempat tidur nonkritis yang tak dilengkapi ventilator. Berdasarkan data Dinkes DIY, pada Rabu (7/10/2020), keterisian tempat tidur kritis mencapai 50 persen, sedangkan tempat tidur nonkritis 37 persen.
Jumlah pasien yang dirawat di rumah sakit memang lebih sedikit dibandingkan dengan pasien Covid-19 yang belum dinyatakan sembuh. Hal ini karena sebagian besar pasien Covid-19 di DIY tidak mengalami gejala sehingga tidak perlu dirawat di rumah sakit. Para pasien tanpa gejala itu menjalani isolasi mandiri di rumah atau tempat isolasi milik pemerintah.
Rukmono menuturkan, apabila keterisian tempat tidur sudah mencapai 80 persen, level kontingensi akan ditingkatkan ke level kritis. ”Kami terus memantau tingkat keterisian rumah sakit ini. Kalau nanti kapasitas di level kontingensi itu mencapai 80 persen, kapasitas di level kritis mesti diaktifkan. Mudah-mudahan ini tidak terjadi,” katanya.
Sikap pemda
Sayangnya, meski telah ada peringatan mengenai kondisi penularan yang meluas, Pemda DIY belum mengambil kebijakan membatasi mobilitas warga. Dalam beberapa kesempatan, Gubernur DIY Sultan Hamengku Buwono X bahkan mengeluarkan pernyataan yang mengisyaratkan tak akan menerapkan pembatasan mobilitas warga.
Sultan HB X hanya mengajak warga beradaptasi dengan pandemi Covid-19 melalui penerapan protokol kesehatan secara ketat. ”Yang penting itu bisa beradaptasi. Saya tidak mau terlalu berasumsi virus korona baru sangat membahayakan sehingga pagi, siang, sore, malam saya harus bicara masalah Covid-19 sehingga orang kecil takut mencari sesuap nasi,” katanya, Jumat (2/10/2020).
Sultan juga menuturkan, pihaknya tidak bisa membatasi aktivitas masyarakat DIY yang ingin pergi ke daerah lain. Selain itu, DIY juga tidak bisa menutup diri dengan melarang orang dari daerah lain masuk ke provinsi tersebut.
”Kami kan tidak bisa mengatakan orang Yogyakarta jangan pergi dari Yogyakarta. Kita (DIY) juga tidak bisa menutup diri,” ujar Sultan HB X yang juga merupakan Raja Keraton Yogyakarta.
Baca juga: Tak Lakukan Pembatasan, Sultan HB X Ajak Warga Beradaptasi dengan Covid-19
Meski begitu, Sultan menuturkan, kedatangan orang dari luar daerah ke DIY tetap dikontrol melalui pendataan oleh aparat desa. Pendataan juga dilakukan terhadap wisatawan yang mengunjungi obyek wisata serta tamu yang menginap di hotel.
Pendataan dilakukan untuk memudahkan penelusuran kontak jika muncul kasus positif Covid-19 di suatu tempat. Dengan adanya upaya penelusuran kontak, penularan Covid-19 diharapkan bisa dikendalikan.
”Yang penting di sini bagaimana melakukan penelusuran kontak. Dengan demikian, kita tidak kehilangan (jejak) melakukan tracing sehingga Covid-19 menyebar tanpa bisa dikontrol,” ujar Sultan.
Selain itu, jumlah tes PCR juga terus diperbanyak. Sekretaris Daerah DIY Kadarmanta Baskara Aji mengungkapkan, peningkatan jumlah tes penting agar orang-orang yang terinfeksi Covid-19 bisa ditemukan secara cepat sehingga mereka tidak menularkan penyakit ke banyak orang.
”Harapan kami, kami bisa segera mengetahui siapa saja yang terkonfirmasi positif sehingga kami bisa melakukan tracing dan karantina atau perawatan di rumah sakit. Dengan cara seperti itu, angka kasus konfirmasi positif diharapkan turun,” ujar Kadarmanta.
Namun, berdasar laporan harian Dinkes DIY, jumlah orang yang menjalani tes PCR pada awal Oktober ini justru cenderung turun. Pada periode 1-7 Oktober 2020, jumlah orang yang menjalani tes PCR di DIY sebanyak 3.347 orang atau rata-rata 478 orang per hari sehingga belum memenuhi rekomendasi WHO. Sementara itu, positivity rate pada 1-7 Oktober sebesar 6,27 persen sehingga juga belum memenuhi rekomendasi WHO.
Jika tren penurunan jumlah tes itu terus berlanjut, penularan Covid-19 di DIY ditengarai makin mengkhawatirkan. Tanpa tes masif, akan banyak kasus Covid-19 di masyarakat yang tak tertangani sehingga penularan berpotensi kian meluas. Dalam kondisi seperti ini, akankah Pemda DIY masih mengabaikan saran untuk menarik ”rem darurat” dengan membatasi mobilitas masyarakat?