Longsor yang menewaskan 11 orang di kawasan tambang batubara ilegal di Kecamatan Tanjung Agung Muara Enim, Sumatera Selatan, menunjukkan lemahnya pengawasan aktivitas pertambangan.
Oleh
RHAMA PURNA JATI
·5 menit baca
PALEMBANG, KOMPAS — Longsor di kawasan tambang batubara ilegal yang menewaskan 11 orang di Desa Tanjung Lalang, Kecamatan Tanjung Agung, Kabupaten Muara Enim, Sumatera Selatan, Rabu (21/10/2020), menguak lemahnya pengawasan praktik tambang batubara ilegal. Pemerintah diharapkan segera menghentikan aktivitas tambang ilegal ini secara menyeluruh.
Direktur Pilar Nusantara (PINUS) Sumsel, lembaga swadaya masyarakat yang menangani isu batubara di Sumsel, Rabin Ibnu Zainal, Kamis (22/10/2020), mengatakan, kecelakaan kerja yang menelan 11 korban jiwa ini adalah buah dari lemahnya pengawasan aktivitas tambang batubara ilegal yang sebenarnya sudah berlangsung sejak lama di Sumsel. ”Tepatnya sejak adanya desentralisasi dari pemerintah pusat ke daerah,” ucapnya.
Pertambangan batubara tanpa izin marak terjadi di Kabupaten Lahat dan Muara Enim. Biasanya aktivitas itu terjadi di atas lahan milik masyarakat atau di dalam kawasan izin usaha pertambangan (IUP) perusahaan tambang batubara.
Hasil investigasi yang PINUS lakukan di Desa Tanjung Lalang hingga Desa Darmo Kecamatan Tanjung Agung, Kabupaten Muara Enim, pada tahun 2018 menunjukkan, aktivitas tambang batubara ilegal itu terorganisasi dan rapi. Pertambangan biasanya terjadi di satu hamparan dengan luas berkisar 2-6 hektar.
Dalam hamparan itu ada puluhan lubang tambang yang digali menggunakan alat berat atau alat konvensional. Sistem kerja dilakukan dengan bagi hasil antara pemilik lahan dan pemilik modal. Pemodal biasanya datang dari Lampung, Jawa Barat, dan warga setempat.
Di dalam setiap mulut tambang ada sekitar 30 pekerja yang terdiri atas penggali dan tukang ojek yang membawa batubara dari dalam terowongan ke luar. Mereka hanya menerima upah sekitar Rp 2.500-Rp 3.000 per karung. Dalam satu hari, per lubang tambang biasanya dapat menghasilkan sekitar 50 karung batubara dengan berat per karung sekitar 40 kilogram.
Risiko kecelakaan dalam praktik ini sangat tinggi karena para pekerja harus memasuki beberapa terowongan yang memiliki panjang mencapai ratusan meter. ”Untuk mengangkut batubara dari dalam terowongan saja, harus menggunakan sepeda motor,” ucap Rabin.
”Sebelas orang yang tewas itu hanyalah pekerja biasa yang diupah, sedangkan yang meraup keuntungan besar adalah si pemodal,” ucap Rabin.
Dari hasil penggalian tersebut, ujar Rabin, batubara biasanya dijual kepada pengepul dengan harga di bawah harga pasar. ”Batubara hanya dihargai Rp 11.500- Rp 15.000 per karung,” ujarnya.
Tidak hanya tengkulak, batubara tersebut juga dijual ke perusahaan penadah yang digunakan sebagai bahan bakar atau bahkan dijual kembali. ”Dari hasil investigasi lalu, batubara dari dua desa itu dikirim ke sebuah perusahaan gula yang ada di Lampung,” ucapnya.
Secara keseluruhan di dalam satu hamparan batubara dihasilkan sekitar 40 ton batubara per hari. Artinya dalam setahun satu hamparan itu bisa menghasilkan sekitar 14.600 ton.
Jika mengacu harga pasar batubara, kerugian yang diperoleh dalam satu hamparan bisa mencapai Rp 16,9 miliar per tahun. Jika dilihat dari potensi royalti, Kabupaten Muara Enim berpotensi kehilangan pendapatan hingga Rp 45,18 miliar per tahun.
Keuntungan besar
Wakil Ketua Komisi VII DPR Alex Noerdin setelah mengunjungi lokasi kejadian berpendapat, aktivitas tambang itu bukan sekadar tempat untuk mencari makan penduduk setempat, melainkan untuk meraup keuntungan berskala besar. Di lokasi yang diketahui masuk dalam konsesi PT Bukit Asam tersebut, setidaknya ada 40 truk fuso modifikasi yang mengangkut batubara setiap harinya.
Truk fuso tersebut mengangkut batubara dari 55 titik di kawasan IUP PTBA dan kemudian dibawa menuju ke arah Lampung bahkan kemungkinan bisa sampai ke Jawa Barat. Semua dilakukan secara terbuka. ”Bagaimana mungkin aktivitas ini bisa lolos begitu saja kalau tidak ada peran banyak pihak di dalamnya,” ucap anggota DPR dari Fraksi Golkar ini.
Aktivitas tambang itu bukan sekadar tempat untuk mencari makan penduduk setempat, melainkan juga untuk meraup keuntungan berskala besar. (Alex Nurdin)
Oleh karena itu, lanjut Alex, perlu ada pengawasan serta penindakan yang berkelanjutan dan masif mulai dari hulu hingga ke hilir. Penindakan tidak cukup berhenti di tempat penambangan, tetapi harus dilanjutkan ke pihak yang mengangkut hingga penadahnya. ”Selama masih ada pihak yang menampung hasil batubara, tentu aktivitas ini tidak akan pernah berhenti,” ucap Alex.
Dirinya mengapresiasi upaya Gubernur Sumsel yang sudah membentuk satgas penindakan PETI. ”Namun, apakah satgas itu sudah berjalan dengan optimal? Karena pengawasan harus dilakukan secara terus-menerus,” ujar Gubernur Sumsel periode 2008-2018 itu.
Menurut dia, pengawasan aktivitas tambang batubara ini tidak cukup hanya dilakukan di tingkat kabupaten atau provinsi, tetapi juga sampai ke tingkat pusat. ”Pemerintah daerah perlu dibantu untuk menyelesaikan permasalahan ini. Karena ini sudah lintas provinsi,” ucapnya.
Gubernur Sumatera Selatan Herman Deru mengatakan dirinya telah melakukan beragam upaya untuk menghentikan aktivitas tambang ilegal. Salah satunya dengan membentuk satgas pencegahan PETI. Hanya saja, dia mengakui dalam prosesnya, tim mengalami banyak kendala. ”Bukannya pengawasan satgas yang kurang, tetapi aktivitas tambang yang sangat tersembunyi,” ujar Herman.
Dia menegaskan dirinya tidak menoleransi segala bentuk penambangan ilegal. ”Sejak awal sudah saya tegaskan segala bentuk penambangan ilegal itu dilarang,” ujarnya. Karena selain merugikan, tindakan ini tidak mendatangkan pendapatan apa pun bagi daerah, baik dalam bentuk pendapatan asli daerah maupun penerimaan negara bukan pajak dari hasil royalti batubara.
Dirinya menyayangkan masih ada pihak yang menerima hasil batubara ilegal ini. Itu menjadi tugas penegak hukum,” ucapnya.
Selanjutnya, ujar Herman, pihaknya akan berkoordinasi dengan pemerintah pusat karena lokasi tambang ilegal ini berada di dalam kawasan perjanjian karya pengusahaan pertambangan batubara (PKP2B). Dia juga menegaskan agar masyarakat tidak lagi menambang terutama saat musim hujan seperti sekarang ini.