Lahan Ruas Jalan Tol Payakumbuh-Pangkalan Belum Ada Kepastian
Anggota Komisi IV DPRD Sumatera Barat mengingatkan konsultan perencana jalan tol Padang-Pekanbaru agar tidak mengabaikan aspirasi masyarakat yang terdampak.
PADANG, KOMPAS -- Anggota Komisi IV DPRD Sumatera Barat mengingatkan konsultan perencana jalan tol Padang-Pekanbaru agar tidak mengabaikan aspirasi masyarakat terdampak. Aspirasi masyarakat mesti dipertimbangkan dan upaya-upaya pemaksaan ataupun adu domba harus dihindari karena bisa memicu konflik dan menghambat pembangunan jalan tol.
Rapat dengar pendapat di DPRD Sumbar, Padang, Sumbar, Senin (9/11/2020), menggaribawahi kewaspadaan itu. Rapat Komisi IV DPRD Sumbar itu tindak lanjut penyampaian aspirasi pada 2 Oktober 2020 oleh masyarakat dari lima nagari di Limapuluh Kota yang terdampak pembangunan Seksi IV Payakumbuh-Pangkalan jalan tol Padang-Pekanbaru.
“Jalan tol ini keinginan kita bersama dan harus didukung bersama. Namun, pembangunannya jangan sampai mengabaikan aspirasi masyarakat,” kata Lazuardi Herman, anggota Komisi IV DPRD Sumbar, Senin.
Keberadaan Tol Padang-Pekanbaru bakal memangkas waktu tempuh menjadi 2,5 jam hingga 3 jam. Waktu tempuh saat ini 8-9 jam.
Pada 2 Oktober lalu, 20-an masyarakat dari lima nagari (sebelumnya disebut empat), yaitu Koto Baru Simalanggang, Koto Tangah Simalanggang, Taeh Baruah (Kecamatan Payakumbuh), Lubuak Batingkok, dan Gurun (Kecamatan Harau) menyampaikan aspirasi kepada DPRD Sumbar. Mereka tidak menolak pembangunan jalan tol, tetapi meminta jalan tol digeser ke lokasi yang tidak padat penduduk dan lahan tidak produktif.
Lazuardi menjelaskan, anggota Komisi IV DPRD Sumbar dua pekan lalu sudah ke lapangan untuk melihat langsung dan mendengar aspirasi masyarakat terdampak. Rencana pembangunan jalan tol di nagari-nagari itu memang menimbulkan gejolak. Beberapa hal yang dikhawatirkan, antara lain hilangnya perkampungan, rusaknya sistem kekerabatan karena tanah ulayat diperjualbelikan, dan hilangnya tempat tinggal serta lahan produktif.
Ditambahkan Lazuardi, dari keterangan pihak PT Hutama Karya sebagai pengelola, trase jalan tol itu masih berupa desain dasar dan belum ada detail enginering design (DED) serta penentuan lokasi (penlok). Trase tersebut masih bisa berubah. “Kewenangan penlok di gubernur nantinya. Ini masih tahap sosialisasi dan persiapan-persiapan lainnya. Prosesnya masih panjang. Saya rasa gubernur tidak gegabah dalam mengambil keputusan,” ujar Lazuardi.
Desrio Putra, anggota Komisi IV DPRD Sumbar, mengatakan, perencanaan pembangunan jalan tol Seksi IV itu harus betul-betul matang dan mengakomodasi semua pihak. Jika tidak, pembangunan jalan tol bakal menimbulkan konflik dan memperlama proses pengerjaannya.
Menurut Desrio, persoalan pembebasan tanah di Sumbar memang tidak segampang daerah lain, seperti Pulau Jawa. Di Jawa, seseorang mungkin punya hamparan lahan yang luas hingga 200-300 meter persegi. Sementara di Sumbar, yang lahan pertaniannya terbatas, ada masyarakat yang cuma punya lahan beberapa meter persegi saja dan menggantungkan hidupnya dari sana.
“Masyarakat mungkin cuma punya lahan sebesar itu, kena pula oleh jalan tol. Ke mana dia akan mencari usaha? Sementara usahanya pertanian. Itu harus dicarikan solusinya,” kata Desrio.
Prinsipnya masyarakat tidak menolak pembangunan jalan tol Padang-Pekanbaru. Namun, meminta jalan tol dialihkan ke kawasan tidak padat penduduk dan lahan tidak produktif.
Konsultan perencana diharapkan mengkomunikasikan rencana pembangunan jalan tol ini secara baik melibatkan masyarakat, tokoh adat, dan wali nagari. Cara-cara lama seperti pemaksaan dan propaganda yang mengadudomba masyarakat tidak lagi dapat diterapkan karena bisa memicu konflik dan menghambat pembangunan jalan tol.
“Perlu sinergisitas sehingga tidak muncul persoalan yang justru menghambat pelaksanaan pembangunan jalan tol. Jika sepihak menetapkan jalur alternatif A karena biaya konstruksinya terendah tetapi ketika pelaksanaan banyak korban tidak mungkin alternatif A itu dilaksanakan. Terpaksa dipakai jalur alternatif B. Kalau dipaksakan, akan sia-sia,” ujar Desrio.
Tiga alternatif
Vice President Perencanaan Hutama Karya Iwan Hermawan mengatakan, pihaknya sudah mengkaji tiga alternatif jalur tol Seksi IV Payakumbuh-Pangkalan di lokasi padat penduduk di sekitar Kota Payakumbuh. Namun, Iwan tidak menjelaskan nagari apa saja dan berapa rumah dan lahan produktif yang dilalui oleh tiap-tiap alternatif trase tersebut.
Di antara ketiga alternatif itu, kata Iwan, trase alternatif pertama yang paling tinggi skornya dari aspek teknis dengan panjang jalur 18,5 kilometer dan rata-rata gradien 2,3 persen. Adapun alternatif kedua dan ketiga, yang berada di bagian utara dan selatan alternatif pertama, panjang jalur dan rata-rata gradiennya lebih dari itu. Ketiga alternatif trase itu sama-sama melewati permukiman dan persawahan.
Menurut Iwan, pihaknya sedang menyosialisasikan desain dasar itu kepada masyarakat dan meminta masukan dari pemerintah daerah setempat dan masyarakat. “Kami kembalikan lagi ke daerah seperti apa. Apakah kami geser atau bagaimana. Secara teknis bisa saja kami geser-geser. Kami minta arahan seperti apa baiknya,” kata Iwan.
Kepala Departemen Advokasi dan Kampanye Walhi Sumbar Yoni Chandra, sebagai perwakilan warga lima nagari tersebut, mengatakan, berdasarkan peta trase yang mereka miliki, ada 400 rumah dan 150 hektar lahan produktif (sawah dan kebun) yang terdampak pembangunan jalan tol. Peta tersebut dibuat dari desain dasar yang diakses dari Dinas PUPR Sumbar serta informasi masyarakat dan pemasangan pancang di lapangan.
“Dari data yang kami miliki, lokasi pembangunan jalan tol berada di permukiman dan lahan produktif. Ada beberapa suku dan kaum hilang dari kampung halamannya. Rata-rata mereka menggantungkan hidup di lahan yang dilewati jalan tol,” kata Yoni.
Yoni menjelaskan, pada prinsipnya masyarakat tidak menolak pembangunan jalan tol Padang-Pekanbaru. Namun, masyarakat meminta jalan tol dialihkan ke kawasan tidak padat penduduk dan lahan tidak produktif.
Walhi Sumbar juga mengkritik dasar konsultan perencana PT Hutama Karya dalam menentukan pemilihan alternatif trase yang hanya mempertimbangkan faktor fisiografis dan topografis. Semestinya, aspek sosiologis juga menjadi dasar pertimbangan dalam membuat perencanaan pembangunan jalan tol.
“Pembangunan jalan tol harus berkeadilan. Memajukan Sumbar tetapi tidak menghilangkan sumber perekonomian masyarakat yang dilalui jalan tol,” ujar Yoni.
Ezi Fitriana (39), warga Nagari Lubuak Batingkok, mengatakan, jalan tol melalui permukiman padat di nagarinya, terutama di Jorong Tigo Balai. Setidaknya, ada 70 rumah, mushala, balai adat, komplek kuburan keluarga dan nenek moyang, dan pabrik makanan yang tergusur jika jalan tol dibangun di jorong tersebut.
Adapun Ezi dan keluarganya bakal kehilangan rumah, kompleks kuburan keluarga, pabrik makanan yang mempekerjakan 50 karyawan, dan lahan kebun sekitar 1 hektar. “Permintaan kami, jalur jalan tol digeser ke tempat yang bukan padat penduduk. Kami tidak anti dengan jalan tol,” kata dia.
Ezi juga menyayangkan pendekatan konsultan perencana jalan tol di lapangan yang dinilai menimbulkan perpecahan di tengah masyarakat. Sebagai contoh, ada dua gambar trase berbeda yang disosialisasikan. Kelompok masyarakat yang terdampak pada trase versi kedua menuduh kelompok masyarakat pada trase versi pertama yang memindahkan trase itu ke tempat mereka.
“Artinya, masyarakat dibawa gontok-gontokan, saling menyalahkan. Akhirnya, masyarakat tidak percaya pada ninik mamak dan wali nagari yang dituding membolehkan jalan tol melewati lokasi itu. Pendekatan ke masyarakat harus dibenahi. Tidak hanya masyarakat yang dirugikan, pihak Hutama Karya mungkin juga dirugikan,” ujar Ezi.
Rahman Syarif Datuak Patiah (39), perwakilan masyarakat Nagari Lubuak Batingkok, Jumat (2/10/2020), mengatakan, banyak kerugian masyarakat apabila pembangunan tol di nagari itu diteruskan.
”Kami keberatan karena tol melintasi kawasan padat penduduk, melintasi balai adat, dan tempat ibadah. Yang lebih parahnya lagi, ada dua kampung persukuan yang akan lenyap apabila jalan tol dibangun di tempat kami,” kata Rahman, yang juga bendahara di Kerapatan Adat Nagari Lubuak Batingkok.
Rahman melanjutkan, persukuan yang terancam punah itu adalah persukuan Datuak Majo Nan Koruk dan persukuan Datuak Paduko Bosa. Di persukuan Datuak Majo Nan Koruk, semua permukiman anak dan kemenakan di bawah payung datuk itu terdampak oleh pembangunan tol. Sementara itu, di persukuan Datuak Paduko Bosa, sekitar 15 kepala keluarga anak dan kemenakan di bawah payung itu yang terdampak.
Kata Rahman, masalah ini mesti menjadi pertimbangan pemerintah dalam membangun tol. Dalam undang-undang, masyarakat adat dilindungi negara. ”Kepemilikan tanah adalah salah satu identitas orang Minangkabau. Jika tidak ada tanah, berarti bukan orang Minang. Jadi, tanah ini (warisan adat) tidak dapat diukur nilainya dengan uang. Kami akan terus bertahan di sana,” ujar dia.
Jalan Tol Padang-Pekanbaru yang mulai dibangun pada 9 Februari 2018 memiliki panjang sekitar 256 kilometer (sebelumnya disebut 255 kilometer). Pembangunan terbagi atas enam seksi, yaitu Seksi I Padang-Sicincin, Seksi II Sicincin-Bukittinggi, Seksi III Bukittinggi-Payakumbuh, Seksi IV Payakumbuh-Pangkalan, Seksi V Pangkalan-Bangkinang, dan Seksi IV Bangkinang-Pekanbaru.
Keberadaan Tol Padang-Pekanbaru bakal memangkas waktu tempuh menjadi 2,5 jam hingga 3 jam. Pada jalur saat ini, panjangnya sekitar 300 kilometer, perjalanan Padang-Pekanbaru membutuhkan waktu tempuh 8-9 jam.