Belum Ada Gejala Serius di Uji Klinis Vaksin Sinovac di Bandung
Brasil menangguhkan uji klinis calon vaksin Covid-19 Sinovac, China, setelah ada kejadian buruk yang diduga merugikan sukarelawan. Sementara di Bandung, Jawa Barat, belum ada gejala serius yang dialami sukarelawan.
Oleh
TATANG MULYANA SINAGA
·2 menit baca
BANDUNG, KOMPAS — Uji klinis calon vaksin Covid-19 produksi Sinovac, China, di Bandung, Jawa Barat, masih terus berjalan. Belum ada laporan gejala serius yang dialami sukarelawan pascavaksinasi.
Sejumlah 1.620 sukarelawan uji klinis di Bandung telah mendapatkan suntikan vaksin atau plasebo dosis pertama. Sementara 1.603 sukarelawan sudah disuntik dosis kedua. Adapun 1.335 sukarelawan lainnya memasuki masa pemantauan imunitas, efikasi, dan keamanan.
”Sejauh ini belum ada laporan Kejadian Ikutan Pasca-Imunisasi (KIPI) serius atau Serious Adverse Event (SAE) terkait vaksinasi," kata juru bicara Tim Uji Klinis Vaksin Covid-19 Universitas Padjadjaran, Rodman Tarigan, di Bandung, Rabu (11/11/2020).
SAE merupakan salah satu KIPI serius yang dialami penerima obat atau vaksin tanpa melihat hubungannya dengan obat atau vaksin tersebut. Salah satu risiko KIPI serius, seseorang bisa pingsan setelah vaksinasi. Sementara KIPI ringan adalah gejala pascaimunisasi tanpa menimbulkan risiko potensial pada kesehatan, seperti demam, bengkak atau kulit memerah di lokasi suntikan.
Rodman menyebutkan, setiap sukarelawan akan terus dimonitor tim peneliti. Dengan begitu, gejala kesehatan yang dialami sukarelawan selama uji klinis dapat diawasi.
Uji klinis vaksin produksi Sinovac di Bandung dimulai Agustus 2020 dan dijadwalkan rampung dalam enam bulan. Jika sukses, vaksin Covid-19 akan diproduksi oleh PT Bio Farma pada kuartal pertama 2021 dengan kapasitas produksi hingga 250 juta dosis vaksin per tahun.
Selain di Indonesia, uji klinis juga dilakukan di Brasil, India, Bangladesh, dan Turki. Uji klinis fase satu dan dua dilangsungkan di China. Sementara ini, Brasil menangguhkan uji klinis calon vaksin ini karena diduga merugikan sukarelawan.
Pengembangan bahan vaksin diambil dari virus yang sudah dimatikan. Dampak kekebalannya tidak setinggi dibandingkan dengan vaksin berbahan virus hidup. Oleh karena itu, penyuntikan vaksin perlu dilakukan dua kali dengan selang waktu 14 hari.
Tim ahli farmakovigilan Bio Farma, Novilia, mengatakan, SAE dapat terjadi baik untuk vaksin yang sudah dipasarkan maupun dalam proses uji klinis. Jika terjadi dalam uji klinis, akan dilaporkan ke Komite Etik, Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM), serta Data Safety Monitoring Board (DSMB).
Sementara pada produk yang sudah dipasarkan akan diinvestigasi atau diselidiki dan dianalisis oleh lembaga independen, seperti Komnas KIPI. ”Setelah itu, dilaporkan ke BPOM untuk memastikan penyebab utamanya, apakah berhubungan langsung dengan vaksin atau ada faktor lainnya,” ujarnya.
Menurut Novilia, perlu dilakukan investigasi lebih lanjut terkait adanya SAE di Brasil. Hal ini untuk memastikan kejadian itu terkait dengan vaksin atau tidak. Penangguhan uji klinis obat atau vaksin merupakan prosedur standar dan biasa dilakukan untuk melakukan investigasi atas KIPI serius yang ditemukan dalam penelitian.