Warga sekitar Candi Borobudur telah lama hidup seirama krisis dan bencana. Mulai dari bencana alam, teror, dan kini wabah. Mereka terus bertahan, termasuk dengan kearifan lokal dan spiritualitas kepada Sang Khalik.
Oleh
REGINA RUKMORINI/GREGORIUS MAGNUS FINESSO
·5 menit baca
KOMPAS, MAGELANG — Walau diberkahi tanah subur dan keindahan alam, warga sekitar Candi Borobudur telah lama hidup seirama krisis dan bencana. Mulai dari bencana alam, teror, dan kini wabah. Mereka terus bertahan, termasuk dengan kearifan lokal warisan leluhur.
Gentong tanah liat atau juga disebut padasan di depan rumah Siti Zaenab (55), di Desa Karanganyar, Kecamatan Borobudur, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, tak saja kusam, tetapi juga berlumut. Umurnya setidaknya 30 tahun. Bagian bawah gentong ada semacam pancuran kecil yang lubangnya disumbat karet. Di gentong itu, sejak kecil, Siti sudah dibiasakan orangtuanya untuk mencuci tangan dan kaki sebelum masuk rumah dan selesai beraktivitas.
”Padasan ini peninggalan Bapak. Sejak kecil, kami selalu dibiasakan mencuci tangan,” kata Siti, Jumat (23/10/2020). Padasan di pelataran rumah Siti pun ditempatkan secara permanen.
Selain buat cuci tangan, padasan itu juga dimanfaatkan untuk wudhu. Seperti halnya orangtuanya dulu berpesan, Siti pun berpesan kepada anak-anak dan seluruh anggota keluarganya untuk selalu rajin mencuci tangan dari padasan.
Supoyo, tokoh warga yang juga perajin di sentra gerabah Dusun Klipoh, Desa Karanganyar, menuturkan, kebiasaan mencuci tangan yang marak digaungkan jadi salah satu kebiasaan pencegahan penularan Covid-19 sebenarnya sudah membudaya pada warga kampung, termasuk di sekitar Borobudur, sejak lama. Sama seperti Siti, Supoyo mengenang, semasa kecil, setiap anggota keluarganya yang pulang dari mana pun wajib mencuci tangan dengan mengucurkan air dari padasan.
”Dari padasan itu kami memanfaatkan air yang mengucur untuk mencuci tangan, kaki, dan bahkan juga air minum,” ujarnya.
Tak jarang padasan diletakkan di pinggir jalan agar siapa pun yang butuh air bisa mengambil sesuai keperluan. Pejalan kaki dan warga yang sebagian besar petani bisa memanfaatkan air dalam padasan. Mereka bisa memanfaatkan air padasan untuk mencuci muka dan anggota badan ketika hendak ke sawah atau saat pulang ke rumah.
Kebiasaan mencuci tangan itu sempat terkikis seiring berkurangnya perajin gerabah di Dusun Klipoh yang berjarak sekitar 3,5 kilometer sebelah barat daya Candi Borobudur. Tak semua perajin bisa membuat padasan karena produk ini diyakini hanya bisa dibuat orang yang benar-benar terampil dan berbakat.
Sebagian orang melanjutkan kebiasaan mencuci tangan dengan mengganti padasan tanah liat dengan ember besar yang dilubangi lalu diberi keran dan selang. Namun, diakui Supoyo, banyak rumah tangga muda kini enggan repot sehingga malas mencuci tangan sebelum masuk rumah.
Sejak pandemi Covid-19 melanda, banyak orang teringat lagi kearifan lama kebiasaan mencuci tangan. Permintaan tempat mencuci tangan atau wastafel dan padasan gerabah kian meningkat. Jika permintaan biasanya hanya berkisar 5-10 wastafel atau padasan, dalam waktu tiga bulan, Maret hingga Mei, Supoyo menerima pesanan hingga 300 unit. Harganya berkisar Rp 40.000-Rp 350.000 per unit.
Selain kebiasaan menjaga kebersihan, warga di Kabupaten Magelang juga punya kearifan lokal memanjatkan doa kepada Sang Pencipta setiap hal buruk dan pagebluk melanda. Ritual itu biasanya berwujud ruwatan, dapat berbentuk pertunjukan wayang, tarian, upacara adat, dan doa bersama.
Salah satunya tradisi Saparan yang digelar warga Dusun Mantran Wetan, Desa Girirejo, Kecamatan Ngablak, Kabupaten Magelang. Dalam tradisi itu, warga secara khusus berdoa bersama agar pandemi Covid-19 segera berakhir.
Selain kebiasaan menjaga kebersihan, warga di Kabupaten Magelang juga punya kearifan lokal memanjatkan doa kepada Sang Pencipta setiap hal buruk dan pagebluk melanda.
”Dari desa, kami mendoakan agar wabah Covid-19 segera berhenti dari seluruh muka bumi,” ujar Supadi Haryanto, tokoh masyarakat Dusun Mantran Wetan. Tradisi ini dilaksanakan akhir September lalu.
Doa memohon berakhirnya wabah ini dipanjatkan dalam acara mujahadah yang dihadiri 200 warga dalam masjid. Setiap orang hadir dengan menjaga jarak 1 meter hingga 1,5 meter. Mujahadah baru kali ini dilakukan menjelang Saparan. Biasanya, Saparan hanya diisi doa saat kenduri, berisi panjatan syukur atas kesuburan tanah dan hasil panen melimpah.
Seperti tahun-tahun sebelumnya, acara Saparan di Dusun Mantran Wetan selalu disemarakkan tari Jaran Kepang Papat. Penduduk meyakini tarian ini digemari roh pelindung desa. Tarian ini juga selalu dipentaskan saat kondisi kampung sedang kesulitan, termasuk saat dilanda pagebluk seperti saat ini.
Kearifan lokal lain yang kembali digemari selama pandemi Covid-19 adalah jamu. Ramuan herbal untuk kesehatan ini diyakini sudah ada sejak abad ke-8 saat Borobudur dibangun. Anggota Staf Hubungan Masyarakat (Humas) Balai Konservasi Borobudur, Mura Aristina, menyebutkan, ada dua panel relief di candi yang diterjemahkan sebagai gambaran orang sedang membuat jamu.
Beragam kearifan lokal itu tumbuh subur di Kabupaten Magelang yang sejatinya termasuk sangat rentan bencana. Menurut Kajian Resiko Bencana Kabupaten Magelang Tahun 2017-2021, ada delapan potensi bencana yang mengancam, yakni tanah longsor, gempa bumi, cuaca ekstrem, letusan Gunung Merapi, kebakaran hutan dan lahan, banjir, tanah longsor, dan banjir bandang.
Lebih khusus, di wilayah Borobudur, kondisi geografisnya dikitari perbukitan dengan kontur tanah miring atau berundak sehingga hampir seluruh kawasan berada di dalam cekungan. Bencana, terutama tanah longsor, sewaktu-waktu bisa melanda.
Kesadaran hidup berdampingan dengan bencana mendorong warga di sekitar Borobudur mendirikan Organisasi Pengurangan Risiko Bencana (OPRB). Nur Fauzan, Ketua OPRB, menuturkan, komunitas ini berdiri sejak Januari 2018 dan hingga kini beranggotakan sekitar 80 orang dari 20 desa di Kecamatan Borobudur. ”Selain pelatihan, personel OPRB juga melengkapi diri dengan berbagai peralatan yang dibutuhkan saat bencana,” ucapnya.
Beberapa peralatan dipenuhi secara swadaya, seperti jas hujan dan radio panggil. Selain itu, mereka juga mendapat bantuan dua ambulans untuk kegiatan sosial. Bagi Fauzan, penguatan mitigasi bencana di kalangan masyarakat kampung sangat penting bagi wilayah rawan bencana seperti Borobudur.
Adapun dampak letusan Gunung Merapi di perbatasan Jateng dan Daerah Istimewa Yogyakarta berulang kali mengganggu aktivitas wisata Candi Borobudur. Bangunan candi yang tersusun dari 55.000 meter kubik batu itu kerap diguyur hujan abu vulkanik letusan Merapi. Ini terakhir terjadi akhir Juni lalu. Biasanya, kawasan candi ditutup dulu untuk pembersihan.
Adapun dampak letusan Gunung Merapi di perbatasan Jateng dan Daerah Istimewa Yogyakarta berulang kali mengganggu aktivitas wisata Candi Borobudur.
Tak hanya alam, bencana akibat ulah manusia pun pernah menimpa. Pada 21 Januari 1985, dua teroris meletakkan 13 bom di lantai 8-10 Candi Borobudur. Sembilan di antaranya meledak dan merusak sejumlah material candi.
Sucoro, pegiat budaya Borobudur, menilai, mahakarya Dinasti Syailendra tersebut merupakan inspirasi spiritual dan budaya masyarakat. Dua elemen yang mengakar kuat dalam karakter warga Borobudur sebagai rapalan terus bertahan dari setiap petaka.