Strategi ”Jemput Bola” Warga di Daerah Rawan Gencar Dilakukan di Boyolali
Hingga Jumat (13/11/2020), ratusan warga dari kelompok rentan di Kabupaten Boyolali, Jawa Tengah, mengungsi ke dua tempat tinggal sementara. Sekat pembatas digunakan di lokasi untuk mencegah penularan Covid-19.
Oleh
MELATI MEWANGI
·3 menit baca
BOYOLALI, KOMPAS — Ratusan warga dari kelompok rentan di Kecamatan Selo, Kabupaten Boyolali, Jawa Tengah, mengungsi ke dua tempat tinggal sementara hingga Jumat (13/11/2020). Strategi jemput bola dari rumah ke rumah dilakukan karena belum semua orang di daerah rawan mau mandiri mengungsi.
Di Boyolali, Selo merupakan satu-satunya kecamatan yang masuk zona rawan setelah status Merapi naik menjadi Siaga. Ada tiga desa yang menjadi fokus penanganan, yakni Klakah, Tlogolele, dan Jrakah. Warga yang termasuk dalam kelompok rentan adalah orang lanjut usia, ibu hamil dan menyusui, anak-anak, serta difabel.
Ketua Badan Penanggulangan Bencana Daerah Boyolali Bambang Sinung mengatakan, total ada 287 orang dari kelompok rentan yang mengungsi di Tlogolele dan Klakah. Pengungsi dari Jrakah baru datang pada Jumat ini. Jumlah warga yang dievakuasi dari Jrakah tidak sebanyak dua desa lainnya.
Pengungsi di Klakah menempati aula desa yang telah diberi sekat. Bilik berukuran 2 meter x 3 meter itu hanya boleh ditempati maksimal empat orang. Bilik urutan nomor terkecil dan dekat pintu keluar diprioritaskan untuk lanjut usia.
Sebelum pintu masuk terdapat dua tempat cuci tangan dan sabun. Warga juga diimbau menggunakan masker agar menjaga kesehatan masing-masing. Namun, tidak semua warga nyaman berlama-lama menggunakannya. Terkadang mereka menurunkan masker hingga ke bawah dagu dan bahkan melepasnya.
Kepala Desa Klakah Marwoto menambahkan, kelompok rentan dievakuasi lebih dulu sejak awal pekan ini. Namun, tidak mudah untuk bisa membujuk mereka ikut ke pengungsian. Selain strategi jemput bola, mendatangi rumah-rumah warga, Marwoto mengajak salah satu sesepuh di dusun agar warga tergerak untuk mengikuti sosok panutan di dusun tersebut.
Akan tetapi, ada juga warga yang meminta dievakuasi. Mereka mendengar suara gemuruh gunung dari rumahnya. Marwoto pun mengirimkan empat kendaraan untuk mengevakuasi mereka.
Saat malam hari, mereka tidur di pengungsian. Namun, mereka kembali ke ladang atau mencari pakan ternak keesokan harinya. Untuk saat ini, ternak-ternak belum akan dievakuasi karena masih melihat situasi dan kondisi ke depan.
Salah seorang pengungsi di Klakah adalah Situ (90), warga Dusun Bakalan. Dia memilih mengungsi pada Kamis (12/11/2020) karena cemas dengan suara gemuruh Merapi. ”Pendhak wengi nggih mirenggrudug-grudugkaping lima (Setiap malam terdengar suara gemuruh Merapi berkali-kali),” ucap Situ.
Di Tlogolele, pengungsi juga tinggal di bilik yang telah disekat. Kapasitas balai serbaguna ini bisa menampung seitar 700 orang. Saat pandemi, jumlah pengungsi tidak sampai 50 persen. Lokasi pengungsian sementara ini berjarak sekitar 9 kilometer dari puncak Merapi.
Parisijem (60), warga Dusun Takeran, memilih di pengungsian karena trauma erupsi tahun 2010. Menurut dia, aparat desa dan pemerintah lebih tahu bagaimana menangani warganya. ”Saya manut. Kalau diminta mengungsi, saya berangkat,” katanya.