Jejak Longsor Bawah Laut di Selat Makassar
Pada rentang 1927-2018, tercatat tujuh tsunami terjadi di sekitar Selat Makassar. Wilayah yang paling terdampak adalah sisi barat Pulau Sulawesi. Meski demikian, Kaltim perlu mengantisipasi potensi bencana itu.
Dalam kurun waktu 1927-2018, setidaknya tercatat tujuh tsunami terjadi di sekitar Selat Makassar. Wilayah yang paling terdampak adalah sisi barat Pulau Sulawesi. Adapun pesisir timur Kalimantan sedikit terdampak, tetapi antisipasi tetap perlu.
Tsunami terakhir di sekitar Selat Makassar yang memakan banyak korban jiwa adalah yang terjadi akibat longsoran bawah laut di sekitar Teluk Palu, Sulawesi Tengah, pada 28 September 2018. Badan Nasional Penanggulangan Bencana atau BNPB mencatat, 2.045 orang meninggal dan lebih dari 100 orang belum ditemukan.
Tsunami datang beberapa saat setelah gempa bumi M 7,5 dengan mekanisme sesar geser di darat. Lazimnya, gempa bumi dengan kekuatan itu tidak memicu tsunami besar. Survei tim gabungan Indonesia-Jepang menemukan titik terang, ada potensi longsor bawah laut yang menjadi sumber dari tsunami saat itu. Untuk memastikannya, perlu ada pemetaan bawah laut (Kompas, 8/10/2018).
Saat itu, wilayah Kalimantan Timur tidak terdampak tsunami sama sekali. Namun, beberapa orang yang berada di bangunan bertingkat merasakan guncangan sekitar 30 detik. Saat itu, orang-orang di dalam gedung di sejumlah daerah di Balikpapan dan Samarinda berhamburan keluar.
Sebelum kejadian itu, sejarah mencatat, setidaknya ada dua kejadian tsunami yang sedikit berdampak ke wilayah perairan sisi timur Kalimantan. Pertama, pada tsunami tahun 1968 di Kabupaten Majene, Sulawesi Barat. Saat itu, tsunami dipicu oleh gempa M 6,1 dengan pusat gempa di kedalaman 13 kilometer. Setidaknya 64 orang meninggal dan wilayah Kalimantan sisi timur sedikit terdampak di bagian selatan.
Sementara pada tsunami tahun 1996 di Kabupaten Tolitoli, Sulawesi Tengah, tinggi gelombang berkisar 1 meter sampai 3,4 meter. BNPB mencatat, 9 orang meninggal dan 63 luka-luka. Di sisi timur Kalimantan, tsunami lebih kecil sampai ke sisi utara.
Potensi tsunami di sekitar Selat Makassar tetap ada. Selain karena gempa bumi, potensi tsunami akibat longsor bawah laut perlu diantisipasi. Sebab, di Selat Makasaar terdapat palung laut yang dalam. Jika terjadi guncangan kuat di sekitarnya, longsor bawah laut berpotensi terjadi dan bisa menciptakan gelombang tinggi ke arah Sulawesi dan Kalimantan.
Baca juga : Hikayat Runtuhnya Tanah Runtuh di Palu Timur
Pelaksana Tugas Direktur Pemetaan dan Evaluasi Risiko Bencana BNPB Abdul Muhari mengatakan, ditemukan bekas longsoran purba yang terjadi lebih dari 2,5 juta tahun lalu di Selat Makassar. Setidaknya terjadi 19 kali tanah longsor di Selat Makassar pada rentang waktu itu. Fenomena tersebut terjadi setiap 160.000 tahun atau lebih. Longsoran yang terjadi juga sangat besar, 5-600 kilometer kubik sedimen.
”Ini catatan yang sangat lama. Aktivitas tektonik di Selat Makassar sebenarnya lebih banyak terjadi di sisi Pulau Sulawesi. Tetapi, baik juga untuk kita lihat bagaimana kira-kira (potensi dampak) di sisi Kalimantan,” ujar Muhari dalam kunjungan BNPB di Balikpapan, Kaltim, Senin (9/11/2020).
BNPB merekonstruksi longsoran bawah laut yang terjadi pada 2,5 juta tahun lalu itu. Jika terjadi longsoran bawah laut di Selat Makassar, terjadi gelombar air yang menyebar ke arah Sulawesi dan Kalimantan. Namun, gelombang air ke arah Sulawesi akan lebih besar dan cepat sampai ke daratan dibandingkan gelombang ke arah pesisir Kalimantan.
Dalam rekonstruksi itu, kecepatan gelombang air ke arah Kalimantan berkurang. Pesisir Kalimantan sisi timur diuntungkan dengan daerah lepas pantai yang rata-rata merupakan perairan dangkal berkedalaman kurang dari 50 meter. Ketika tsunami datang dari perairan dalam menuju perairan dangkal, kecepatannya akan berkurang.
”Memang ada peningkatan di ketinggian (gelombang air laut), tetapi tidak seperti gelombang tinggi yang pecah kemudian menghantam daratan,” ucap Muhari.
Tetap perlu antisipasi
Meski wilayah Kaltim memiliki potensi bencana gempa dan tsunami kecil, potensi bencana perlu diantisipasi sejak dini. Sebab, setiap kejadian bencana punya karakteristik sendiri dan tak bisa diprediksi.
Menurut catatan Stasiun Geofisika Kelas III Balikpapan, secara seismisitas wilayah Kalimantan memang relatif lebih kecil dibandingkan dengan wilayah lain. Potensi kegempaan di Kalimantan berasal dari patahan lokal yang berada di Kalimantan. Secara umum, kategori gempa di Pulau Kalimantan merupakan gempa dangkal.
Adapun hasil subduksi Western Molucca Sea merupakan gempa menengah dan dalam yang berada di sebelah utara Pulau Kalimantan. Selain itu, terdapat hasil subduksi dari Eurasia-Australian Plate yang dikategorikan sebagai gempa-gempa dalam.
Patahan yang aktif di Kalimantan sisi timur merupakan Patahan Meratus, Patahan Mangkalihat, dan Patahan Tarakan yang memiliki panjang lebih dari 100 kilometer. Sesar mendatar Tarakan terletak di bagian utara yang terbentang mulai dari daratan sampai ke lepas pantai. Sesar Mangkalihat, yang berupa sesar mendatar, diidentifikasi di pantai timur Pulau Kalimantan.
Ini catatan yang sangat lama. Aktivitas tektonik di Selat Makassar sebenarnya lebih banyak terjadi di sisi Pulau Sulawesi. Tetapi, baik juga untuk kita lihat bagaimana kira-kira (potensi dampak) di sisi Kalimantan.
Untuk mendeteksi gempa dari patahan itu, sudah terpasang seismograf di delapan lokasi di Kaltim, yakni di Berau, Paser, Kutai Kartanegara, Bontang, Penajam Paser Utara, Kutai Timur, Kutai Barat, dan Balikpapan. Dengan demikian, total sensor gempa yang sudah terpasang di Pulau Kalimantan sebanyak 15 buah.
”Tahun ini, menurut rencana akan dibangun 29 sensor di Kalimantan. Namun, karena terkendala Covid-19, tidak bisa direalisasikan semua. Hanya tambahan tiga sensor saja,” kata Kepala Stasiun Geofisika Kelas III Balikpapan Mudjianto.
Baca juga : Detektor Tsunami Bawah Laut Disiapkan di Selat Makassar
Patahan-patahan di sisi timur Kalimantan tersebut dapat menimbulkan gempa bumi berkekuatan M 7. Belum ada catatan tsunami dari gempa yang ditimbulkan patahan itu. Meski demikian, potensi gempa dari longsoran bawah laut dari gempa di Sulawesi perlu diantisipasi di sisi timur Kalimantan dengan mitigasi berbasis ekosistem.
”Kami mencatat, di Kalimantan Timur degadrasi lahan mangrove cukup signifikan di pesisir. Untuk itu, konservasi dan rehabilitasi lahan mangrove dan tata ruang pesisir berbasis mitigasi perlu dilakukan,” ujar Muhari.
Hal itu sesuai dengan penelitian Forum Peduli Teluk Balikpapan (FPTB). Total luas kawasan Teluk Balikpapan lebih dari 180.000 hektar dengan kawasan hutan mangrove sekitar 19.400 hektar. Berdasarkan penelitian FPTB, kawasan mangrove yang masih bagus di teluk itu tersisa sekitar 17.000 hektar, lebih dari 2.000 hektar sudah mengalami penurunan kualitas.
Pemerintah Provinsi Kaltim tengah berupaya mencegah degradasi hutan mangrove melalui program penurunan emisi gas rumah kaca melalui pencegahan deforestasi dan degradasi hutan berbasis yurisdiksi. Berdasarkan siaran pers yang diterima Kompas, Pemprov Kaltim melibatkan masyarakat Kampung Batu Putih, Kecamatan Batu Putih, Kabupaten Berau, untuk menjaga sekitar 3.000 hektar hutan mangrove.
Pendeteksi tsunami
Untuk mendeteksi tsunami akibat longsor bawah laut di Selat Makassar, Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) menyiapkan sensor berbasis kabel bawah laut. Sensor tersebut akan dipasang sebagai sistem peringatan dini jika terjadi longsor bawah laut di Selat Makassar.
Direktur Pusat Teknologi Reduksi Risiko Bencana BPPT Eko Widi Santoso mengatakan, sensor yang akan dipasang adalah Indonesia Cable Based Tsunameter (InaCBT). Kabel akan dipasang di dasar laut, merentang dari pantai Balikpapan hingga pantai Mamuju, Sulawesi Barat, sepanjang 272 kilometer.
”Rencana pemasangan kabel tahun 2021. Tahun ini, kami fokus studi kelayakan, detail engineering design (DED), dan perizinan,” kata Eko dalam kunjungan BPPT ke Balikpapan beberapa saat lalu.
Sensor ini merupakan teknologi baru pengganti buoy, alat pendeteksi tsunami berupa pelampung di laut. Alat itu banyak yang rusak karena kerap dirusak manusia. Pada tahap pertama nanti, kabel itu akan dipasang dari Selat Makassar hingga pantai Balikpapan sepanjang 240 kilometer.
Meski demikian, vegetasi pantai sangat penting diwujudkan di sepanjang pantai sisi timur Kalimantan. Ketika tsunami terjadi di sekitar Selat Sunda pada Desember 2018, sebuah kampung di sisi selatan Pantai Tanjung Lesung, Banten, masih utuh karena terselamatkan vegetasi pantai.
Dari bibir pantai hingga perkampungan terbentang vegetasi pantai sepanjang 200 meter. BNPB mendapati jejak tsunami di lepas pantai setinggi 3,6 meter. Dengan adanya vegetasi itu, gelombang melemah sehingga air yang sampai ke permukiman hanya setinggi 40 sentimeter.