Sapi menjadi ternak paling berharga bagi warga lereng Gunung Merapi di Jawa Tengah dan DI Yogyakarta. Dalam fase krisis Merapi saat ini, keselamatan hewan-hewan tersebut juga menjadi prioritas.
Oleh
mohamad final daeng/kristi dwi utami
·4 menit baca
Bagi masyarakat di lingkar Gunung Merapi, sapi ternak adalah harta yang sangat berharga. Saat gunung di perbatasan Jawa Tengah-DI Yogyakarta ini mulai bergejolak, nasib sapi-sapi itu pun menjadi persoalan penting. Evakuasi penduduk tak memungkinkan tanpa menyertakan sapi dalam perhitungan.
Wajah Woto (50) semringah saat melihat sebuah truk memasuki pekarangan rumahnya di Dusun Ngipiksari, Desa Balerante, Kabupaten Klaten, Jawa Tengah. Kendaraan yang sudah ditunggu-tunggu itu akan membawa dua sapi miliknya mengungsi, menjauhi potensi bahaya erupsi Merapi. ”Karena semua sudah mengungsi, saya juga ikut,” ujar Woto.
Dusun Ngipiksari merupakan salah satu dari empat dusun di Balerante yang berada dalam kawasan rawan bencana erupsi Merapi. Tiga dusun lainnya adalah Gondang, Sambungrejo, dan Sukorejo. Keempat dusun itu berada dalam radius bahaya erupsi Merapi, yakni 5 kilometer (km) dari puncak.
Hari itu, Kamis (12/11/2020), Woto bersiap mengungsi bersama sanak keluarga ke posko pengungsian di Balai Desa Balerante, yang terletak 9 km dari puncak, jauh di luar radius bahaya erupsi. Namun, sebelum meninggalkan rumah, Woto harus mengurus evakuasi ternaknya itu. Saat truk datang, Woto bersama sejumlah kerabat menaikkan sapi satu demi satu ke bak truk.
Selain dua sapi milik Woto, terdapat lima sapi milik kerabatnya yang akan diungsikan bersama. Truk itu pun harus bolak-balik dua kali untuk mengangkut semua ternak tersebut ke lokasi evakuasi di kandang komunal, sekitar 300 meter dari Balai Desa Balerante.
Truk itu disediakan gratis oleh pemerintah desa untuk mengevakuasi ternak warga dari keempat dusun zona bahaya. Sukarelawan siaga bencana yang terdiri atas pemuda-pemuda desa pun turut membantu evakuasi tersebut. Sebanyak lima truk dan puluhan sukarelawan dikerahkan untuk ”operasi” itu selama beberapa hari.
Woto pun mengikuti truk di belakang dengan sepeda motor tuanya. Dua kali perjalanan terhenti karena tali pengekang sapi pada bak truk terlepas sehingga harus diperbaiki. Kesulitan berlanjut karena sapi-sapi ”berontak” saat akan diturunkan dari truk dan digiring ke kandang.
Saya trauma kejadian itu. Jadi, sekarang ternak diungsikan lebih cepat.
Namun, saat semua urusan itu tuntas, senyum Woto kembali mengembang, mengetahui sapi-sapinya akan aman selama krisis Merapi ini. ”Sapi ini tabungan saya,” katanya.
Lain lagi cerita Wagimin (40), warga Ngipiksari yang juga mengungsikan dua sapinya ke kandang komunal. Dia tak mau mengulangi kesalahan saat erupsi Merapi tahun 2010. Waktu itu, enam sapinya musnah diterjang awan panas akibat tak segera diungsikan.
Alhasil, dirinya mengalami kerugian puluhan juta rupiah. ”Saya trauma kejadian itu. Jadi, sekarang ternak diungsikan lebih cepat,” katanya.
Ternak sapi menjadi andalan Wagimin dalam memenuhi berbagai kebutuhan hidup yang memerlukan biaya besar, termasuk saat membiayai pernikahan kedua anaknya. Ternak itu menjadi harta bernilai tinggi dan mudah dijual saat diperlukan.
Hingga Jumat (13/11/2020), tercatat 92 sapi yang telah diungsikan ke kandang komunal di Balerante. Selama di pengungsian, sapi-sapi itu dirawat oleh setiap pemilik dengan dibawakan pakan rumput dan dibersihkan. Mayoritas sapi ternak yang dipelihara warga Balerante adalah sapi potong.
Sekretaris Desa Balerante Basuki mengatakan, karena arti penting ternak bagi masyarakat, pihaknya juga memikirkan proses evakuasi hewan-hewan tersebut. ”Kandang komunal itu bisa menampung 270 sapi, cukup untuk semua sapi dari empat dusun rawan bencana,” ujarnya.
Menurut Basuki, hampir setiap rumah di lereng Merapi di Balerante memiliki sapi ternak. Dulu, sapi-sapi itu dipakai juga untuk membajak ladang kebun, tapi sekarang kebanyakan hanya dipelihara saja di kandang untuk digemukkan sebagai ”celengan” warga. ”Yang tidak punya sapi malah bisa dihitung dengan jari,” ujarnya.
Arti penting sapi ternak juga dirasakan warga lereng Merapi di Kabupaten Magelang, Jateng. Karena itu, saat belum mendapat kejelasan terkait mekanisme evakuasi ternak dari pemerintah, warga risau.
Marsi (32), warga Desa Krinjing, Kecamatan Dukun, yang mengungsi di Balai Desa Deyangan, Kecamatan Mertoyudan, harus berpisah sementara dari kakak dan keponakannya. Kakak Marsi yang berusia 47 tahun itu tetap bertahan di dusun yang hanya berjarak sekitar 5 kilometer dari puncak Merapi untuk mengurus ternaknya.
”Kakak saya tidak mau turun kalau nasib dua sapinya belum jelas. Dua sapi itu warisan dari suaminya, untuk biaya sekolah anak mereka,” ujar Marsi.
Pengungsi lain, Supriyadi (53), juga merasakan kegelisahan yang sama. Keputusan Supriyadi melepas dua sapinya dengan harga murah saat Merapi erupsi 2010 lalu tak ingin ia ulangi.
Supriyadi menceritakan, pada 2010, erupsi Merapi yang datang tiba-tiba membuat dirinya tidak memiliki cukup waktu untuk menyelamatkan ternaknya. Akibatnya, dua ternak itu sakit dan dijual murah.
”Kala itu, harga satu sapi Rp 9 juta. Karena sapinya sakit, dua sapi hanya dihargai Rp 7 juta,” kata warga Desa Ngargomulyo, Kecamatan Dukun, yang mengungsi di lapangan futsal Stofia Tamanagung, Kecamatan Muntilan, itu.
Selain keselamatan jiwa manusia, bagi warga lereng Merapi, keselamatan sapi ternak mereka juga penting dalam menghadapi ancaman erupsi Merapi seperti sekarang. Saat sapi telah dipastikan aman, pengungsi pun tenang.