Letusan itu mengubur 13 desa, merenggut jiwa 1.369 orang dan 2.100 ternak. Endapan lahar mencapai ketebalan 10 meter. Sementara abu vulkanik setebal 40 sentimeter dan hujan lumpur mencapai Kota Yogyakarta.
Oleh
mohamad final daeng
·3 menit baca
Sukiman menunjuk suatu titik di seberang jurang di Deles, Desa Sidorejo, Kabupaten Klaten, Jawa Tengah, Kamis (19/11/2020). Di situlah, 90 tahun lalu, sebuah kampung besar berdiri. Namun, Gunung Merapi merenggut semuanya sehingga tak tersisa apa pun lagi, kecuali satu hal: pelajaran tentang bahaya erupsi Merapi.
”Di situ lokasi bekas Kampung Seluman. Sampai sekarang, cerita tentang kampung itu selalu menjadi pengingat bagi warga soal bahaya Merapi,” kata Sukiman, tokoh relawan sekaligus perintis manajemen mitigasi bencana berbasis masyarakat di Desa Sidorejo.
Desa Sidorejo merupakan salah satu dari tiga desa di Klaten yang masuk kawasan rawan bahaya erupsi Merapi. Saat Merapi naik status jadi Siaga (Level III) pada 5 November, kenangan tentang Kampung Seluman kembali menghinggapi warga Sidorejo.
Seluman adalah kampung yang musnah dilahap awan panas erupsi Merapi pada tahun 1930. Jaraknya 4,3 kilometer arah tenggara puncak Merapi. Saat ini, wilayah yang masuk dalam kawasan Taman Nasional Gunung Merapi itu dipenuhi rumput dan pepohonan.
Berdasarkan cerita turun-temurun di kalangan warga Sidorejo, tidak ada penduduk Seluman yang selamat dari bencana tahun 1930 itu. ”Warga kampung yang tersisa adalah mereka yang saat erupsi sedang tidak berada di kampung,” kata Sukiman.
Dari catatan sejarah, erupsi tahun 1930 merupakan salah satu erupsi besar Merapi, bahkan disebutkan lebih besar dari letusan eksplosif tahun 2010. Saat itu, titik terjauh luncuran awan panas dilaporkan mencapai 13 kilometer dari puncak.
Letusan itu mengubur 13 desa, merenggut jiwa 1.369 orang dan 2.100 ternak. Endapan lahar mencapai ketebalan 10 meter. Sementara abu vulkanik setebal 40 sentimeter dan hujan lumpur mencapai Kota Yogyakarta, yang berjarak 30 kilometer garis lurus dari puncak Merapi.
”Lokasi yang berada di pinggir Kali Woro membuat Kampung Seluman rawan terkena dampak erupsi. Awan panas selalu meluncur melewati kali,” kata Sukiman. Saat ini, tidak ada lagi permukiman warga Sidorejo pada radius 5 kilometer dari puncak yang dekat dengan Kali Woro.
Jack Donal (35), warga Sidorejo yang juga aktif sebagai relawan siaga bencana, bercerita, pada 2001 dirinya pernah berupaya mengumpulkan cerita-cerita dari tetua desa tentang Seluman, termasuk dari segelintir bekas penduduk kampung itu yang masih hidup. Namun, tidak ada saksi sejarah yang mau bercerita.
”Mereka menganggap hal itu pamali (pantangan) untuk dibicarakan. Akhirnya, cerita tentang kampung itu tak bisa didokumentasikan,” ujarnya.
Oleh karena itu, hingga kini, tidak diketahui berapa jumlah penduduk kampung itu sebelum dilanda erupsi dan bagaimana kehidupan warganya. ”Kampung itu sejak dulu memang terpencil dari kampung-kampung lain,” ucap Jack.
Pelajaran berharga
Selang 90 tahun setelah Seluman musnah, pelajaran berharga dipetik masyarakat, yakni menyiapkan diri hidup berdampingan dengan ancaman bencana. Sidorejo kini memiliki manajemen siaga bencana yang disusun oleh masyarakat sendiri dan diterapkan sejak erupsi 2010.
Sukiman mengatakan, meski saat ini belum ada warga yang mengungsi, segala persiapan sudah dilakukan. Terdapat tiga dukuh (setingkat rukun tetangga) yang berada dalam radius bahaya 5 km dari puncak Merapi, yakni Mbangan, Deles, dan Petung Lor. Total penduduk ketiga dukuh itu 365 jiwa.
Di antara persiapan menghadapi ancaman erupsi kali ini adalah pendataan seluruh warga di kawasan bahaya, penyiapan armada angkutan evakuasi di setiap rumah, dan penerapan sistem ronda 24 jam. Setiap keluarga juga sudah mengemas pakaian dan surat-surat berharga dalam tas yang bisa langsung dibawa jika erupsi terjadi. ”Jadi, jika sudah saatnya mengungsi, warga telah siap,” kata Sukiman.