Tanpa Sanksi Tegas, Konflik dan Pelanggaran Zona Tangkap di Natuna Akan Terus Berulang
Konflik nelayan tradisional dan nelayan pukat terus terjadi di Kepri. Pemerintah perlu tegas mengatur zona tangkap dan penggunaan alat tangkap agar benang kusut konflik nelayan tradisional dan nelayan pukat bisa diputus.
Oleh
PANDU WIIYOGA/KRISTI UTAMI
·4 menit baca
BATAM, KOMPAS — Konflik antara nelayan tradisional dan nelayan pukat terus terjadi di Kepulauan Riau. Terbaru, nelayan di Pulau Serasan, Natuna, menangkap satu kapal cantrang asal Pati, Jawa Tengah. Pemerintah perlu tegas mengatur zona tangkap dan penggunaan alat tangkap agar benang kusut konflik nelayan tradisional dan nelayan pukat bisa segera diputus.
Ketua Aliansi Nelayan Natuna Hendri, Senin (7/12/2020), mengatakan, konflik nelayan tradisional dengan kapal pukat di Kepulauan Riau juga terjadi di perairan Kepulauan Anambas dan Kepulauan Tambelan. Konflik terjadi karena kapal purse seine dan cantrang kerap beroperasi di perairan yang kurang dari 12 mil dari garis pantai pulau terdekat.
”Nelayan tradisional bereaksi keras karena pukat, terutama cantrang, itu sering merusak rumpon dan bubu. Selain itu, cantrang juga merusak karang Acropora yang kecil dan rapuh. Kalau karang rusak, tentu ikan akan pergi,” kata Hendri, saat dihubungi melalui telepon dari Batam.
Pada 4 Desember, nelayan di Pulau Serasan ramai-ramai menangkap satu kapal cantrang asal Juwana, Pati. Menurut salah satu nelayan tradisional di sana, Muhammad Sandi (31), lima kapal cantrang asal Juwana beroperasi selama berminggu-minggu di perairan yang jaraknya sekitar 8 mil dari Pulau Kelapa di Kecamatan Serasan.
”Ada lebih dari 40 rumpon nelayan Serasan yang habis kena cantrang mereka. Kami jengkel sekali. Butuh biaya Rp 1 juta untuk buat satu rumpon,” kata Sandi.
Beroperasinya kapal cantrang dari pantai utara Jawa di perairan Natuna bermula pada Februari 2020. Saat itu, Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Kemanan memobilisasi ratusan kapal cantrang dari pantura Jawa untuk mengisi kekosongan di Laut Natuna Utara sekaligus untuk mencegah masuknya kapal ikan asing ke perairan tersebut.
Akan tetapi, kata Hendri, kapal cantrang asal Juwana itu tidak termasuk dalam rombongan kapal-kapal cantrang yang dimobilisasi pemerintah ke Laut Natuna Utara. Ia menyatakan, kapal cantrang dari Juwana sudah beroperasi di perairan Serasan sejak 2016.
Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Kemanan memobilisasi ratusan kapal cantrang dari pantura Jawa untuk mengisi kekosongan di Laut Natuna Utara sekaligus untuk mencegah masuknya kapal ikan asing ke perairan tersebut.
Akhir April 2020, Direktur Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan (PSDKP) Kementerian Kelautan dan Perikanan, Pung Nugroho Saksono, mengatakan, mayoritas kapal dari pantura Jawa, terutama Tegal, yang dimobilisasi ke Laut Natuna Utara banyak yang pulang sejak Maret 2020. Mereka tidak mendapat ikan sebanyak yang diharapkan.
Hendri keberatan pemerintah mengizinkan kapal cantrang beroperasi di perairan Natuna. Dalam Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 71 Tahun 2016 tentang Jalur Penangkapan Ikan dan Penempatan Alat Penangkapan Ikan di Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP) RI disebutkan, alat tangkap cantrang dilarang beroperasi untuk mewujudkan pemanfaatan sumber daya ikan yang bertanggung jawab, optimal, dan berkelanjutan.
Akan tetapi, kini, penggunaan cantrang kembali diizinkan karena Kementerian Kelautan dan Perikanan sedang merevisi 18 peraturan di lingkup sektor perikanan tangkap yang dinilai menghambat dunia usaha. Revisi itu disebut perlu untuk mendorong investasi.
”Cantrang tidak efektif digunakan di perairan yang dalamnya lebih dari 50 meter. Maka, sudah pasti mereka akan beroperasi di pinggir dan bersinggungan dengan wilayah tangkap nelayan tradisional,” ucap Hendri.
Cantrang tidak efektif digunakan di perairan yang dalamnya lebih dari 50 meter. Maka, sudah pasti mereka akan beroperasi di pinggir dan bersinggungan dengan wilayah tangkap nelayan tradisional.
Menurut Wakil Ketua Paguyuban Nelayan Cantrang Mina Santosa Kabupaten Pati Heri Budiyanto, nelayan cantrang dari Pati mulai melaut di perairan Natuna sejak pertengahan tahun 2020. Menurut Heri, nelayan cantrang Pati melaut di daerah tersebut sebagai bagian dari program mobilisasi nelayan ke Natuna.
”Setelah nelayan dari Tegal pulang, kami yang mengisi di sana. Selain mencari ikan, kami juga berperan mengawasi kapal asing yang masuk ke perairan Indonesia,” kata Heri.
Heri menuturkan, pihaknya trauma dengan kejadian penangkapan oleh warga beberapa waktu lalu. Hal itu membuat mereka enggan kembali melaut di dekat pulau-pulau tersebut.
”Untuk sementara, kami tidak berani melaut di daerah itu lagi. Takut kalau nanti kapal kami dibakar,” ujar Heri.
Heri berharap, pemerintah bisa menjembatani komunikasi antarkelompok nelayan tersebut. Sehingga, potensi konflik serupa bisa dicegah. Selain itu, Heri juga ingin agar nelayan yang mengikuti program mobilisasi ke Natuna dilindungi dan dijaga aparat keamanan.
Menanggapi hal itu, Kepala PSDKP Batam Salman Mokoginta menyatakan, sudah berkoordinasi dengan petugas PSDP di Cilacap, Jawa Tengah, supaya menyosialisasikan zona tangkap yang diizinkan kepada nelayan pantura Jawa yang melaut di perairan Natuna. Sanksi tegas bisa dijatuhkan apabila kapal cantrang melanggar zona tangkap.
”Kami akan merekomendasikan ke Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap agar izin kapal cantrang yang melanggar zona tangkap itu dicabut,” kata Salman.