Wabah Dinasti Politik dan Calon Tunggal
Calon tunggal dan kerabat pejabat atau dinasti politik menjadi fenomena mencolok pada Pilkada 2020. Fenomena ini menunjukkan parpol mengalami krisis kader. Di sisi lain, pemilih masih melanggengkan praktik tersebut.
Pemilihan Kepala Daerah 2020 menjadi panggung bagi sejumlah dinasti politik dan calon tunggal untuk menunjukkan eksistensinya. Fenomena ini menegaskan kegagalan partai politik dalam melakukan fungsi rekrutmen. Di sisi lain, sikap permisif pemilih turut melanggengkan praktik tersebut. Publik harus terus mengawal jalannya pemerintahan agar kekhawatiran penyimpangan kekuasaan terhindarkan.
Dalam setiap pemilihan kepala daerah, dinasti politik selalu mengemuka, tak terkecuali pada Pilkada 2020. Dalam perhelatan tahun ini, kontestasi politik lokal itu diramaikan oleh kerabat beberapa keluarga di lingkungan Istana Negara, Jakarta.
Putra sulung Presiden Joko Widodo, Gibran Rakabuming Raka, diprediksi memenangi kontestasi di Solo, Jawa Tengah. Sementara menantunya, Muhammad Bobby Afif Nasution, kemungkinan besar menang melawan penantangnya pada Pilkada Medan, Sumatera Utara. Adapun putra Pramono Anung, Hanindhito Himawan Pramana, yang melawan kotak kosong di Kediri, Jawa Timur, pun diprediksi serupa dengan anak dan menantu Presiden Jokowi.
Baca juga: Pasangan Calon Perseorangan Pilkada Kota Metro Unggul Sementara
Akan tetapi, keterlibatan kerabat pejabat publik tak hanya terjadi di dekat pusat kekuasaan. Sekitar 3.000 kilometer timur laut ibu kota negara, tepatnya di Kabupaten Minahasa Utara, Sulawesi Utara, praktik dinasti politik juga mengakar kuat.
Trah Dondokambey, yang telah menduduki kursi Gubernur Sulawesi Utara melalui Olly Dondokambey, kini akan memperkuat dominasinya di wilayah ujung utara Pulau Sulawesi. Petahana Dondokambey yang berpasangan dengan Steven Kandou sementara unggul dibandingkan dengan dua kandidat lain.
Tak hanya Olly, keponakannya, Kevin William Lotulung, yang mencalonkan diri sebagai wakil bupati Minahasa Utara juga berpotensi memenangi kontestasi. ”Kalau ada potensi, siapa pun dia, pasti boleh maju,” ujar Kevin.
Trah Dondokambey, yang telah menduduki kursi Gubernur Sulawesi Utara melalui Olly Dondokambey, kini akan memperkuat dominasinya di wilayah ujung utara Pulau Sulawesi.
Trah Dondonkambey yang menduduki jabatan politik tak hanya Olly dan Kevin. Robby Dondokambey, kakak Olly, kini masih menjabat Wakil Bupati Minahasa. Tak hanya di kursi eksekutif, kerabat Dondonkambey pun menduduki jabatan legislatif di tingkat daerah dan pusat. Dua saudara kandung Olly, Adriana Dondokambey menjadi anggota DPRD Manado,serta Aaltje Dondokambey berada di DPR.
Beranak pinak
Di Banten, yang letaknya hanya bersebelahan dengan Jakarta, praktik dinasti politik bahkan telah terjadi sejak awal provinsi ini dibentuk tahun 2000. Praktik politik dinasti terus bertahan, bahkan seakan beranak pinak.
Dari empat kabupaten/kota di Banten yang menggelar Pilkada 2020, tiga di antaranya dimenangi keluarga Ratu Atut Chosiyah, eks Gubernur Banten yang kini masih mendekam di penjara akibat kasus suap kepada Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Akil Mochtar dan kasus jual-beli jabatan. Adapun tiga daerah tersebut adalah Kabupaten Pandeglang, Kabupaten Serang, dan Kota Tangerang Selatan.
Di Pandeglang, pasangan Irna Narulita-Tanto Warsono Arban unggul. Irna adalah istri Achmad Dimyati Natakusumah, anggota DPR. Sementara Tanto adalah menantu Atut, yang juga suami Andiara Aprilia Hikmat, anggota DPD.
Dari empat kabupaten/kota di Banten yang menggelar Pilkada 2020, tiga di antaranya dimenangi keluarga Ratu Atut Chosiyah, eks Gubernur Banten.
Jika ditelusuri lebih jauh, Andiara adalah adik ipar Wakil Gubernur Banten Andika Hazmury, yang merupakan anak sulung Atut atau ponakan ipar Ratu Tatu Chasanah, Bupati Serang. Di Kabupaten Serang, petahana Tatu-Panji Tirtayasa pun sementara unggul telak atas rivalnya, Nasrul Ulum-Eki Baihaki. Tatu adalah ibu dari Pilar Saga Ichsan, yang hingga Sabtu ini unggul di Tangerang Selatan. Adapun Pilar merupakan keponakan dari suami Wali Kota Tangerang Selatan Airin Rachmi Diany, yakni Tubagus Chaeri Wardhana, yang kini masih mendekam di penjara akibat korupsi.
Hanya Cilegon yang lepas dari dinasti Tubagus Aat Syafaat karena anaknya, Ratu Ati Marliati, kalah. Adapun Aat merupakan eks Wali Kota Cilegon selama dua periode dan bekas terpidana korupsi pembangunan tiang pancang dermaga Pelabuhan Kubangsari, Kota Cilegon, pada 2010 senilai Rp 49,1 miliar.
Riset Nagara Institute mencatat, tren politik dinasti terus meningkat dalam pilkda. Pada 2015-2018, ada 86 kepala derah yang berafiliasi dengan politik dinasti. Jumlahnya cenderung meningkat pada Pilkada 2020 yang tercatat ada 124 calon kepala daerah yang menjadi bagian dari politik dinasti.
Sebarannya paling banyak di Pulau Sulawesi (33 kandidat), Sumatera (33 kandidat), dan Jawa (32 kandidat). Disusul Pulau Kalimantan (12 kandidat), Bali, Nusa Tenggara Barat, dan Nusa Tenggara Timur (10 kandidat), serta kepulauan Maluku (4 kandidat). Adapun partai politik pengusung kandidat dinasti politik terbanyak adalah Partai Golkar (12,9 persen), PDI Perjuangan (12,4 persen), Nasdem (10,1 persen), dan Gerindra (9,7 persen).
Tak hanya tren dinasti politik yang meningkat, jumlah calon tunggal juga mendominasi pada Pilkada 2020. Sebanyak 25 pasangan calon tunggal berkontestasi di 25 kabupaten/kota di 12 provinsi. Berdasarkan data Sistem Informasi Rekapitulasi (Sirekap) Komisi Pemilihan Umum (KPU) hingga pukul 20.00, Sabtu (12/12/2020), dari 25 pasangan calon tunggal, sebanyak 24 pasangn unggul lebih dari 60 persen suara dari pemilih yang memilih kotak kosong. Adapun suara yang sudah masuk ke Sirekap dari 24 daerah tersebut sekitar 70 persen dari total TPS di setiap wilayah.
Satu pasangan calon tunggal lainnya, yaitu di Pilkada Pegunungan Arfak (Papua Barat), belum dapat dipastikan unggul atau tidak dari jumlah pemilih kotak kosong. Itu karena belum ada suara dari satu TPS pun yang datanya masuk ke Sirekap.
Baca juga: Pilkada 2020, Investasi Menuju Kontestasi 2024
Berdasarkan catatan Kompas, sejak pasangan calon tunggal pertama kali muncul di Pilkada Serentak 2015, jumlahnya terus meningkat di pilkada setelahnya. Pada Pilkada 2015, hanya ada tiga daerah yang menggelar pilkada dengan pasangan calon tunggal, lalu meningkat menjadi sembilan daerah pada Pilkada 2017 dan 16 daerah pada Pilkada 2018.
Dari 16 daerah yang menggelar pilkada dengan pasangan calon tunggal pada 2018, hanya pada Pilkada Makassar 2018 pasangan calon tunggal kalah dari kotak kosong sehingga pilkada diulang pada 2020.
Fenomena menguatnya dinasti politik dan calon tunggal merusak demokrasi.
Kehilangan roh demokrasi
Guru Besar Institut Pemerintahan Dalam Negeri Djohermansyah Djohan mengatakan, fenomena menguatnya dinasti politik dan calon tunggal merusak demokrasi. Demokrasi hanya dipandang sebatas partisipasi pemilih, tetapi melupakan dua nilai penting lain, kontestasi dan kesetaraan.
”Itu namanya demokrasi sepertiga, bukan demokrasi penuh. Jadi, pilkada ini hanya sepertiga demokrasi karena ada nilai yang diabaikan. Demokrasi kita menjadi kehilangan rohnya yang sejati,” ucap Djohermansyah.
Kedua fenomena itu memiliki dampak buruk. Dinasti politik, misalnya, sangat berbahaya terhadap tata kelola pemerintahan yang baik. Hal tersebut telah mengemuka saat penyusunan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Pilkada. Pada 2014, setidaknya 11 persen dari 524 daerah otonom terdapat politik dinasti.
Saat itu, Djohermansyah menilai, tata kelola pemerintahan yang didasarkan pada ”ampi” atau ”anak, menantu, ponakan, istri” rentan terjadi perilaku koruptif yang berlanjut. Kerusakan di pemerintahan akan ditutup-tutupi. Bahkan, terdapat fenomena pemerintahan bayangan (shadow governance). Jika anak atau istri berkuasa, suami masih dijadikan penasihat atau staf ahli. Di sana mereka masih ikut campur dalam pengambilan keputusan.
”Jadi, pemerintahan menjadi tidak sehat. Itu bahaya lagi pada birokrasi. Kalau mau ganti birokrasi, orang-orang yang dulu membantu bapaknya itu tak boleh dicopot. Padalah, birokrasi, kan, harus selalu disegarkan,” katanya.
Tata kelola pemerintahan yang didasarkan pada ’ampi’ atau ’anak, menantu, ponakan, istri’ rentan terjadi perilaku koruptif yang berlanjut. Kerusakan di pemerintahan akan ditutup-tutupi. Bahkan, terdapat fenomena pemerintahan bayangan (shadow governance).
Lebih jauh, di dalam proyek pengadaan barang dan jasa, rekanan bapaknya tidak boleh diubah. Jadi, rekanan itu harus terus berlanjut hingga kepemipinan istri atau anaknya. Ini rawan sekali perilaku koruptif.
Jika melihat dampak buruk calon tunggal, sebenarnya juga tidak jauh berbeda. Dengan konsep pemborongan partai, calon tunggal harus setia ”menyantuni” partai pengusungnya. Setiap ada agenda besar dari partai pengusung, ongkos itu diminta ke kepala daerah. ”Nah, itu harus merogoh kocek dari dia. Itu yang kemudian, salah-salah, duit tidak ada, lalu korupsi atau menerima suap,” kata Djohermansyah.
Pengajar di Departemen Politik dan Pemerintahan Universitas Gadjah Mada, Mada Sukmajati, menilai, langgengnya praktik dinasti politik dan calon tunggal dipengaruhi dua komponen utama pilkada, yakni partai politik dan pemilih.
Satu sisi, partai politik gagal melakukan fungsi perekrutan politik sehingga tidak mampu melahirkan calon kepala daerah. Dari sisi pemilih, mayoritas merupakan pemilih tradisional yang masih terjebak pada pertimbangan bibit atau keturunan dari kandidat sehingga sering kali mengabaikan faktor-faktor lain.
”Yang berbahaya adalah saat politik dinasti menguasai kursi eksekutif dan legislatif sehingga fungsi kontrol bisa terganggu,” katanya.
Tidak semua calon yang berafilisasi dengan pejabat publik selalu menang. Di Tangerang Selatan, misalnya, anak dari Wakil Presiden Ma’ruf Amin, Siti Nur Azizah, dan keponakan dari Menteri Pertahanan Prabowo Subianto, Rahayu Saraswati, diprediksi kalah. ”Harus lihat juga lawannya sehingga tak serta-merta menang,” ucap Mada.
Di sisi lain, pilkada ini bukanlah akhir dari partisipasi politik. Masyarakat harus memainkan peran pengawasan dan pemantauan terhadap jalannya pemerintahan dinasti. ”Justru ini bukan akhir segalanya, tetapi merupakan awal dari segalanya. Setelah hasil pilkada diketahui dan mereka dilantik, bukan berarti semua selesai karena masih ada tugas publik dan pihak lainnya untuk mengawal pemerintahan baru,” tuturnya.
Peneliti senior politik di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Siti Zuhro, menilai, partai mestinya bertanggung jawab terhadap kualitas calon-calon yang diusung dan didukung. ”Karena itu, fungsi parpol tak hanya besar dalam konteks proses demokrasi, tetapi juga tanggung jawab moralnya,” ujarnya.
Dengan maraknya calon tunggal dan dinasti politik, Siti menilai, partai mulai krisis kader. Fungsi kaderisasi tidak berjalan dengan baik sehingga partai sulit menemukan kader yang terbaik. Menurut dia, kegagalan kaderisasi partai itu sebenarnya bisa terbaca dari gelagat di sejumlah partai saat memilih ketua umum. Sejumlah ketua umum parpol dipilih secara aklamasi yang tidak membuka ruang demokrasi kepada kadernya.
”Pendidikan politik tidak dibangun sejak di internal partai karena kompetisi sudah direcoki dengan niatan pokok’e (pokoknya) menang. Jadi, sama saja ketika di luar, jalan pintasnya dengan mengusung calon tunggal bersama partai lain, pokok’e menang,” ucap Siti.
Pilkada langsung harus dievaluasi dengan serius. Pilkada langsung telah memiliki daya rusak yang besar.
Karena itu, menurut Siti, pilkada langsung harus dievaluasi dengan serius. Pilkada langsung telah memiliki daya rusak yang besar terlihat dari sejumlah operasi tangkap tangan yang menjerat kepala daerah.
Ia pun mengusulkan agar kepala daerah dipilih DPRD. Namun, itu pun harus dibuat klausul baru. Pilihan calon yang diajukan DPRD harus melalui tim seleksi yang juga melibatkan masyarakat sipil. Prosesnya pun harus terbuka bagi masyarakat.
Jika tetap memakai pilkada langsung, Djohermansyah mengusulkan agar calon yang maju harus pernah bekerja di tengah masyarakat, bukan ujug-ujug mendaftar sebagai calon kepala daerah. Bahkan, calon memiliki pengalaman belajar ilmu politik atau ilmu hukum. Syarat lain, calon harus sudah menjadi anggota parpol minimal dua tahun.
Sebelum penetapan calon pun, parpol juga diwajibkan untuk melakukan uji publik. Di dalam proses uji publik, terdapat tim yang dibentuk dari golongan akademisi dan tokoh masyarakat. ”Semua itu patut dipertimbangkan dalam revisi UU Pilkada yang sedang digodok saat ini,” kata Djohermansyah.