Selama 2020, Sebanyak 180 Kali Konflik Satwa-Manusia Terjadi di Aceh
Sepanjang 2020 konflik satwa lindung, yakni harimau sumatera, gajah sumatera, dan orangutan sumatera, di Aceh terjadi 180 kali. Butuh keterlibatan semua pihak untuk mengurangi konflik yang terjadi.
Oleh
ZUKARNAINI
·3 menit baca
BANDA ACEH, KOMPAS — Sepanjang 2020 konflik satwa lindung, yakni harimau sumatera, gajah sumatera, dan orangutan sumatera, di Aceh terjadi 180 kali. Akibatnya, 10 ekor gajah dan satu ekor harimau mati. Empat orang ditetapkan sebagai tersangka atas kematian itu. Butuh keterlibatan semua pihak mulai dari warga, perusahaan swasta, hingga pemerintah untuk mengurangi konflik yang terjadi.
Hal itu disampaikan Kepala Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Aceh Agus Arianto dalam kegiatan ”Catatan Akhir Tahun Kejahatan terhadap Satwa Lindung”, Senin (21/12/2020). Kegiatan itu digelar Forum Jurnalis Lingkungan (FJL) Aceh, Tropical Forest Conservation Action (TFCA) Sumatera. dan Lembaga Suar Galang Keadilan.
Agus mengatakan, konflik belum mereda, bahkan cenderung naik. Misalnya khusus kasus konflik gajah hingga 20 Desember 2020 sebanyak 102 kasus, sementara pada 2019 sebanyak 107 kasus.
Pada 2019 gajah sumatera yang mati tiga ekor, tetapi pada 2020 kematian mencapai 10 ekor. Adapun sejak 2016 hingga 2020 jumlah gajah mati 42 ekor. Penyebab kematian 57 persen karena konflik, 33 persen mati alami, dan 10 persen karena perburuan.
Agus mengatakan, beberapa kasus kematian satwa lindung di Aceh pada 2020 masih dalam penanganan pihak kepolisian. ”Kasus kematian lima ekor gajah di Aceh Jaya pada Januari 2020 sampai sekarang masih dalam proses,” kata Agus.
Agus menuturkan, konflik gajah dan satwa lindung lain sukar ditanggulangi sebab habitat satwa terganggu karena perambahan dan alih fungsi lahan. Sebagian besar satwa lindung kini berada di luar kawasan konservasi dan di luar hutan lindung. Akibatnya perebutan kawasan di area penggunaan lain antara satwa lindung dan manusia menimbulkan konflik.
Perebutan kawasan di area penggunaan lain antara satwa lindung dan manusia menimbulkan konflik. (Agus Arianto)
Manusia mengalami kerugian karena tanaman di perkebunan rusak dimakan gajah. Sementara satwa lindung mati karena terkena kawat listrik yang dipasang petani. Pada 2020 sebanyak enam ekor gajah di Aceh mati karena tersengat pagar listrik.
”Tidak mudah menyelesaikan konflik satwa di Aceh. Butuh keterlibatan semua pihak mulai dari warga, perusahaan swasta, hingga pemerintah,” ujar Agus.
Pada 2020, BKSDA Aceh memasang kawat kejut di lintasan gajah di Kabupaten Bener Meriah dan membuat parit di kawasan hutan di Aceh Jaya. Namun, upaya ini dianggap hanya sebagai langkah mitigasi sementara. Untuk mitigasi jangka panjang, kata Agus, perlu dibuat kawasan khusus bagi satwa.
Wakil Direktur Reserse Kriminal Khusus Polda Aceh Ajun Komisaris Besar Hairajadi mengatakan, pada 2020, jajaran kepolisian menangkap empat tersangka kasus kejahatan terhadap satwa lindung.
Salah satu kasus yang menyita perhatian adalah penangkapan terhadap satu tersangka perdagangan satwa lindung di Bener Meriah. Dalam kasus ini polisi menyita 71 paruh burung rangkong, 28 kilogram sisik trenggiling, satu helai kulit harimau, dan tulang belulang harimau.
Hairajadi mengatakan, kasus kejahatan terhadap satwa lindung masih tinggi. Namun, sumber daya kepolisian, termasuk anggaran penanganan perkara, masih terbatas.
Kasus kematian lima ekor gajah di Aceh Jaya yang terjadi pada Januari 2020 dan kematian satu ekor harimau di Aceh Selatan pada Juni 2020 hingga kini belum tuntas penyelidikan. Hairajadi menuturkan, pihaknya akan menyelesaikan kasus tersebut.
”Dua orang telah ditetapkan sebagai tersangka, tetapi masih dalam pengejaran,” kata Hairajadi.
Di sisi lain, vonis terhadap terdakwa kasus kejahatan satwa liar masih rendah. Akibatnya, tidak memberikan efek jera. ”Kami berharap putusan tinggi agar memberikan efek jera bagi para pelaku,” kata Hairajadi.