Penyebaran kristen di Nusantara dilakukan selama ratusan tahun di ujung timur hingga ujung barat. Sebagian penyebar tidak diingat dengan layak meskipun karya mereka menjadi fondasi bagi gereja-gereja masa kini.
Oleh
FRANSISKUS WISNU WARDHANA, FRANSISKUS PATI HERIN, FABIO LOPEZ DA COSTA
·4 menit baca
Kristen telah menjadi bagian dari Nusantara selama ratusan tahun. Peninggalannya beragam, mulai dari ornamen kepiting menjepit salib sampai gereja yang bertahan dari berbagai gempa besar selama beberapa abad.
Ornamen kepiting menjepit salib dapat ditemukan pada patung-patung Santo Fransiskus Xaverius di berbagai penjuru Maluku. Salah satu patung itu berdiri di Desa Hitive Besar, Kota Ambon. Santo Fransiskus Xaverius tiba di Hitive pada 14 Februari 1546. Fransiskus menjadi bagian dari perjalanan para penjelajah samudra dari Portugis yang mencari sumber rempah-rempah.
Dalam catatan sejarah misi penyebaran agama Katolik, sebagaimana dituturkan oleh Ketua Komisi Sosial Keuskupan Amboina RD Patris Angwarmas, Fransiskus membaptis ribuan orang di dekat Teluk Ambon bagian dalam. Desa-desa itu kini menjadi pusat kota Ambon.
Sebelum membaptis, Fransiskus mengujungi mereka dari rumah ke rumah dengan terlebih dahulu meminta izin raja atau kepala kampung. ”Fransiskus Xaverius punya jasa besar dalam misi penyebaran agama Katolik di Maluku, bahkan di Indonesia,” kata Pastor Paroki Katedral St Fransiskus Xaverius itu.
Manuel, putra Raja Hative, menjadi penerjemah bagi Fransiskus. Setiap kali berjalan, mereka mengusung salib di depan. Fransiskus mendoakan orang sakit dan orang telantar. Banyak yang tertarik dan mau mengikuti ajaran Katolik. Akhirnya semua masyarakat pada tujuh kampung besar di Ambon yang membawahkan beberapa kampung lainnya pun memeluk Katolik.
Kampung-kampung itu adalah Soya, Kilang, Ema, Hative, Nusaniwe, Urimesing, dan Halong. Tak hanya di Ambon, Fransiskus juga mendatangi Pulau Seram, pulau di sisi utara Ambob. ”Di Pulau Seram, Fransiskus menemukan semacam keajaiban,” ujar Patrisius.
Saat hampir mendarat di Pantai Tamilou, pesisir selatan Seram, kapal yang ditumpangi Fransiskus dihantam badai. Salib yang di tangannya jatuh ke dalam air. Sesaat setelah mendarat di pinggir pantai, ada seekor kepiting keluar dari air sambil menggigit salib tersebut. Kepeting yang mencengkeram salib itu menjadi bagian tak terpisahkan dari setiap patung Fransiskus Xaverius di Ambon.
Protestan
Seiring dengan kedatangan Belanda, sebagian pemeluk Katolik beralih ke protestan. Peralihan juga terjadi di kalangan budak-budak Portugis di Melaka. Rekaman kisah mereka melekat pada Gereja Sion atau Gereja Portugis di Jakarta. Dirancang oleh Ewout Verhagen dan menggunakan 10.000 kayu dolken sebagai fondasi, gereja itu rampung dibangun dalam dua tahun sejak 1693.
Gereja itu menjadi pengganti pondok belajar agama yang dipakai selama beberapa waktu oleh para budak tersebut. Pondok itu didirikan di antara kuburan para bekas budak Portugis yang ditempatkan di luar tembok kota Batavia di kawasan yang ini dikenal sebagai Kota Tua Jakarta.
Karena semakin banyak budak yang belajar dan beribadah, pondok tidak cukup lagi sehingga diputuskan dibangun gereja yang pengerjaannya dimulai pada 1693. Sejak dipakai pada 1695, Gereja Sion belum pernah berganti fungsi sampai sekarang.
Tidak hanya mempertahankan fungsinya, bangunan gereja juga bertahan dari gempa. Kala Krakatau meletus dan menghasilkan gempa yang terasa sampai Sri Lanka pada 1883, Gereja Sion nyaris tidak mengalami kerusakan. Padahal, Gereja Sion hampir berusia 200 tahun kala Krakatau meletus di ujung abad ke-19.
Meskipun demikian, bukan berarti tidak pernah ada perbaikan atau restorasi pada gereja berusia 325 tahun itu. Restorasi besar tercatat pada 1725, 1920, 1976, dan 2002. Di luar itu, ada pekerjaan-pekerjaan perawatan. ”Kami usahakan bangunan mendapat perawatan atau perhatian dari pemerintah untuk restorasi kembali,” kata juru pelihara situs Gereja Sion, Yahya Poceratu.
Selain perbaikan bangunan, ada juga penataan lingkungan. Dulu, di sekitar gereja, ada ribuan makam. Sebagian yang dikuburkan di sana adalah korban aneka wabah yang melanda Batavia. Kini, di sekitar gereja hanya tersisa 11 makam.
Gubernur Jenderal Hindia Belanda Herman Willem Daendels memerintahkan banyak jenazah dipindahkan pemakamannya. Lokasi barunya terletak di kawasan yang kini menjadi Museum Taman Prasasti. Daendels mengikuti kepercayaan yang di Eropa pada awal abad ke-19 bahwa makam tidak boleh berada di sekitar tempat ibadah.
Papua
Misi Kristen berabad lalu tidak hanya bergerak di sekitar Batavia. Sebagian bergerak jauh ke timur, seperti dilakukan Gottlieb Lodewijk Bink di Mansinam, pulau kecil di Manokwari, Papua Barat. Bink meneruskan duet Carl Wilhelm Ottow dan Johann Gottlob Geissler yang tiba di Mansinam pada Februari 1855.
”Bink tidak hanya mewartakan injil di Holandia. Ia pun membuat peta wilayah dari daerah Entrop hingga Sentani. Ia pun yang pertama kali menemukan kayu merbau di Sentani,” ungkap Isaac Mambor, tokoh majelis Gereja Ebenhaezer Kampung Yoka.
Bink bertugas di Mansinam hingga Manokwari. Di kedua daerah ini, ia membangun gereja Bethel dan membentuk jemaat Maranatha Kota. Ia juga berkarya di berbagai penjuru Papua.
”Selama 29 tahun, Bink mengabdikan hidupnya di tanah Papua. Namun, sayang, publikasi tentang karya pewartaan Bink masih kurang apabila dibandingkan dengan sejumlah tokoh pewarta di Papua,” kata Issac seraya menyebut Gereja Kristen Injili Papua bermuasal dari upaya Bink mewartakan injil di tanah Papua.