Cegah Layanan Kesehatan Kolaps, Pembatasan Mobilitas di DIY Mendesak
Pemerintah Daerah DI Yogyakarta didesak membatasi mobilitas warga untuk mencegah terus melonjaknya kasus Covid-19. Tanpa pembatasan, kasus Covid-19 akan terus melonjak sehingga layanan kesehatan terancam kolaps.
Oleh
HARIS FIRDAUS/NINO CITRA ANUGRAHANTO
·5 menit baca
YOGYAKARTA, KOMPAS — Pembatasan mobilitas warga di Daerah Istimewa Yogyakarta mendesak di tengah terus melonjaknya kasus Covid-19 di provinsi tersebut. Tanpa pembatasan mobilitas, jumlah kasus Covid-19 akan terus meningkat sehingga dikhawatirkan layanan kesehatan terancam kolaps.
”Saat ini, penerapan protokol kesehatan sangat tidak efektif karena masyarakat kita cenderung abai. Oleh karena itu, perlu ada pembatasan pergerakan orang,” kata Wakil Ketua DPRD DIY Huda Tri Yudiana dalam rapat dengan Gugus Tugas Penanganan Covid-19 DIY, Selasa (29/12/2020) siang, di Yogyakarta.
Berdasarkan data Dinas Kesehatan (Dinkes) DIY, hingga Selasa, jumlah pasien positif Covid-19 di DIY 11.602 orang. Dari jumlah tersebut, 7.718 orang dinyatakan sembuh dan 249 orang meninggal dunia. Sementara, jumlah pasien positif Covid-19 di DIY yang belum sembuh 3.635 orang.
Selama beberapa waktu terakhir, jumlah kasus baru Covid-19 di DIY tergolong tinggi. Pada Selasa, misalnya, terdapat 282 kasus baru Covid-19 di DIY serta 10 pasien positif Covid-19 yang meninggal. Jumlah kasus baru pada Selasa ini merupakan rekor baru jumlah kasus harian tertinggi di DIY.
Selain itu, positivity rate atau rasio positif di DIY pada Selasa ini juga sangat tinggi, yakni 25,64 persen atau lima kali lipat dari rekomendasi Organisasi Kesehatan Dunia (WHO). Rasio positif adalah perbandingan jumlah orang yang menjalani tes reaksi rantai polimerase (polymerase chain reaction/PCR) dengan jumlah orang yang terkonfirmasi positif Covid-19.
Huda menyatakan, penambahan jumlah kasus baru Covid-19 di DIY pada Desember ini sangat mengkhawatirkan. Mengacu data Dinkes DIY, pada periode 1-29 Desember 2020, terdapat 5.639 kasus Covid-19 di DIY. Artinya, jumlah kasus Covid-19 pada bulan ini mencapai 48 persen dari total kasus Covid-19 sejak Maret 2020 di DIY.
”Desember ini, lonjakan kasus Covid-19 di DIY sudah sangat luar biasa,” ungkap Huda yang berasal dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera.
Huda memaparkan, tingginya jumlah kasus Covid-19 pada Desember membuat sejumlah pasien Covid-19 di DIY kesulitan mendapat layanan kesehatan di rumah sakit. Huda menyebut, beberapa waktu terakhir, dirinya kerap menerima keluhan dari berbagai pihak mengenai sulitnya mendapatkan rumah sakit rujukan bagi pasien Covid-19.
Pada Selasa siang, misalnya, Huda mengaku mendapat laporan adanya 16 pasien yang kesulitan mencari rumah sakit rujukan di DIY. ”Informasi yang masuk ke saya saja, per jam ini, ada 16 pasien yang tidak bisa dirujuk. Para pasien ini harusnya dirujuk, tapi tidak bisa dirujuk karena tidak ada ruangan untuk merawat,” katanya.
Saat ini, jumlah tempat tidur pasien Covid-19 di DIY 641 unit yang berada di 27 rumah sakit rujukan. Dari total 641 tempat tidur itu, 64 di antaranya merupakan tempat tidur critical atau intensive care unit (ICU) serta 577 tempat tidur non-critical.
Apabila tidak ada upaya pembatasan mobilitas warga untuk menekan lonjakan kasus Covid-19, penambahan tempat tidur sebanyak apa pun tidak akan bisa mengimbangi jumlah pasien yang butuh dirawat. (Huda Tri Yudiana)
Pada Selasa ini, tingkat keterisian tempat tidur critical mencapai 78,13 persen, sedangkan tempat tidur non-critical 86,66 persen. Tempat tidur critical yang tersisa di DIY hanya 14 unit, sedangkan tempat tidur non-critical tersisa 77 unit.
Huda menuturkan, Pemerintah Daerah (Pemda) DIY memang bisa menambah jumlah tempat tidur rumah sakit rujukan Covid-19. Namun, apabila tidak ada upaya pembatasan mobilitas warga untuk menekan lonjakan kasus Covid-19, penambahan tempat tidur sebanyak apa pun tidak akan bisa mengimbangi jumlah pasien yang membutuhkan perawatan.
”Sebesar apa pun kapasitas rumah sakit, kalau tidak ada pembatasan pergerakan manusia, saya kira kita tidak akan mampu mengatasi lonjakan kasus,” ungkap Huda.
Dia menyebut, pembatasan mobilitas bisa dilakukan dengan sejumlah cara, misalnya menerapkan kebijakan work from home atau bekerja dari rumah. Upaya lain bisa dilakukan dengan menutup sementara obyek-obyek wisata dan kawasan publik yang selama ini menjadi pusat keramaian.
”Di obyek-obyek wisata, harus dipastikan tidak terjadi kerumunan. Kalau tidak mampu melakukan pembatasan agar tidak terjadi kerumunan, ya lebih baik ditutup,” ujar Huda.
Dibahas bersama
Sekretaris Daerah DIY Kadarmanta Baskara Aji mengatakan, wacana pembatasan mobilitas warga merupakan masukan yang bagus. Namun, dia berharap, Gugus Tugas Penanganan Covid-19 DIY mendapat masukan yang lebih rinci mengenai teknis pelaksanaan pembatasan tersebut.
”Berkaitan dengan pembatasan pergerakan orang, saya kira ini masukan yang cukup bagus. Tapi kami di gugus tugas berharap mendapat masukan kira-kira bagaimana teknis melakukan pembatasan itu,” ujar Kadarmanta.
Selain itu, Kadarmanta menambahkan, wacana pembatasan mobilitas warga itu perlu dibahas bersama-sama dengan pemerintah kabupaten/kota di DIY. Sebab, apabila pembatasan mobilitas itu jadi dilakukan, peran pemerintah kabupaten/kota dibutuhkan agar implementasi di lapangan berjalan baik.
”Perlu ada strategi khusus berkaitan dengan pembatasan pergerakan orang ini,” katanya.
Secara terpisah, epidemiolog Universitas Gadjah Mada, Riris Andono Ahmad, mengatakan, kondisi penularan Covid-19 di DIY saat ini sudah tak terkendali. Dalam kondisi tersebut, penerapan protokol kesehatan dengan 3M, yakni memakai masker, menjaga jarak, dan mencuci tangan, tak akan cukup untuk menurunkan laju penularan Covid-19.
”Saat ini, 3M tidak terlihat efektif mencegah penularan. Semua orang bilang menerapkan 3M. Namun, yang terjadi, penularan terus meningkat. Apalagi, transmisi (penularan Covid-19) sudah sangat tinggi,” kata Riris.
Oleh karena itu, untuk menurunkan laju penularan, harus ada pembatasan mobilitas warga. Hanya saja, hingga kini, Pemda DIY belum memutuskan menerapkan pembatasan mobilitas. ”Menghentikan mobilitas ini untuk mengurangi paparan (penularan). Ini yang saya lihat pemerintah enggan untuk melakukannya,” ujar Riris.
Saat ini, 3M tidak terlihat efektif mencegah penularan. Semua orang bilang menerapkan 3M. Namun, yang terjadi, penularan terus meningkat. Apalagi, transmisi (penularan Covid-19) sudah sangat tinggi. (Riris Andono)
Riris mengingatkan, tanpa upaya serius menekan laju penularan, jumlah kasus Covid-19 akan terus naik. Oleh karena itu, jumlah pasien yang membutuhkan layanan kesehatan juga bakal terus bertambah. Kondisi ini berpotensi menyebabkan sistem layanan kesehatan kolaps. Padahal, jika hal itu terjadi, jumlah korban meninggal dunia bisa meningkat signifikan.