100.000 Kasus Covid-19 di Jateng dan Berbagai Persoalannya
Masih kurangnya pemahaman risiko penularan di masyarakat hingga jomplangnya data antarlevel pemerintahan menjadi problem yang belum tuntas. Semangat Jogo Tonggo saatnya menjadi modal untuk pengendalian kasus di Jateng.
Sejak pertama kali diumumkan pertengahan Maret 2020, penularan Covid-19 di Jawa Tengah hingga pekan pertama 2021 tak terbendung hingga lebih dari 100.000 kasus. Pekerjaan rumah masih menumpuk. Mulai dari minimnya pemahaman risiko penularan di kalangan warga hingga data antarlevel pemerintahan yang masih jomplang.
Menurut data corona.jatengprov.go.id yang dimutakhirkan Kamis (7/1/2021) pukul 12.00, terdapat 100.567 kasus positif kumulatif di Jateng dengan rincian 10.679 orang dirawat, 83.666 orang sembuh, dan 6.222 orang meninggal. Hari itu merupakan pertama kalinya kasus kumulatif di provinsi tersebut menyentuh angka 100.000.
Jateng menjadi provinsi kedua setelah DKI yang menembus 100.000 pada kasus kumulatif, setidaknya menurut data pada laman ataupun media sosial resmi setiap provinsi, per Kamis (7/1/2021). Kasus kumulatif Covid-19 di DKI Jakarta ialah 197.699, Jawa Barat 92.547, Jawa Timur 89.950, dan Sulawesi Selatan 34.670.
Baca juga: Selain Perketat Pembatasan, Kota Semarang Siapkan RS Darurat
Menurut catatan Kompas, pada 4 Oktober 2020, data corona.jatengprov.go.id menunjukkan 23.521 kasus positif Covid-19 kumulatif. Artinya, sekitar 75 persen kasus Covid-19 di Jateng disumbang dalam tiga bulan terakhir. Seperti yang terjadi pada sejumlah daerah lain, peningkatan signifikan mulai terasa sejak libur panjang akhir Oktober 2020.
Gubernur Jateng Ganjar Pranowo menilai yang utama saat ini ialah terkait kasus existing atau kasus aktif. Salah satu yang menjadi perhatian Pemprov Jateng ialah meningkatkan kapasitas rumah sakit. Sebab, keterisian tempat tidur (BOR) RS di Jateng, per Rabu (6/1/2021), yakni 64 persen untuk ICU dan 71 persen untuk ruang isolasi.
Padahal, batas aman ialah 60 persen. ”Ini alert (sinyal waspada). Kami akan tambahi 20 persen, diikuti penambahan SDM. (Persoalan) penambahan SDM ini belum tuntas sehingga saya minta dibuatkan skenario, misal pinjam (SDM) dari daerah hijau. Bisa ada kerja sama dengan provinsi lain. Namun, saya yakin kerja sama dengan perguruan tinggi dan organisasi profesi bisa dilakukan,” kata Ganjar, Kamis (7/1/2021).
Menurut dia, angka akumulatif perlu diterjemahkan hingga detail operasinya. Adapun pendirian RS darurat di tingkat provinsi masih belum diperlukan, tetapi perlu disiapkan. Sementara tempat tidur di sejumlah sentra isolasi mandiri, bagi pasien Covid-19 tanpa gejala, seperti Asrama Haji Donohudan (Boyolali) dan Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia Daerah Jateng (Kota Semarang) masih tersedia.
Baca juga: Antisipasi Penolakan Vaksin, Jateng Gencarkan Sosialisasi Persuasif
Peningkatan tingkat keterisian tempat tidur RS di Jateng merupakan impak dari penularan Covid-19 yang semakin masif di provinsi itu, terutama sejak November 2020. Juga tidak lepas dari peningkatan tracing (pelacakan) dan tes pada kontak erat pasien Covid-19 guna memutus mata rantai penularan virus korona jenis baru itu.
Spesimen menumpuk
Kendati demikian, banyaknya sampel atau spesimen sempat tidak sebanding dengan kapasitas laboratorium reaksi rantai polimerase (PCR). Pada 7 Desember 2020, mulai ada pembatasan pengiriman sampel dari daerah-daerah yang tak memiliki laboratorium PCR sendiri. Wonosobo, misalnya, hanya boleh mengirim maksimal 200 sampel per hari.
Direktur RSUD Prof Dr Margono Soekarjo, Tri Kuncoro, 14 Desember 2020, membenarkan adanya pembatasan sampel yang masuk ke laboratorium biomolekuler RS Margono. Itu tak terlepas dari peningkatan tajam jumlah pengiriman sampel dari daerah-daerah yang mereka ampu, yakni Banyumas, Purbalingga, Wonosobo, dan Banjarnegara.
Baca juga: Semarang Raya dan Solo Raya Jadi Prioritas Pengetatan
”Sebelumnya, sampel pernah menumpuk hingga 5.000 lebih spesimen. Namun, sekarang, alhamdulillah penumpukan spesimen lebih kurang tinggal 2.000-an,” ujar Tri, saat itu.
Hal sama juga terjadi di sejumlah daerah di pantai utara barat Jateng, seperti Kabupaten Brebes, Pemalang, Tegal, dan Kota Tegal, yang mengirim sampel ke Balai Laboratorium Kesehatan Semarang, milik Pemprov Jateng. Selain ada pembatasan, waktu tunggu hasil pemeriksaan PCR juga menjadi lebih lama. Dari informasi yang pemkab/pemkot terima, hal itu dikarenakan antrean sampel menumpuk.
Kondisi itu diakui Kepala Dinas Kesehatan Jateng Yulianto Prabowo, Selasa, 22 Desember 2020. Menurut dia, kapasitas laboratorium di Jateng memang terbatas. Ia mencontohkan, Balabkes Semarang hanya berkapasitas 2.000 sampel per hari, tetapi yang masuk bisa hingga 4.000 sampel. Oleh karena itu, pembatasan pengiriman pun dilakukan.
Pembatasan pengiriman sampel itu sempat membuat pelacakan dan tes mengendur di sejumlah daerah. Pasalnya, sampel yang terlalu lama disimpan dikhawatirkan rusak sehingga berpotensi memengaruhi akurasi pemeriksaan.
Baca juga: Daerah Kebut Siapkan Petugas Vaksinasi Covid-19
Namun, masalah itu berangsur tertangani. Di Kabupaten Wonosobo, misalnya, yang pada akhir Desember 2020 akhirnya memiiki laboratorium uji PCR sendiri di RSUD KRT Setjonegoro. ”Sempat hingga 800 sampel, kini tumpukan sampel di freezer kami kosong. Tracing dan testing akan kami kebut lagi,” kata Kepala Bidang Pencegahan dan Pengendalian Penyakit di Dinas Kesehatan Wonosobo Jaelan Sulat, 29 Desember 2020.
Rapuh
Menilik ke belakang, sebelum bertemu dengan segala muara permasalahan, Jateng sebenarnya memiliki program untuk mencegah itu semua. Pada April 2020, Pemprov Jateng meluncurkan program ”Jogo Tonggo” atau menjaga tetangga guna membangun kesadaran warga dalam mencegah penularan Covid-19 dari tingkat terbawah.
Sebagai program, Jogo Tonggo diterapkan lewat satgas yang dibentuk di tingkat RW. Sebagai konsep, Jogo Tonggo diandalkan agar tumbuh kesadaran warga dari tingkat terbawah. Melihat karakteristik warga, pendekatan ini dinilai lebih tepat ketimbang pembatasan sosial berskala besar.
Namun, delapan bulan berlalu, tembok pertahanan Jogo Tonggo semakin rapuh, ditandai dengan kian masifnya penularan Covid-19, yang lalu terdeteksi oleh uji usap PCR. Saat dihadapkan dengan situasi ekonomi, sosial, dan budaya, yang juga terkait dengan peningkatan mobilitas warga, semangat Jogo Tonggo seakan menjadi loyo.
Di Kota Semarang, misalnya. Dari pantauan, kedisiplinan warga untuk memakai masker dan menjaga jarak hanya terlihat di area sekitar pusat kota, termasuk perkantoran dan pusat perbelanjaan. Namun, di permukiman atau wilayah yang jauh dari pusat kota, kerap ditemukan warga hingga pedagang yang sama sekali tidak memakai masker.
Astika (27), warga Semarang Selatan, mengatakan, tampak masyarakat tingkat ekonomi rendah, seperti buruh dan pedagang, yang kerap mengabaikan protokol kesehatan, bahkan terkesan menyepelekan. Sementara kalangan pegawai kantoran cederung sudah mematuhinya.
Baca juga: Layanan Kesehatan Kritis, Tenda Darurat Didirikan di RS Soewondo Pati
”Pasti ada faktor jenuh, tingkat pemahaman yang kurang, serta kurang percaya kepada pemerintah. Pemerintah justru harus terus menjadi contoh dan tidak menutup-nutupi agar masyarakat percaya,” katanya.
Sementara itu, Diaz (27), warga Kecamatan Wonosalam, Demak, menuturkan, kedisiplinan warga untuk mengenakan masker, menjaga jarak, dan mencuci tangan (3M) memang hanya terlihat di sekitar jalan-jalan protokol. ”Kalau di kampung-kampung ya enggak, cenderung biasa saja. Longgar,” ujarnya.
Guru Besar Bidang Ilmu Kesehatan Masyarakat Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta, Bhisma Murti, menuturkan, konsep Jogo Tonggo sebenarnya bagus. Artinya, agar masyarakat terdorong untuk saling mengingatkan dan menjaga agar tidak terluar Covid-19. ”Namun, agar berhasil, ya, harus diimplementasikan betul,” katanya.
Bhisma menuturkan, apa yang terjadi saat ini seakan-akan sudah terjadi gelombang kedua Covid-19. Padahal, sejak awal grafiknya terus menanjak, tidak ada penurunan kasus secara signifikan. Karena itu, pelaksanaan 3M serta screening dan pengujian akurat menjadi hal penting yang harus dilakukan guna mencegah penularan lebih luas.
Di samping belum optimalnya 3M, banyak pasien Covid-19 tanpa gejala dan gejala ringan memilih isolasi mandiri di rumah. Padahal, situasi dan kondisi rumahnya belum tentu mendukung sehingga berpotensi terjadi penularan. Di Wonosobo, misalnya. Per Jumat (8/1/2021), dari total 112 tempat tidur di tempat isolasi terpusat, hanya terisi 15 orang. Di sisi lain, ada 767 orang (positif Covid-19) yang isolasi mandiri di rumah.
Kabid P2P Dinas Kesehatan Wonosobo Jaelan menuturkan, banyak warga menolak ditempatkan di tempat isolasi terpusat. ”Dulu warga patuh untuk ditempatkan di tempat isolasi terpusat. Namun, setelah ada Pedoman Penanganan Covid-19 Kemenkes Revisi Kelima, yang memungkinkan isolasi mandiri, mereka meminta isolasi di rumah,” ujarnya.
Disparitas data
Masalah lain yang belum terselesaikan di Jateng yakni disparitas data antara pemerintah kabupaten/kota, provinsi, dan satgas penanganan Covid-19 pusat. Ada gap hingga puluhan ribu kasus yang belum dapat disinkronisasi. Data sebaran Covid-19 di tingkat kabupaten/kota jauh lebih tinggi daripada provinsi, lebih-lebih dibandingkan dengan pusat.
Menurut data Pemprov Jateng, per Kamis (7/1/2021) terdapat 100.567 kasus positif Covid-19 kumulatif di Jateng, sedangkan data resmi yang ditampilkan di laman dan media sosial resmi setiap kabupaten/kota tercatat ada 128.959 kasus positif kumulatif. Artinya, ada selisih 28.392 kasus dengan data Pemprov Jateng. Itu tidak termasuk Banjarnegara karena tampilan data pada laman informasi Covid-19 daerah itu belum diperbarui sejak 4 September 2020.
Sementara itu, menurut Laporan Media Harian Satgas Penanganan Covid-19 pusat, Kamis (7/1/2021), tercatat ada 88.566 kasus positif kumulatif atau lebih sedikit 12.001 dari data Pemprov Jateng. Terkait data kematian Covid-19 di Jateng, pusat mencatat ada 3.935, sedangan Pemprov Jateng 6.222, sehingga terdapat selisih 2.287 kasus.
Perbedaan data antara pusat dan Jateng sebenarnya telah terjadi sejak lama. Pada Juli 2020, misalnya, Pemprov Jateng berkoodinasi dengan pusat untuk menekan perbedaan data. Perbedaan data, terutama pada jumlah kematian Covid-19, sempat mengecil. Namun, setelah itu kembali melebar hingga saat ini.
Pada pekan kedua Desember 2020, sinkronisasi dilakukan Dinkes Provinsi Jateng dengan pusat. Sejak saat itu, bahkan hingga sekarang, terdapat keterangan ”Sistem sedang proses integrasi dengan Kemenkes. Data dapat berubah sewaktu-waktu” di corona.jatengprov.go.id. Namun, perbedaan data justru semakin melebar.
”Berbeda karena waktu mulai pencatatannya dulu juga berbeda. Data pusat agak ketinggalan,” kata Yulianto Prabowo saat dikonfirmasi, Kamis (7/1/2021).
Sementara itu, terkait keterbukaan data sebaran Covid-19, hampir semua daerah di Jateng menyajikan data mutakhir, baik di laman informasi Covid-19 maupun akun media sosial masing-masing sehingga dapat diakses warga. Hanya Banjarnegara, melalui laman corona.banjarnegarakab.go.id, yang tidak memutakhirkan data. Hingga Jumat (8/1/2021) sore, data belum termutakhir sejak 4 September 2020.
”Ada, yang kami kasih kodim, polres, kejari (kejaksaan negeri), dan PN (pengadilan negeri),” kata Bupati Banjarnegara Budhi Sarwono, saat dikonfirmasi, Jumat, melalui pesan singkat.
Ketika ditanya lebih lanjut terkait aksesibilitas data bagi publik, Budhi menuturkan bahwa data kabupaten sedang diperbaiki. ”Karena ada beberapa pegawai DKK (Dinas Kesehatan Kabupaten) yang positif sehingga kontak erat melakukan WFH (kerja dari rumah). Banyak pekerjaan yang belum diselesaikan. Prioritas pelaporan (data Covid-19) adalah pusat dan provinsi. Ke depan, data kabupaten akan kami perbaiki dan update,” terangnya.
Komplementer
Kini, di gudang milik Dinkes Jateng di Kota Semarang terdapat 62.560 dosis vaksin buatan Sinovac yang dikirim dari PT Biofarma, Bandung, yang tiba pada Senin (4/1/2021) dini hari. Meski muncul harapan, vaksin bukan solusi tunggal atas berbagai persoalan terkait Covid-19 di Indonesia, termasuk di Jateng.
Jaelan menekankan bahwa testing, tracing, dan treatment (tes, pelacakan, dan perawatan atau 3T) serta sosialisasi mengenakan masker, mencuci tangan, dan menjaga jarak (3M) akan digenjot meski vaksin akan segera diberikan. ”Semua intervensi tidak berdiri sendiri-sendiri, tetapi komplementer. Bareng dan serentak,” ucapnya.
Sementara Yulianto juga mengatakan, upaya penanganan secara komprehensif akan tetap dilakukan pihaknya. Termasuk mendukung kebijakan pembatasan kegiatan masyarakat, seperti yang diinstruksikan pemerintah pusat untuk sejumlah daerah di Jawa-Bali. Di Jateng, pembatasan kegiatan diterapkan di Semarang Raya, Solo Raya, dan Banyumas Raya.
Semangat Jogo Tonggo yang diusung Pemprov Jateng sudah saatnya diimplementasikan lebih nyata. Pemimpin, hingga tingkat RT-RW, bahkan keluarga, sudah semestinya menjadi sumber penularan. Bukan Covid-19, melainkan sumber penularan semangat untuk saling menjaga.