Papua Rugi Rp 35 Miliar Setiap Bulan akibat Tambang Ilegal
Kegiatan tambang emas ilegal menyebabkan Pemprov Papua mengalami kerugian besar setiap tahun karena kehilangan potensi pendapatan asli daerah.
Oleh
FABIO MARIA LOPES COSTA
·3 menit baca
JAYAPURA, KOMPAS — Pemerintah Provinsi Papua kehilangan potensi pendapatan asli daerah atau PAD sekitar Rp 35 miliar setiap bulan akibat aktivitas tambang emas ilegal. Aktivitas ini menjamur di sebagian besar wilayah Papua beberapa tahun terakhir.
Hal ini diungkapkan Kepala Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Provinsi Papua Fred James Boray di Jayapura, Kamis (14/1/2021). Fred memaparkan, penyebab kerugian itu karena banyak tambang rakyat yang belum mendapatkan izin dari Pemprov Papua. Hal ini disebabkan belum adanya penetapan status Wilayah Pertambangan Rakyat (WPR) dari Kementerian ESDM.
Saat ini, baru sebagian kecil lokasi tambang rakyat yang sudah mendapatkan status WPR, yakni satu lokasi di Kabupaten Tolikara, satu lokasi di Kabupaten Nabire, dan dua lokasi di Kabupaten Keerom.
”Pengelolaan tambang rakyat di Papua belum optimal. Padahal, sektor ini berpotensi mendapatkan banyak penghasilan dalam PAD hingga puluhan miliar rupiah setiap bulan dan pendapatan negara bukan pajak (PNBP),” kata Fred.
Fred menuturkan, Pemprov Papua telah mengusulkan banyak lokasi tambang di Papua ke Kementerian ESDM untuk ditetapkan sebagai WPR sejak tiga tahun lalu. Namun, Kementerian ESDM belum memberikan keputusan hingga kini.
Adapun lokasi-lokasi yang telah diusulkan oleh Pemprov Papua ke Kementerian ESDM, antara lain, Yahukimo, Pegunungan Bintang, Keerom, Waropen, Kota Jayapura, dan Boven Digoel. Berdasarkan ketentuan, satu orang diizinkan mendapatkan area tambang rakyat seluas 1 hektar, sedangkan untuk satu kelompok masyarakat seluas 5 hektar dan untuk koperasi seluas 10 hektar.
”Kami berencana menyiapkan regulasi sehingga gubernur dapat mengeluarkan izin pertambangan sambil menunggu penetapan WPR dari pusat. Tujuannya agar tahun ini Pemprov Papua sudah bisa mendapatkan PAD dari pengelola tambang rakyat,” tutur Fred.
Ia menambahkan, Pemprov Papua memiliki kebijakan otonomi khusus sehingga bisa mengelola sektor tambang rakyat. Hal ini agar pendapatan dari sektor tersebut digunakan untuk membangun Papua. ”Diperlukan persiapan yang matang sebelum gubernur mengeluarkan izin tambang rakyat. Kami tidak ingin ada konsekuensi hukum pascakebijakan ini dikeluarkan,” katanya.
Koordinator Forum Kerja Pengelolaan Sumber Daya Alam Papua John Gobay mengatakan, pihaknya sepakat dengan rencana Pemprov Papua untuk mengeluarkan izin tambang rakyat pada tahun ini. Tujuannya untuk mencegah kerugian negara terus bertambah.
”Pemprov Papua bisa memberikan izin karena sesuai dengan Peraturan Daerah Provinsi yang ditetapkan DPR Papua tahun 2018 tentang pertambangan rakyat. Selain itu, Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 menyatakan daerah dengan status khusus dapat mengatur tentang sektor pertambangan,” tutur John.
Ia berpendapat, pemberian izin juga akan membuka lapangan pekerjaan baru bagi masyarakat Papua. Total sekitar 90.000 orang yang kini beraktivitas di areal tambang rakyat yang belum memiliki izin.
John pun menyatakan, pihaknya siap mendampingi Pemprov Papua untuk memberikan pelatihan dan sosialisasi bagi masyarakat agar dapat mengelola tambang rakyat dengan ramah lingkungan.