Waspada Sembilan Sesar Pemicu Gempa di Papua dan Papua Barat
Terjadi 1.597 kali gempa bumi di Papua dan Papua Barat sepanjang tahun 2020. Penyebab ribuan kali gempa ini dipicu pergerakan sembilan sesar yang aktif.
Oleh
FABIO MARIA LOPES COSTA
·4 menit baca
JAYAPURA, KOMPAS — Masyarakat wajib mewaspadai pergerakan sembilan sesar atau patahan di wilayah Papua dan Papua Barat yang menyebabkan terjadi gempa bumi. Sepanjang tahun 2020 terjadi 1.597 kali gempa di kedua provinsi tersebut akibat pergerakan sembilan sesar tersebut.
Hal ini disampaikan Kepala Subbidang Pengumpulan dan Penyebaran Balai Besar Meteorologi Klimatologi dan Geofisika Wilayah V Jayapura Dedy Irjayanto di Jayapura, Kamis (14/1/ 2021).
Dedy memaparkan, sembilan sesar atau patahan wajib diwaspadai masyarakat di Papua dan Papua Barat karena pergerakannya yang sangat aktif. Hal inilah yang memicu rawan terjadi gempa bumi tektonik.
Adapun sembilan sesar ini meliputi Sesar Sorong di Sorong dan Sesar Ransiki di Ransiki di Wilayah Papua Barat. Sementara di wilayah Papua adalah Sesar Yapen di Wilayah Serui dan Biak, Zona Patahan Waipoga, Wandamen, Sesar Sungkup Weyland di Nabire dan sekitarnya, Zona Lajur Anjak Mamberamo di Wilayah Sarmi dan sekitarnya, zona pengangkatan Cycloop di Jayapura dan sekitarnya, serta Lajur Anjak Pegunungan Tengah di Wilayah Wamena dan sekitarnya.
”Warga yang bermukim di sembilan jalur sesar ini harus meningkatkan mitigasi karena wilayah Papua dan Papua Barat merupakan kawasan rawan terjadi gempa,” papar Dedy.
Ia menuturkan, sepanjang tahun 2020 terjadi 1.597 kali gempa bumi tektonik dengan klasifikasi gempa bumi signifikan atau dirasakan mencapai sebanyak 58 kali.
Adapun ditinjau dari sisi kekuatan magnitudo, 1.597 gempa ini meliputi 1.420 kali gempa dengan kekuatan di bawah magnitudo 4; 165 kali gempa dengan magnitudo 4 hingga 5; dan 12 kali gempa dengan magnitudo di atas 5.
Ditinjau dari kedalaman, gempa bumi tersebut didominasi oleh gempa bumi dangkal dengan kedalaman kurang dari 70 kilometer sebanyak 1.516 kali, gempa bumi kedalaman menengah dari 71 hingga 80 kilometer sebanyak 20 kali gempa, dan 1 kali gempa dengan kedalaman lebih dari 300 kilometer.
”Gempa ini juga rawan memicu gelombang tsunami dalam waktu beberapa menit saja. Potensi terjadi tsunami apabila terjadi gempa di atas magnitudo 7 dan kedalaman dangkal. Warga segera harus mencari tempat yang aman apabila terjadi kondisi tersebut,” tutur Dedy.
Ia pun berharap, masyarakat bisa segera melakukan mitigasi bencana dan evakuasi mandiri dengan mematuhi protokol kesehatan yang berlaku ketika terjadi gempa bumi berkekuatan besar.
Kepala Satuan Polisi Pamong Praja dan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Provinsi Papua Welliam Manderi mengimbau warga untuk meningkatkan mitigasi bencana khususnya di daerah rawan gempa bumi.
Ia pun meminta warga aktif menggunakan aplikasi yang diciptakan Balai Besar Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika Wilayah V Jayapura pada tahun 2019, yakni Sistem Informasi Gempa Bumi dan Tsunami.
Aplikasi yang memiliki 12 konten skala gempa ini berperan penting bagi Badan Penanggulangan Bencana Daerah untuk memberikan pertolongan secepatnya bagi warga di daerah yang terdampak gempa bumi.
Aplikasi ini juga bermanfaat sebagai corong info untuk mencegah berita bohong atau hoaks terkait dampak gempa yang bisa meresahkan warga.
Telah dipetakan
Weliam memaparkan, pihaknya telah memetakan potensi bencana untuk lima wilayah adat di Papua. Adapun lima wilayah adat ini adalah Saireri, Tabi, Animha, Lapago, dan Meepago.
Saireri meliputi Biak Numfor, Waropen, Kepulauan Yapen, Supiori, dan Mamberamo Raya. Potensi bencana di Saireri meliputi gempa, tsunami, dan abrasi. Tabi meliputi Kota Jayapura, Kabupaten Jayapura, Sarmi, dan Keerom. Potensi bencana di Tabi meliputi gempa, tsunami, banjir, dan longsor.
Animha meliputi Asmat, Merauke, Mappi, dan Boven Digoel. Potensi bencana di Animha adalah kebakaran hutan, gempa, dan banjir. Meepago meliputi Nabire, Paniai, Deiyai, Dogiyai, Mimika, dan Intan Jaya.
Lapago meliputi Jayawijaya, Tolikara, Yahukimo, Puncak Jaya, Pegunungan Bintang, Yalimo, Lanny Jaya, Mamberamo Tengah, Nduga, dan Puncak. Potensi bencana di Lapago adalah banjir, longsor, gempa, dan cuaca dingin ektrem.
Ia menuturkan, program mitigasi bencana di Papua baik dengan pembangunan infrastruktur dan meningkatkan kemampuan warga dalam mengantisipasi bencana masih terkendala biaya. Sebagian besar Pemda hanya menganggarkan untuk BPBD sekitar Rp 2 miliar per tahun. Seharusnya, lanjut Weliam, setiap BPBD di Papua mendapat anggaran sekitar Rp 10 miliar karena memiliki kondisi geografis yang sulit dan rumit.
Adapun jumlah personel BPBD hanya 20-40 orang untuk penanganan bencana di setiap daerah di Papua. Pihak BPBD selalu meminta bantuan dari sejumlah organisasi masyarakat sebagai tenaga sukarelawan apabila terjadi bencana.
”Salah satu kendala juga dalam mitigasi bencana ialah belum terdapat fasilitas selter atau penampungan bagi warga. Padahal, fasilitas ini berfungsi bagi warga yang mengungsi untuk menghindari bencana seperti tsunami atau banjir di Papua,” ungkap Welliam.