Hujan Lebat, Empat Warga Manado Tewas pada "Ulang Tahun" ke-7 Banjir Bandang
Empat warga Manado tewas tertimbun longsor, Sabtu (16/1/2021), sedangkan satu orang masih dicari di tengah reruntuhan. Hujan lebat juga sebabkan banjir dan listrik padam.
Oleh
KRISTIAN OKA PRASETYADI
·4 menit baca
MANADO, KOMPAS – Sedikitnya empat warga Manado, Sulawesi Utara, tewas tertimbun longsor, Sabtu (16/1/2021) malam. Sedangkan seorang lainnya masih dicari di tengah reruntuhan. Hujan deras yang mengguyur Manado dan sekitarnya sepanjang hari juga menyebabkan banjir sehingga arus lalu lintas tertupus dan aliran listrik padam.
Tiga orang tewas tertimbun longsoran tanah yang merobohkan rumah mereka di Kelurahan Perkamil. Mereka berasal dari satu keluarga yang terdiri dari ayah, ibu, dan anak. Masing-masing adalah Fany Poluan (50), Arni Lorens (43), dan Chelsea (8). Pencarian jenazah di dalam tumbukan tanah membutuhkan waktu hampir tiga jam.
Sementara itu, di Kelurahan Malalayang Satu Barat, tanggul beton penahan tebing yang baru berumur satu bulan tak dapat menahan tanah di baliknya. Tanggul itu dibangun Pemkot Manado dengan dana APBD Rp 390,4 juta selama 90 hari sejak 8 September 2020.
Longsor pun segera menghancurkan rumah sekaligus indekos di belakangnya hingga menewaskan Meini Pondaag dan menyebabkan penghuni bernama Kevin luka-luka. Ia sudah dilarikan ke Rumah Sakit Umum Pusat Prof dr RD Kandou Manado untuk mendapat perawatan.
Seorang lagi bernama Hasan masih tertimbun dan dalam pencarian hingga malam hari. Kepala Kantor Badan Pencarian dan Penyelamatan Nasional Manado Suhri Sinaga mengatakan, sebanyak 22 personel dan 15 personel Brigadir Mobil Polres Manado telah dikerahkan untuk mencari korban, beserta satu ekskavator. “Daerah lain sudah aman, jadi kami tarik personel ke sini,” kata dia.
Akan tetapi, Basarnas menghentikan pencarian karena hujan tak kunjung berhenti. Tebing di belakang lokasi dikhawatirkan akan kembali longsor. Tim SAR sempat mundur dengan panik dari lokasi pencarian karena tanah dari tebing mulai runtuh lagi.
“Kami kesulitan menemukan korban karena tidak tahu posisi dia saat kejadian, sedang di lantai dasar atau lantai dua gedung. Pencarian akan kami lanjutkan besok (Minggu, 17/1) pukul 06.30 Wita,” kata Suhri.
Manado diguyur hujan sehari penuh. Puncaknya, longsor di Perkamil dan Malalayang terjadi antara pukul 15.00-16.00 Wita. Vicky (30), warga Malalayang Satu Barat, mengatakan tiba-tiba saja terdengar gemuruh seperti guntur. Tiba-tiba saja Meini yang tewas dalam peristiwa itu berteriak minta tolong.
“Longsor terjadi dua kali. Setelah yang kedua, korban sudah tidak terselamatkan. Dapur, kamar mandi, dan kos-kosan roboh. Seumur-umur baru sekarang longsor besar. Selama ini cuma longsor kecil,” ujar Vicky.
Seorang warga Asrama Polisi di Kelurahan Paal IV dikabarkan meninggal dunia karena longsor juga. Namun, Basarnas maupun Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Sulut maupun Manado belum mengonfirmasi kabar tersebut.
Hujan yang tak kunjung reda juga menyebabkan banjir di berbagai lokasi. Akses Jalan Trans Sulawesi yang menghubungkan Manado dengan Minahasa bahkan terhambat karena air hujan tak bisa mengalir ke Teluk Manado yang sedang pasang juga. Kemacetan juga tampak di jalan protokol dalam kota, seperti Jalan Ahmad Yani.
Sementara itu, rumah-rumah di sekitar sungai juga terendam air dengan ketinggan 50 sentimeter hingga 1 meter. Wilayah utara Manado, seperti Tuminting, Singkil, dan Bunaken, sudah digenangi banjir lebih tinggi dari 1 meter. Wilayah itu terletak di sekitar daerah aliran Sungai Tondano.
Wilayah Tikala Baru bahkan terisolasi. Akses ke Kelurahan Paal IV terputus. Rumah warga terendam air, sedangkan listrik mati sehingga kawasan itu gelap gulita. “Warga biasanya cuma mengungsi ke rumah kerabat terdekat di Sawangan (Minahasa),” kata Adrian (55), warga Tikala Baru.
Prakirawan Stasiun Meteorologi Sam Ratulangi Manado, Nickyta Laurensis Setiadi, mengatakan curah hujan mencapai 110,1 milimeter pada Jumat (15/1). Curah hujan menurun menjadi 88,1 mm pada Sabtu, tetapi durasinya jauh lebih lama.
Menurut Nickyta, hujan disebabkan oleh adanya pusat tekanan udara rendah berukuran 1.003 milibar. Akibatnya, terbentuk daerah belokan angin dan konvergensi di sepanjang wilayah Laut Sulawesi. Fenomena ini memicu pembentukan awan konvektif yang sangat intens di seluruh wilayah Sulut.
“Akibatnya adalah hujan dengan intensitas sedang hingga lebat yang disertai kilat dalam durasi lama. Udara juga sangat lembab, sedangkan citra satelit menunjukkan pembentukan awan-awan konvektif. Hujan yang terus turun menyebabkan tanah semakin jenuh, berujung jadi banjir dan longsor,” kata dia.
Tak bisa diprediksi
Wali Kota Manado Vicky Lumentut mengatakan, bencana ini terjadi tepat 7 tahun lebih sehari sejak banjir bandang menerjang Manado pada 15 Januari 2014. Menurut dia, siklus banjir di Manado sebenarnya lima tahunan, tetapi kali ini terjadi pada tahun ketujuh.
“Artinya, bencana tidak bisa kita prediksi. Banjir dan longsor tidak bisa kita kendalikan. Wujud kesiapan kita adalah pengiriman tim penyelamat ke wilayah bencana,” kata Vicky.
Ia pun mengimbau warga di daerah rawan banjir dan longsor untuk segera mengungsi karena hujan tak kunjung berhenti hingga malam hari. Wilayah hinterland Manado, termasuk di dataran tinggi seperti Minahasa yang menjadi hulu aliran sungai ke Manado, juga masih diguyur hujan. Warga dapat mengungsi ke fasilitas umum seperti rumah ibadah atau sekolah.
Vicky mengakui, masih banyak rumah di Manado yang tak memiliki izin mendirikan bangunan, terutama di wilayah rawan bencana. Ia mengatakan, rencana tata ruang dan wilayah akan diperketat lagi.