Gempa susulan yng masih sering terjadi memaksa warga bertahan di pengungsian. Padahal, bekal dan perlengkapn mereka minim. Mereka berharap perhatian pemerintah.
Oleh
RENY SRI AYU
·2 menit baca
MAJENE, KOMPAS — Warga terdampak gempa terus bertahan di pengungsian walau dengan bekal dan perlengkapan seadanya. Gempa susulan yang masih terus terjadi membuat warga memilih berada di pengungsian. Tercatat sekitar 17.000 warga di beberapa kecamatan meninggalkan rumah dan berada di pengungsian.
Pantauan Kompas di Kecamatan Malunda, Ulumanda, Tubo Sendana, hingga Kecamatan Sendana, Majene, Sabtu (16/1/2021), menunjukkan banyak desa yang nampak kosong. Rumah-rumah ditinggal pemiliknya mengungsi hingga desa-desa ini tampak seperti desa mati.
Malunda adalah kecamatan terdekat dengan pusat gempa. Wilayah ini berada 90 kilometer arah utara pusat kota Majene. Malunda berbatasan dengan Kecamatan Tappalang, Mamuju.
Sebenarnya kami takut tsunami. Tapi jika bertahan di bukit dan terjadi gempa, risikonya bisa terjebak longsor bahkan jatuh ke jurang. Pilihan mengungsi di pesisir bisa lebih dekat mendapat pertolongan jika ada yang sakit atau mendapat bantuan. (Halijah)
Wilayah Malunda sebagian besar terdiri atas perbukitan dan berbatasan langsung dengan laut. Perbukitan dipadati penduduk, begitu pun wilayah pesisir. Perbukitan yang rawan longsor membuat warga memilih meninggalkan permukiman dan mengungsi di sekitar pesisir. Mereka membangun tenda-tenda di tepi jalan trans Sulawesi yang menghubungkan Majene dan Mamuju.
”Sebenarnya kami takut tsunami. Tapi, jika bertahan di bukit dan terjadi gempa, risikonya bisa terjebak longsor bahkan jatuh ke jurang. Pilihan mengungsi di pesisir bisa lebih dekat mendapat pertolongan jika ada yang sakit atau mendapat bantuan,” kata Halijah (35), warga Desa Sambabo, Malunda.
Sebaliknya, di Kecanatan Sendana yang warganya banyak berdiam di pesisir, mereka kini mengungsi ke perbukitan.
Naik ke bukit
”Kalau sore kami naik ke bukit dan tidur di tenda. Kalau pagi kami turun dan melakukan apa yang bisa dikerjakan termasuk menengok rumah. Sebenarnya jadi repot dan lelah, tapi mau bagaimana lagi. Kami belum berani tinggal di rumah, sementara gempa masih terus terjadi,” kata Nursiah (45), warga Kecamatan Sendana.
Warga yang mengungsi mengaku sangat minim menerima bantuan. Padahal, mereka mengungsi dengan bekal dan perlengkapan seadanya. Saat ini pasar dan toko-toko di beberapa kecamatan tutup.
Kepala Bidang Kedaruratan BPBD Majene Sirajuddin mengakui, sejauh ini bantuan yang disalurkan masih terbatas. Bantuan yang disalurkan baru berupa air bersih siap minum, beras, bahan makanan lain, dan tenda yang diakui masih sedikit.
”Pengungsi ada sekitar 17.000. Itu pun baru data dari tiga kecamatan saja. Rumah rusak belum semua kami data karena banyak yang berada di perbukitan. Hitungan sementara kami perkiraan 900 rumah. Korban meninggal yang kami data sembilan orang,” kata Sirajuddin.
Tak hanya kecamatan tersebut, bahkan di pusat kota Majene juga banyak warga mengungsi. Sebagian meninggalkan Majene menuju kabupaten tetangga, seperti Polewali Mandar dan Mamasa, bahkan ke Sulsel.
Sepanjang Sabtu, tampak banyak warga yang meninggalkan Majene dengan mengendarai kendaraan roda empat maupun dua dengan membawa barang yang bisa dibawa.