Memupuk Harapan di Balik Reruntuhan
Terpenuhinya asa untuk memakamkan para korban tertimpa runtuhan bangunan akibat gempa pada Jumat lalu juga menjadi harapan keluarga-keluarga lain yang anggotanya menjadi korban.
Udin (32) duduk lesu di depan sebuah bangunan di Jalan Abdul Wahab Asisi, Kabupaten Mamuju, Sulawesi Barat. Matanya nanar menatap alat berat yang menggaruk patahan dan bongkahan beton. Di bawah bongkahan beton tersebut, Nurbaedah (17) masih terjebak.
Sebelum tim evakuasi bekerja pada Jumat (15/1/2021) sore, Udin naik ke puing-puing untuk memanggil-manggil nama adiknya itu. Namun, tak ada jawaban. Ia bahkan sempat mengangkat sebagian bongkahan atau patahan beton, berharap bisa secepatnya menemukan Nurbaedah.
Begitu tim evakuasi bekerja dengan alat berat dan anggota lebih banyak pada Sabtu (16/1), harapan Udin untuk menemukan sang adik membuncah. Matanya terus mengawasi dari jauh gerakan gerigi alat berat tersebut. Saat tim evakuasi memasuki area pencarian dan memanggil-manggil korban, ia juga ikut turun. Ia turut memanggil nama Nurbaedah meskipun tak ada balasan.
”Keluarga menginginkan evakuasi dilakukan cepat. Kami berharap banyak kepada tim evakuasi,” ujarnya dengan mata tetap menatap ke arah titik evakuasi.
Ia memang tak lagi bernapas, tetapi bisa mendapatkan jasadnya dianggap keluarga sudah lebih dari cukup. Keluarga pun dapat mengantarkan kepergian Nurbaedah dengan prosesi yang layak.
Udin, yang berasal dari Kecamatan Kaluku, Mamuju, diutus keluarganya mengurus evakuasi adik bungsu mereka tersebut. Ia sudah berada di titik reruntuhan toko lantai tiga dan rumah makan itu sejak Jumat siang. Begitu keluarga mendengar warung tempat Nurbaedah bekerja itu runtuh akibat gempa bermagnitudo 6,2 pada Jumat dini hari, mereka pun kalut.
Siswi kelas III sekolah menengah atas di Kaluku itu bekerja di warung tersebut sejak April. Ia ingin mencari penghasilan di tengah proses belajar yang dilakukan secara daring karena pandemi Covid-19. Ia bekerja di situ karena temannya lebih dulu bekerja di situ. Selama bekerja, ia tinggal di warung yang juga dijadikan rumah tinggal tersebut.
Nurbaedah bersama suami-istri pemilik warung tersebut baru pindah ke tempat itu minggu lalu. Jika saja tidak pindah, mungkin tragedi itu tak terjadi karena tempat lama yang disewa sebelumnya selamat dari gempa.
Udin menuturkan, keluarga berharap agar Nurbaedah segera ditemukan, apa pun kondisinya. ”Kami sangat bersyukur kalau memang dia masih selamat dan harapan kami memang begitu,” tuturnya.
Asa keluarga itu terpenuhi pukul 14.00 Wita. Tim evakuasi berhasil menemukan titik keberadaan Nurbaedah di bawah reruntuhan bangunan. Ia memang tak lagi bernapas, tetapi bisa mendapatkan jasadnya dianggap keluarga sudah lebih dari cukup. Keluarga pun dapat mengantarkan kepergian Nurbaedah dengan prosesi yang layak.
Baca juga: Korban Gempa di Mamuju Masih Terjebak di Reruntuhan Bangunan
Terpenuhinya asa untuk memakamkan para korban tertimpa runtuhan bangunan akibat gempa pada Jumat lalu juga menjadi harapan keluarga-keluarga lain yang anggotanya menjadi korban. Bencana tak menghapus penghormatan mereka atas anggota keluarga menuju peristirahatan terakhir. Korban-korban itu, antara lain, terdapat di reruntuhan RS Mitra Manakarra dan sejumlah rumah warga.
Hingga Sabtu sore, merujuk data Kepolisian Resor Mamuju, jumlah korban meninggal yang dievakuasi di Mamuju sebanyak 39 orang. Sebagian sempat diidentifikasi di RS Bhayangkara, sebagian lagi langsung diserahkan kepada keluarga.
Kepala Basarnas Kantor Pencarian dan Pertolongan Mamuju Saidar menyatakan, pihaknya tetap menerima informasi untuk evakuasi. Ada kemungkinan warga belum menyampaikan informasi kehilangan anggota keluarga di tengah situasi bencana. Pihaknya juga terus berpatroli untuk mencari informasi terkait hal tersebut.
Di sisi lain, dampak gempa membuat ratusan warga memilih mengungsi ke luar Sulbar, terutama ke Makassar, Sulawesi Selatan. Hingga Sabtu malam, jumlah pengungsi dari Sulbar di Makassar terus bertambah. Selama dua hari terakhir, total 207 pengungsi yang diterbangkan ke Makassar. Trauma akan gempa susulan dan sulitnya logistik menjadi alasan utama para penyintas.
Pada Sabtu malam, sekitar pukul 19.00 Wita, pesawat TNI AU kembali tiba di Pangkalan Udara Sultan Hasanuddin, Makassar, membawa 122 pengungsi. Sebelumnya, pada siang hari, total 65 orang diterbangkan dengan dua pesawat, di mana satu orang di antaranya terluka. Korban luka dibawa dengan ambulans menuju RSAU Dody Sarjoto untuk mendapatkan perawatan. Jumlah ini menambah pengungsi sehari sebelumnya yang sebanyak 20 orang.
Edi (45), salah seorang pengungsi, datang bersama istri dan empat anaknya. Ia memilih mengungsi di rumah keluarganya di Makassar karena khawatir gempa susulan terjadi kembali. ”Anak saya kecil-kecil. Paling bungsu baru dua bulan. Kami takut masuk rumah, jadi mending mengungsi. Syukur sudah tiba di Makassar,” ucapnya.
Selain trauma gempa, ia juga khawatir kesulitan dengan logistik sehari-hari. Anaknya yang masih kecil membutuhkan nutrisi dan perlengkapan. Sementara itu, kondisi gempa menyulitkan para penyintas untuk mendapatkan kebutuhan tersebut.
Panglima Komando Operasi Angkatan Udara II Marsekal Muda Minggit Tribowo pada Sabtu pagi menyampaikan, korban gempa Sulbar akan difasilitasi dengan pesawat TNI AU jika ingin mengungsi sementara. Bantuan logistik, katanya, juga terus dikirimkan ke wilayah terdampak. Sejumlah bantuan dari sejumlah pihak mengalir dan dibawa menggunakan pesawat TNI ke Mamuju untuk disalurkan.
Baca juga: Antisipasi Dampak Ganda Bencana Alam dan Pandemi Covid-19
Di Kabupaten Majene, wilayah terdekat dengan pusat gempa, para penyintas juga terpaksa mengungsi jauh dari rumah mereka. Tak peduli dengan bekal dan perlengkapan seadanya, mereka berkumpul di pengungsian. Akibatnya, desa-desa di Kecamatan Malunda dan Ulumanda, misalnya, kini menjelma jadi desa mati.
Warga Malunda dan Ulumanda sebagian besar berdiam di perbukitan. Sumber ekonomi mereka juga ada di kebun-kebun yang berada di bukit. Namun, kondisi desa yang kini rawan gempa susulan memaksa mereka turun gunung ke pesisir. Jejeran tenda pengungsi dengan mudah dijumpai di tepi jalan hingga di halaman bangunan sekolah atau rumah yang sebagian bangunannya sudah roboh.
”Kami bukan tak mau bertahan di rumah. Sebenarnya kalau bicara potensi tsunami, bukit mungkin lebih aman. Tapi, kondisi rumah yang sudah hancur ataupun retak, kebun-kebun yang longsor, membuat kami tak bisa berbuat banyak. Di pengungsian, berkumpul bersama kerabat dan tetangga walaupun dalam kekurangan, rasanya lebih menguatkan. Kami juga bisa saling bantu,” kata Abdul Haris (42), warga Desa Salu Manda, Malunda.
Jika warga di Malunda banyak yang turun gunung, sebaliknya di sekitar Kecamatan Sendana, warga meninggalkan wilayah pesisir itu dan naik ke bukit. Di Sendana, selama ini sebagian warga memilih membangun warung-warung makan lesehan dengan bangunan kayu seadanya.
Sabtu, beberapa pemilik warung memilih mulai kembali berjualan walau hanya dengan satu-dua ikan yang ada. Beberapa nelayan tetap nekat melaut di tepian agar bisa memperoleh ikan.
”Setidaknya ada yang membeli ikan nelayan. Orang-orang yang ke Malunda atau dari Malunda juga bisa makan. Soalnya sekarang banyak warung tutup. Cuma sekarang saya tidak pakai nasi karena tidak ada beras. Persedian beras kami pakai di pengungsian,” kata Megawati (48), warga Sendana.
Dia pun berjualan sembari siaga bersiap-siap lari jika terjadi gempa lagi. Tampak tasnya terus dikempit dan peralatan masak dikeluarkan seadanya. Hari itu ada tiga rombongan yang singgah makan. Seusai ketiga rombongan makan, persediaan ikannya habis. ”Saatnya saya tutup dan kembali ke bukit. Saya agak terganggu melihat ombak besar di depan,” katanya.