Longsor menjadi ancaman serius pascagempa di Majene. Persoalan lain muncul karena Majene menjadi pelintasan logistik dari Sulsel. Keterbatasan peralatan berat menjadi kendala saat longsor terjadi.
Oleh
Reny Sri Ayu
·3 menit baca
MAJENE, KOMPAS — Longsor menjadi ancaman serius di Kabupaten Majene, Sulawesi Barat, terutama pascagempa bermagnitudo 6,2 pada 15 Januari. Saat ini, kondisi bukit-bukit dan tebing batu yang membentang sepanjang lebih 100 kilometer antara ibu kota Majene dan perbatasan Kabupaten Mamuju sangat rawan longsor.
Pada Senin (18/1/2021), longsor kembali menutup jalur Majene-Mamuju, tepatnya di Kecamatan Tubo Sendana. Sebelumnya, beberapa titik longsor juga menutup jalan di Kecamatan Malunda, Majene. Runtuhan batu yang berukuran lebih besar dari truk jatuh menimpa jalan.
Namun, saat longsor terjadi, tak ada pengendara yang tertimpa material longsoran. Pembersihan menjadi lambat karena hanya ada satu ekskavator yang beroperasi, itu pun tanpa pemecah batu sehingga reruntuhan besar tak bisa disingkirkan.
Hal ini menyebabkan kemacetan panjang di jalur Trans-Sulawesi ini hingga Senin malam. Pascagempa, jalur ini menjadi vital dan ramai dilintasi kendaraan pembawa bantuan logistik dari Sulawesi Selatan, sukarelawan, hingga penyintas yang keluar dari Mamuju.
Sepanjang Majene-Mamuju, umumnya jalan menjadi pemisah antara perbukitan dan tebing di satu sisi serta laut di sisi lain. Karena itu, saat terjadi longsor, kendaraan tak bisa bermanuver sehingga harus menunggu alat berat bekerja atau berputar balik.
Kepala Dinas Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Majene Inindria, yang ditemui di lokasi, mengatakan, struktur bebatuan di perbukitan dan tebing antara Majene dan Mamuju sebagian besar rapuh. Bahkan, saat tak ada gempa pun, longsor sering terjadi.
”Bebatuannya rapuh dan hanya dibungkus lapisan tanah tipis. Saat hujan deras, biasanya tanahnya terkikis, akhirnya batunya longsor. Apalagi, setelah gempa banyak retakan. Inilah yang dikhawatirkan sekarang,” kata Inindria.
Pantauan di sepanjang Kota Majene hingga Malunda di perbatasan Mamuju tampak banyak retakan di tebing-tebing sepanjang sisi jalan. Di beberapa bagian, tebing-tebing ini hanya menunggu waktu untuk jatuh.
Persoalan lain adalah terbatasnya alat berat. Dinas PUPR Majene hanya memiliki satu ekskavator. Itu pun alat tersebut saat ini terjebak longsor di desa terisolasi di Kecamatan Ulumanda.
”Selama ini, jika longsor, kami dibantu alat berat dari balai jalan nasional atau provinsi. Namun, sekarang alat berat dikerahkan di Mamuju. Saat ini kami bingung karena di beberapa desa yang terisolasi di Ulumanda dan Malunda membutuhkan alat berat. Di jalur Trans-Sulawesi ini pun idealnya ada tiga ekskavator, lima loader, dan pemecah batu yang harus disiagakan di beberapa titik,” kata Inindria.
Saat ini, kerawanan longsor menjadi momok menakutkan bagi pengguna jalan, terlebih saat terjadi antrean panjang kendaraan. ”Setiap lewat sini pasti merasa khawatir karena kita tidak tahu kapan tebing ini akan longsor. Apalagi saat kendaraan antre seperti sekarang. Setiap saat, saya selalu melihat ke tebing dan melihat yang retak,” kata Zainuddin (43), salah satu sopir truk pembawa logistik.