Kerugian Gempa di Sulbar Diperkirakan Rp 829 Miliar
Gempa di Sulawesi Barat menimbulkan kerusakan parah dan korban jiwa yang tidak sedikit karena struktur bangunan dibuat tidak dengan memperhitungkan risiko bencana.
Oleh
SAIFUL RIJAL YUNUS
·3 menit baca
MAMUJU, KOMPAS — Gempa yang mengguncang wilayah Sulawesi Barat diperkirakan menimbulkan kerugian minimal Rp 829 miliar. Kerusakan rumah dan bangunan mendominasi sekaligus menyebabkan korban tewas dalam jumlah berlipat akibat tertimpa reruntuhan. Penataan wilayah dan aturan konstruksi mendesak dilakukan.
Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) memerinci, kerugian akibat gempa Sulawesi Barat di wilayah Majene Rp 449,8 miliar dan di Mamuju Rp 379 miliar. Nilai kerugian diprediksi terus bertambah seiring validasi pendataan yang terus dilakukan.
”Kerugian dari kerusakan di permukiman mendominasi, sekitar 7.000 rumah. Nilainya sekitar Rp 630 miliar atau lebih dari 75 persen dari total nilai kerugian. Selebihnya adalah sektor sosial, seperti kantor, pendidikan, dan kesehatan, serta ekonomi juga infrastruktur,” tutur Deputi Bidang Rehabilitasi dan Rekonstruksi BNPB Rifai, Rabu (27/1/2021).
Gempa dengan magnitudo 6,2 yang mengguncang Sulbar, Jumat (15/1/2021), menewaskan 105 orang dan 3 orang dilaporkan hilang. Banyak korban jiwa akibat tertimpa reruntuhan bangunan. Mayoritas warga kini hidup di tenda pengungsian karena trauma akan gempa susulan. Gempa juga menimbulkan kerusakan bangunan parah, termasuk Kantor Gubernur Sulbar dan rumah sakit, serta longsor yang menutup jalan dan ribuan rumah.
Amry Dasar, pengajar di Fakultas Teknik Universitas Sulbar, menjabarkan, besarnya dampak kerusakan bangunan dari gempa menunjukkan sebagian besar rumah tidak dibangun dengan konstruksi tahan gempa. Standar teknis bangunan tidak laik fungsi dan sebagian besar bangunan memiliki struktur lemah.
”Bangunan itu harus menerapkan sistem rangka pemikul momen khusus, dalam hal ini di Sulbar adalah gempa. Dalam desain struktur bangunan itu, menganut prinsip kolom kuat balok lemah karena gempa bekerja secara horizontal. Makanya, yang harus diperkuat itu tiang sebagai pengikat,” kata Amry yang mengambil studi doktoral terkait konstruksi tahan gempa di Universitas Kyushu, Jepang.
Terlebih lagi, sambung Amry, wilayah Sulbar merupakan daerah rawan bencana kategori tinggi. Pemerintah pusat bahkan menerbitkan dasar pembangunan konstruksi yang menyesuaikan skala gempa di Sulbar, khususnya Majene dan Mamuju. Sebelumnya hanya berada di skala II, sejak 2017 menjadi skala V, sesuai potensi gempa dan kerawanan bencana.
Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) memerinci, kerugian akibat gempa Sulawesi Barat di wilayah Majene Rp 449,8 miliar dan di Mamuju Rp 379 miliar. Nilai kerugian diprediksi terus bertambah seiring validasi pendataan yang terus dilakukan.
Konsekuensinya, mutu beton bangunan harus ditingkatkan, berikut struktur kolom (tiang) dan fondasi. Namun, hal ini belum menjadi perhatian utama sehingga mayoritas bangunan dibangun tanpa memperhitungkan risiko gempa.
”Struktur bangunan tahan gempa menjadi poin penting, selain penataan wilayah, setelah masa darurat bencana berlalu. Semoga saja pemerintah juga mengaudit semua bangunan sebelum digunakan karena gempa susulan berpotensi merusak bangunan yang telah goyang dan rapuh,” katanya.
Kepala Pusat Studi Kebencanaan Universitas Hasanuddin Adi Maulana menuturkan, wilayah Mamuju dan Majene terdiri dari batuan vulkanik dan karang. Karakter dua batuan ini akan patah saat menerima energi, yang menimbulkan daya destruktif cukup besar.
Besarnya dampak kerusakan bangunan dari gempa menunjukkan sebagian besar rumah tidak dibangun dengan konstruksi tahan gempa. Standar teknis bangunan tidak laik fungsi dan sebagian besar bangunan memiliki struktur lemah. (Amry Dasar)
Dua wilayah ini juga berdekatan dengan sesar naik Mamuju. Pusat gempa Majene kali ini sangat berdekatan dengan sumber gempa yang memicu tsunami pada 23 Februari 1969, dengan kekuatan magnitudo 6,9 di kedalaman 13 kilometer.
Oleh sebab itu, menurut Adi, konstruksi bangunan harus ditingkatkan dengan mengacu pada gempa sebelumnya. Bangunan minimal dibangun dengan daya tahan terhadap gempa di atas magnitudo 7.