Liponsos Surabaya, Persinggahan Para Gelandangan
Surabaya membuka pintu panti sosial Lingkungan Pondok Sosial (Liponsos) Keputih untuk para gelandangan. Perlakuan manusiawi menjadi kunci penting menjadikan liponsos sebagai persinggahan.
SURABAYA, KOMPAS — Kota Surabaya punya cara mengatasi gelandangan di kotanya. Sejak 2013, pengemis, pengamen, anak jalan termasuk yang berjualan di tiap persimpangan jalan, orang dengan gangguan jiwa atau ODGJ nyaris tak pernah ada dijumpai di jalanan.
Warga yang melihat keberadaan penyandang masalah kesejahteraan sosial (PMKS) itu bisa melapor ke Command Center 112. Petugas satpol PP setempat juga rutin menggelar razia.
Gelandangan dan PMKS yang ditemukan di jalan dibawa ke panti sosial Lingkungan Pondok Sosial (Liponsos). Ada beragam panti sesuai dengan kriteria PMKS. Gelandangan, pengemis, dan ODGJ, misalnya, dibawa ke Liponsos Keputih.
Mereka umumnya ditemukan petugas dari Pemkot Surabaya di perbatasan Surabaya dengan Sidoarjo dan Gresik, pada malam hari. Di Liponsos itu mereka juga mendapatkan pelatihan. Warga yang sakit diberi pengobatan. ODGJ ada yang dirawat di RS Jiwa Menur.
Menurut Kepala UPTD Liponsos Keputih, Sugianto, Senin (25/1/2021), khusus di barak perempuan juga ada penghuni yang sudah bertahun-tahun tinggal di tempat itu. Penghuni ini tidak tahu asal-usulnya dan belum juga lolos asesmen setiap kali ada pengajuan penghuni untuk pindah ke berbagai panti milik Pemerintah Provinsi Jatim.
Mereka pun menjalani terapi sampai ingat kembali asal usul dan alamatnya sehingga secara bertahap Pemkot Surabaya mengantar mereka ke kampung halaman masing-masing. Selama ini, penghuni Liponsos tak hanya berasal dari kota/kabupaten di Jawa Timur, tetapi juga dari Sumatera hingga Papua.
Menurut Kepala Dinas Sosial Kota Surabaya Suharto Wardoyo, sampai hari ini hampir setiap hari ada saja penghuni baru di Liponsos, baik dari razia petugas maupun berdasarkan info warga yang masuk ke 112. ”Biasanya mereka paling lama lima hari di Liponsos karena alamat jelas jadi tinggal menunggu keluarga menjemput,” katanya.
Berdasarkan data per 25 Januari 2021, total penghuni Liponsos Keputih berjumlah 1.087 orang, terdiri dari 960 ODGJ, 54 gelandangan dan pengemis, 61 orang lanjut usia, 6 anak jalanan, dan 6 orang telantar.
Ada gelandangan yang sudah beberapa kali dipulangkan ke kampung asalnya setelah dibekali keterampilan sesuai minat mereka. Akan tetapi, masih ada yang kembali ditemukan petugas di jalanan dan dibawa ke Liponsos Keputih.
”Biasanya mereka kurang diperhatikan di rumah atau kambuh lagi penyakitnya. Bisa juga mencuri waktu untuk kembali mengamen atau mengemis,” kata Sugianto.
Hal ini terjadi karena banyak gelandangan atau anak jalanan yang mau kembali ke rumah, tetapi malah tidak diterima di lingkungan mereka. ”Penolakan ini yang membuat 15 gelandangan yang seluruhnya perempuan itu menjadi penghuni tetap di Liponsos. Mental yang sudah dilatih selama di Liponsos langsung hilang,” ujar Sugiarto.
Pemkot Surabaya memberikan fasilitas makan tiga kali sehari, peralatan mandi, dan layanan kesehatan untuk seluruh penghuni Liponsos, termasuk mereka yang bertahan di Liponsos. Anggaran yang digunakan berasal dari APBD Pemerintah Kota melalui Dinas Sosial Surabaya.
”Khusus layanan kesehatan jiwa, Pemkot Surabaya mengajukan anggaran kepada Pemprov Jatim dengan berbekal surat keterangan tidak mampu dan terlantar,” kata Sugianto.
Adapun untuk melatih mental dan pikiran penghuni, Liponsos menyediakan alat jahit dan alat membatik. Hanya, karya mereka masih sulit diperjualbelikan karena belum layak jual.
Untuk melayani penghuni, UPTD Liponsos Keputih mempekerjakan 106 orang, yaitu 23 orang perawat, 12 juru masak, 16 petugas keamanan, 23 pendamping, 5 tenaga administrasi, 25 petugas kebersihan, 2 sopir, dan 2 aparatur sipil negara. Idealnya, 1 pendamping mengawasi 10 penghuni. Akan tetapi, dengan kekuatan anggaran saat ini, tenaga pendamping mesti bekerja ekstra.
Sesuai karakter penghuninya
Liponsos Keputih adalah satu dari sejumlah Liponsos yang didirikan Pemerintah Kota Surabaya. Setiap Liponsos punya kategori penghuninya.
Liponsos Keputih, yang melayani sejak 1997, misalnya, fokus menerima PMKS seperti gelandangan, pengemis, anak jalanan, pengamen, serta pekerja seks komersial (PSK). Sejumlah gelandangan psikotik atau yang memiliki gangguan jiwa, rata-rata tidak mengetahui identitas maupun keluarga mereka. Mereka pun berakhir sebagai penghuni tetap Liponsos Keputih.
”Ada saja yang dibawa ke sini setiap hari. Belakangan, banyak lansia dalam kondisi sakit, strok, bahkan sering kali kondisinya sudah mengenaskan,” kata Sugianto.
Sebelum menempati barak atau ruangan, calon penghuni mesti melewati proses pendataan. Petugas mengidentifikasi calon penghuni untuk menentukan liponsos yang sesuai dengan jenis PMKS, mengambil sidik jari, dan mengambil foto untuk database. Setelah itu, calon penghuni ditempatkan di barak yang sesuai kriteria masing-masing.
Sejak virus korona merebak, setiap calon penghuni diwajibkan menjalani tes cepat saat dirazia. Pemeriksaan kesehatan rutin bagi penghuni juga dilakukan di masa pandemi. Apabila secara fisik mereka sakit, petugas Puskesmas Keputih yang ditempatkan di Liponsos segera menangani.
Pemkot Surabaya juga melibatkan Rumah Sakit Jiwa (RSJ) Menur Surabaya dan Lawang Malang untuk perawatan berkala terhadap para penghuni yang mengalami gangguan jiwa.
Segera respons
Langkah cepat mengatasi PMKS tidak bisa dilepaskan dari adanya Command Center 112. Layanan yang diluncurkan pada Agustus 2016 ini melibatkan masyarakat untuk melakukan pemantauan di sekitar wilayahnya. Warga bisa melaporkan kepada petugas apabila menemukan ada orang yang membutuhkan pertolongan seperti gelandangan, orang sakit di pinggir jalan, atau ibu hamil yang akan melahirkan. Beragam peristiwa seperti kecelakaan, kebakaran, kemacetan, hingga banjir pun bisa disampaikan ke 112.
Laporan lewat 112 antara lain, ”Saya lihat ada seorang bapak tergelatak di trotoar di Jalan Kembang Jepun, Tolong Pemkot bantu.”
Setiap laporan melalui 112, kata Kepala Dinas PMK Surabaya, Dedik Irianto, langsung ditindaklanjuti. ”Apa pun itu masalahnya, ya kebakaran, kecelakaan lalu lintas atau orang telantar, petugas sampai di lokasi dan mengeksekusi waktunya paling lambat 7 menit,” katanya.
Menurut Dedik, pelayanan pengaduan darurat yang diresmikan oleh Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini pada 26 Juli 2016 itu harus benar-benar prima karena eksekusinya perlu segera. Jadi, petugas yang mengeksekusi itu ada di beberapa lokasi sehingga begitu masuk laporan, langsung diinformasikan kepada petugas terdekat dengan lokasi kejadian.
Seperti baru-baru ini ada informasi di media sosial dan dilaporkan juga lewat 112 tentang seorang lansia sebatang kara yang hidup di tempat sempit dan kumuh.
”Tak butuh waktu lama, kami mencari alamat, dan lansia itu langsung dibawa ke Liponsos untuk diperiksa kesehatannya. Selanjutnya menjadi tanggung jawab Dinas Sosial,” katanya.
Selain pembinaan, Pemkot Surabaya melalui UPTD Liponsos Keputih juga memberdayakan penghuni untuk membantu menjaga kebersihan lingkungan dan urban farming.
Penghuni yang dinyatakan sehat fisik dan mental pun diberi pelatihan keterampilan. Pelatihan seperti menyulam dan pertukangan ini diperuntukkan bagi penghuni usia produktif.