Melawan atau Tidak, Suami Saya Akan Ditembak
Penggerebekan tiba-tiba yang berujung matinya Deki, buron kasus judi, di depan istri dan anaknya menimbulkan tanda tanya.
Dua mobil yang mengangkut sejumlah orang berhenti di rumah Mherye Fhitriananda (34) pada suatu siang. Dari mobil itu, turun 8-10 pria tanpa seragam. Sebagian pria itu masuk ke dalam rumah, sebagian lagi menuju ke arah belakang rumah.
Mherye saat itu sedang berada di rumah sebelah, rumah orangtuanya. Ia bergegas ke rumahnya ketika melihat kedatangan orang-orang tersebut. Pikiran Mherye tak tenang. Ia tahu suaminya, Deki Susanto, sedang terancam.
Di dalam rumah, Mherye menemukan suaminya di dekat dapur sudah menyerah dan menekuk kepala dengan kedua tangan. Ia pun histeris melihat suaminya ditodong dengan pistol. Namun, Deki yang ketakutan berupaya kabur dari pintu darurat. Naas, sesampai di luar rumah, kepalanya ditembus timah panas.
Insiden di Nagari Koto Baru, Kecamatan Sungai Pagu, Solok Selatan itu terjadi pada Rabu (27/1/2021) sekitar pukul 14.30. Belakangan diketahui pria-pria itu anggota Satuan Reserse Kriminal Kepolisian Resor Solok Selatan. Mereka menyergap Deki yang berstatus buron kasus judi.
Baca juga : Polda Sumbar Selidiki Perusakan Polsek Sungai Pagu Solok Selatan
Mherye masih sempat merekam menit-menit sesudah penembakan tersebut. Dalam video, suaminya yang tak berbaju, tekapar menghadap langit. Mherye memaki pria berkaus hitam tanpa lengan yang diduga penembak suaminya.
Pria itu berdalih ia hampir celaka diserang oleh Deki dengan pisau. Mherye membantah keras, karena tiada perlawanan dari suaminya. Pun tak ada luka di pria berkaus hitam itu. Ponsel tak lepas dari tangan Mherye meskipun pihak lain berupaya menutup kamera. Ia memekik, meratapi kepergian suaminya.
Sebulan sebelum kejadian ini, suami pernah cerita, melawan ataupun tidak melawan, dia akan ditembak. (Mherye Fhitriananda)
”Saya sadar saat itu suami saya dibunuh. Makanya terpikir untuk merekam keadaan saat itu. Sebulan sebelum kejadian ini, suami pernah cerita, melawan ataupun tidak melawan, dia akan ditembak,” kata Mherye, Sabtu (6/2/2021).
Akan tetapi, lanjut Mherye, Deki tidak mau menceritakan siapa orang yang akan menembaknya dan apa permasalahannya. Sampai saat ini, cerita Deki, yang sehari-sehari bekerja sebagai kepala humas sebuah perusahaan swasta di Solok Selatan, masih jadi teka-teki.
Baca juga : Keluarga Tuntut Keadilan atas Kematian Buron Judi di Solok Selatan
Bukan hanya Mherye yang menyaksikan suaminya mati ditembak. Putranya yang berusia 4 tahun (sebelumnya disebut 3 tahun) turut menyaksikan kejadian itu. Sang putra mengalami trauma berat. Kata Mherye, anaknya sering bertanya tentang sang ayah dan berkata, ”Papa mati ditembak polisi.”
Mherye yang masih terpukul atas kejadian itu berharap dukungan semua pihak agar ia dan keluarganya bisa mendapatkan keadilan. Semua aparat yang terlibat dalam kejadian itu harus dihukum setimpal.
Pelaku (Brigadir K) telah dibebastugaskan karena ditahan di Polda Sumbar. Statusnya tersangka. (Stefanus Satake Bayu Setianto)
Divisi Profesi dan Pengamanan (Propam) serta Inspektorat Pengawasan Umum Daerah (Itwasda) Polda Sumbar telah memeriksa enam anggota Polres Solok Selatan yang terlibat dalam penyergapan Deki. Satu di antaranya Brigadir K, yang menembak Deki, ditetapkan sebagai tersangka.
”Pelaku (Brigadir K) telah dibebastugaskan karena ditahan di Polda Sumbar. Statusnya tersangka,” kata Kepala Bidang Humas Polda Sumbar Stefanus Satake Bayu Setianto, Senin (1/2/2021).
Pasal yang disangkakan kepada Brigadir K adalah Pasal 351 Ayat (3) Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) tentang Penganiayaan yang Menyebabkan Kematian pada Korban. Ancaman hukumannya paling lama 7 tahun penjara.
Baca juga : Aparat Penembak Mati Buronan Judi di Solok Selatan Jadi Tersangka
Dugaan pembunuhan
Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pergerakan Indonesia Guntur Abdurrahman, kuasa hukum keluarga Deki, mengatakan, pasal yang dikenakan kepada tersangka tidak tepat. Peristiwa yang dialami Deki bukan penganiayaan, melainkan pembunuhan karena ditembak dari jarak dekat di bagian kepala.
Semestinya, kata Guntur, tersangka dikenakan Pasal 338 KUHP tentang Pembunuhan dengan ancaman hukuman maksimal 15 tahun penjara. Atau jika memungkinkan Pasal 340 tentang Pembunuhan Berencana dengan ancaman maksimal pidana mati atau penjara seumur hidup.
Guntur juga mengharapkan, penyidik mendalami fakta-fakta baru yang diungkapkan keluarga Deki. Selain cerita tentang ancaman penembakan yang disampaikan Mherye, juga ada pengakuan Mherye terkait hubungan Deki dengan aparat.
Semasa hidup, kata Guntur, Deki dekat dengan sejumlah anggota Satreskrim Polres Solok Selatan, termasuk dengan orang yang terlibat dalam penggerebekan itu. Bahkan, ada pula anggota satreskrim tersebut yang pernah meminjam mobil Deki meskipun keluarga tidak ingat persis dengan orangnya.
”Fakta-fakta baru tersebut harus didalami penyidik. Mana tahu ada hubungan tertentu yang memang sangat erat kaitannya dengan pembunuhan ini. Ini harus dijelaskan agar publik tidak penasaran,” kata Guntur, Minggu (7/2/2021).
Aktivis HAM dan Direktur Eksekutif Lokataru Haris Azhar, mengatakan, dari sejumlah riset dan kasus yang ia tangani, beberapa tindakan di luar hukum yang dilakukan polisi memiliki sejumlah motif, antara lain motif dendam, motif suruhan/pesanan, motif menunjukkan kinerja, dan motif ketidakcakapan. Akhirnya, penindakan seolah-olah atas nama penegakan hukum dengan menggunakan celah yang ada pada target atau celah yang dibuat-buat atau dilekatkan kepada target.
Terkait kasus Deki, Haris mengatakan, polisi harus bisa menjelaskan sejak kapan Deki berstatus buron dan apa saja tindakan yang sudah diambil polisi untuk mencari buron. Penggerebekan tiba-tiba yang berujung matinya Deki di depan istri dan anaknya menimbulkan tanda tanya.
”Saya pikir polisi punya kelengkapan dan tidak diciptakan untuk menindak dengan cara membunuh di depan keluarganya, itu bukan penegakan hukum, itu pembunuhan,” kata Haris, dalam diskusi daring, Sabtu (6/2/2021).
Saya pikir polisi punya kelengkapan dan tidak diciptakan untuk menindak dengan cara membunuh di depan keluarganya, itu bukan penegakan hukum, itu pembunuhan. (Haris Azhar)
Benni Endo Mahatta, sepupu Mherye, mengatakan, keluarga tidak tahu Deki masuk dalam daftar pencarian orang (DPO) kasus judi. Keluarga tidak pernah menerima surat atau pemberitahuan apapun dari polisi dan perangkat desa terkait status buron itu. Deki selama ini juga selalu pulang ke rumah.
”Kami baru tahu Bang Deki termasuk DPO kasus judi saat hari penembakan itu. Keluarga tidak pernah menerima surat apa pun dari polisi. Informasi dari kepala desa juga tidak ada,” ujarnya, Jumat (29/1/2021). Setelah kejadian itu, Benni dan keluarga baru tahu Deki pernah kabur karena digerebek polisi ketika bermain judi kartu remi di sebuah kedai sekitar dua bulan lalu.
Kepala Polres Solok Selatan Ajun Komisaris Besar Tedy Purnanto, Senin (8/2/2021), mengatakan, pada November 2020, polisi mengadakan operasi penyakit masyarakat (pekat), yaitu judi, premanisme, dan sejenisnya. Berdasarkan laporan masyarakat, polisi menggerebek Deki dan pelaku lainnya yang sedang berjudi kartu di Pasar Muara Labuh, Solok Selatan.
”Yang lain menyerahkan diri baik-baik, tetapi dia (Deki) melawan, memecahkan gelas (dan mengarahkan ke petugas), lalu kabur. Yang lain prosesnya sudah di kejaksaan, sudah P21,” kata Tedy menjelaskan kronologi Deki menjadi buron. Tedy membantah kalau keluarga tidak tahu kalau Deki masuk DPO. Menurutnya, sebelumnya sudah ada surat pemanggilan. ”Biasalah itu, alibi, boleh-boleh saja,” tambah Tedy.
Berulang
Peneliti Pusat Kajian Nagari Madani, Rizky Yori Ardi, mengatakan, dalam sepuluh tahun terakhir, ada sejumlah kejadian atau tindakan represif yang dilakukan oknum polisi di Sumbar yang berujung pada tewasnya korban.
Yang lain menyerahkan diri baik-baik, tetapi dia (Deki) melawan, memecahkan gelas (dan mengarahkan ke petugas), lalu kabur. Yang lain prosesnya sudah di kejaksaan, sudah P21. (Tedy Purnanto)
Pada 2011, Faisal-Budri, tahanan kakak-beradik di Kabupaten Sijunjung, ditemukan tewas akibat penganiayaan oleh polisi. Setahun berikutnya, ada Erik Alamsyah, tahanan di Bukittinggi, yang tewas setelah mendapat tindak kekerasan dari oknum polisi.
Pada 2014, ada Robby Putra Hadi, tahanan di Kabupaten Solok, tewas usai dianiaya oknum polisi. Kemudian, pada 2019, ada Rahmad Kurniawan, tahanan di Kabupaten Padang Pariaman, yang ditemukan tewas tergantung di dalam ruang tahanan dan dicurigai dianiaya oknum polisi karena pada jenazah ditemukan jejak pukulan benda tumpul di kepala, dada, dan punggung.
”Itu beberapa kasus yang dicatat oleh LBH Padang. Kami peneliti Pusat Kajian Nagari Madani melihat ini adalah rentetan kasus kekerasan oleh oknum polisi yang terus terjadi, puncaknya pada kasus ditembaknya Deki Susanto di depan anak dan istrinya. Ini mesti jadi catatan tersendiri bagi kepolisian, penegak hukum sendiri yang melakukan tindak pidana,” kata Rizky, Sabtu (6/2/2021).
Baca juga: Tidak Diusut Tuntas, Kasus Kejahatan Oknum Polisi Sering Berulang
Menurut Rizky, dari rentetan kasus tersebut, semua pihak mesti mengawasi dan mengawal proses penegakan hukum oleh pihak kepolisian. Jika tidak diawasi dan dikawal, oknum kepolisian akan sewenang-wenang dalam menggunakan kekuatan dan kekuasaan yang mereka miliki dalam menegakkan hukum.
Ditambahkan Guntur, Brigadir K harus dihukum berat atas perbuatannya. Jika tidak, kejadian seperti ini akan terus berulang pada tahun-tahun berikutnya. Dalam kasus-kasus serupa di Sumbar sebelumnya, oknum polisi yang terlibat divonis ringan, misalnya 1,5 tahun penjara.
”Setelah divonis, lalu menjalani sidang disiplin, mereka kemudian tetap menjadi polisi, tidak dipecat dari kesatuan. Jangan sampai kasus tembak mati di Solok Selatan ini, masih sama seperti itu. Jika tetap seperti itu (dihukum ringan), kami pesimistis bagaimana ke depannya,” kata Guntur.
Direktur LBH Padang Wendra Rona Putra mengecam tindakan petugas yang menyebabkan meninggalnya Deki. ”Meskipun dia tersangka dan berstatus buron, bukan serta-merta menjadikannya sebagai pelaku kriminal yang dapat diperlakukan seperti itu,” kata Wendra, Kamis (28/1/2021).
Wendra menjelaskan, penembakan oleh polisi diatur tegas di dalam Peraturan Kapolri Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penggunaan Kekuatan dalam Tindakan Kepolisian. Penggunaan senjata api hanya boleh dilakukan oleh personel yang terancam nyawanya atau untuk melindungi nyawa seseorang. Jika terpaksa menembak, tembakan tidak dimaksudkan untuk membunuh, tetapi untuk melumpuhkan.
LBH Padang pun meminta ketegasan Polri untuk berlaku independen dalam menyelidiki kasus ini. Kata Wendra, kejadian ini juga menjadi tantangan bagi Kapolri yang baru dilantik untuk menyelesaikan persoalan ini secara tuntas. Kalau tidak diselesaikan secara jelas akan menggerus kepercayaan publik terhadap institusi kepolisian.