Petani tebu di Malang menilai gula impor berpotensi merusak harga gula lokal. Dengan kondisi yang ada selama ini, sejumlah permasalahan masih menghantui petani di Malang,
Oleh
KOMPAS/DEFRI WERDIONO
·3 menit baca
MALANG, KOMPAS — Petani tebu di Kabupaten Malang, Jawa Timur, menilai peluang impor gula mentah bagi industri berbasis tebu, buntut dari regulasi baru Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 3 Tahun 2021, berpotensi merusak harga gula lokal. Sampai saat ini harga gula lokal masih belum menguntungkan petani.
Dari catatan Kompas, harga tebu petani di Malang dan sekitarnya pada musim giling 2020 mencapai Rp 60.000-Rp 70.000 per kuintal, tergantung dari pabrik gula (PG) yang dituju. Tahun 2019 harganya sedikit lebih tinggi, Rp 70.000-Rp 80.000, karena saat itu ada uji coba pabrik gula baru di Blitar.
Sementara harga gula petani tahun lalu mencapai Rp 11.200 per kilogram (kg). Harga ini lebih tinggi daripada 2019 yang hanya Rp 11.000 per kg dan 2018 yang hanya Rp 9.700 per kg. Luas lahan tebu di Kabupaten Malang pada 2019 mencapai 44.636 hektar dengan produksi 3,9 juta ton tebu.
”Impor berpotensi merusak harga gula lokal. Beberapa tahun terakhir harga gula masih kurang baik. Impor terus berjalan sehingga harga gula lokal kurang begitu bergairah,” ujar M Nasir, petani tebu di Desa Pagak, Kecamatan Pagak, Malang, Kamis (8/4/2021).
Ada dua sistem pembelian tebu petani di pabrik gula di Jawa Timur. Pembelian pertama, yakni beli putus tebu petani. Pabrik langsung membayar begitu tebu tiba. Pembelian ini lebih menguntungkan petani. Namun, baru PT Rejoso Manis Indo (RMI) di Blitar yang menerapkan sistem ini.
Sistem kedua adalah menjual tebu ke pabrik milik BUMN ataupun pabrik milik swasta yang sudah berdiri lebih awal di Malang. Pembayaran oleh PG kepada petani molor sampai berbulan-bulan lantaran pedagang (broker) kesulitan melempar gula ke pasaran akibat banjirnya gula impor. Hal inilah yang saat ini memberatkan petani.
Pengurus Kontak Tani Nelayan Andalan Kabupaten Malang Ali Masjudi mengatakan, tahun lalu pembayaran oleh PG kepada petani molor sampai berbulan-bulan lantaran pedagang (broker) kesulitan melempar gula ke pasaran. Pasar saat itu susah menyerap karena ada gula impor.
Saat itu, menurut informasi yang diterima Ali, broker membeli dengan harga Rp 11.200 per kg, tetapi sulit untuk menjual lagi dengan harga Rp 12.500 sampai Rp 13.000 per kg.
”Akibatnya, gula menumpuk. Musim giling 2020 selesai November, tetapi ada petani yang baru dapat pembayaran pada Februari 2021. Keluhan itu banyak disampaikan oleh petani,” ujarnya.
Kompas mencatat, pada akhir Januari 2021, di PG Kebon Agung dan PG Krebet Baru sempat menumpuk 64.000 ton gula petani yang belum laku. Sedangkan petani berharap segera dapat uang. Biasanya, begitu musim giling berakhir pada November gula sudah habis terbeli.
Di luar gula petani, pada akhir Januari 2021, juga masih ada sisa 160.000-180.000 ton gula. Gula tersebut sudah laku, tetapi belum diambil oleh pembeli lantaran serapan pasar rendah.
Ketua Dewan Pimpinan Daerah Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia (APTRI) Malang Dwi Irianto, saat itu, mengatakan, rendahnya serapan pasar disebabkan oleh gula impor yang berlebihan dan konsumsi masyarakat turun akibat pandemi.
Menurut Dwi, impor gula kristal putih (GKP) untuk konsumsi 2020 sebanyak 1,5 juta ton. Padahal, dalam kondisi normal, kebutuhan GKP hanya 2,7 juta-2,8 juta ton. Sedangkan produksi dalam negeri 2,1 juta ton. Artinya, hanya ada kekurangan 600.000 ton, jauh di bawah volume impor 1,5 juta ton.