Warga Korban Lumpur yang Belum Terima Ganti Rugi Terus Berupaya
Korban semburan lumpur Lapindo di Sidoarjo, Jatim, yang sudah 15 tahun tapi belum menerima pembayaran ganti rugi, terus berupaya agar pemerintah kembali mengalokasikan dana talangan.
Oleh
RUNIK SRI ASTUTI
·4 menit baca
SIDOARJO, KOMPAS — Masyarakat korban semburan lumpur Lapindo di Sidoarjo, Jatim, belum semuanya menerima pembayaran ganti rugi. Para korban ini terus berupaya agar pemerintah kembali mengalokasikan dana talangan karena sudah 15 tahun berlalu Lapindo tidak mampu memenuhi kewajiban pembayaran.
Sejumlah warga yang tergabung dalam Forum Korban Lumpur Sidoarjo menggelar unjuk rasa di Alun-alun Sidoarjo tepatnya di depan Pendopo Delta Wibawa, Senin (12/4/2021). Mereka menuntut Pemerintah Kabupaten Sidoarjo memfasilitasi penyelesaian pembayaran ganti rugi karena para korban ini telah menderita dalam waktu lama.
Korban lumpur yang juga koordinator forum tersebut, Basuni, mengatakan, jumlah korban yang belum terbayar ganti ruginya total sebanyak 250 orang, di luar kelompok pengusaha. Dari 264 warga tersebut, yang belum menerima pembayaran ganti rugi sama sekali sebanyak 30 orang.
Sementara itu, korban lumpur yang baru menerima pembayaran 20 persen dan masih memiliki kekurangan pembayaran sebesar 80 persen dari total nilai ganti rugi sebanyak 84 orang. Selain itu, ada juga kelompok korban lumpur dari Perum (Perumahan) TAS sebanyak 150 orang.
”Masyarakat korban lumpur berharap, pemerintah kembali mengalokasikan dana talangan untuk melunasi pembayaran ganti rugi yang menjadi kewajiban PT Minarak Lapindo Jaya,” ujar Basuni.
Nilai ganti rugi yang belum terbayar dari 114 warga mencapai Rp 100 miliar. Adapun untuk nilai ganti rugi dari warga korban lumpur di Perum TAS, Basuni mengaku tidak tahu pasti. Namun, untuk memastikan seluruh nilai ganti rugi tersebut diperlukan pembentukan tim verifikasi berkas dan penyelesaian ganti rugi.
Masyarakat korban lumpur berharap pemerintah kembali mengalokasikan dana talangan untuk melunasi pembayaran ganti rugi yang menjadi kewajiban PT Minarak Lapindo Jaya. (Basuni)
Pemerintah sebenarnya telah memberikan dana talangan sebesar Rp 781 miliar kepada PT Minarak Lapindo Jaya untuk menuntaskam pembayaran ganti rugi masyarakat korban lumpur. Kebijakan yang dikeluarkan Presiden Joko Widodo tahun 2015 lalu itu untuk meringankan derita masyarakat karena persoalan ganti rugi yang berlarut-larut selama bertahun-tahun.
Kebijakan dana talangan ini tidak berlaku bagi 30 korban lumpur dari kalangan pelaku usaha. Alasannya, pemerintah ingin mendorong penyelesaian dengan mekanisme bisnis. Total aset 30 pengusaha itu Rp 701 miliar dengan rincian aset berupa tanah Rp 542 miliar dan bangunan Rp 158 miliar.
Namun, hingga saat ini masih ada pembayaran ganti rugi masyarakat korban lumpur yang belum terselesaikan. Salah satu korban lumpur yang belum menerima pembayaran, Fatah, mengatakan, sebanyak 30 warga yang belum menerima pembayaran sama sekali itu disebabkan mereka belum pernah didata oleh pemerintah ataupun Lapindo.
Sementara 84 warga yang sudah menerima pembayaran 20 persen itu tidak bisa masuk dalam program dana talangan Rp 781 miliar karena masih bermasalah. Saat itu, mereka berselisih dengan Lapindo terkait besarnya nilai pembayaran ganti rugi. Masyarakat ingin haknya diberikan secara penuh.
”Nilai sisa pembayaran 80 persen tidak sesuai dengan perjanjian awal. Saat itu perusahaan menawarkan nilai yang lebih rendah bahkan 50 persen dari sisa 80 persen yang harus dilunasi sehingga warga menolak,” kata Fatah.
Mendampingi
Bupati Sidoarjo Ahmad Muhdlor Ali bersedia menerima kedatangan masyarakat korban lumpur Lapindo dan mengajak mereka berdialog di dalam pendopo. Dia berjanji membantu warga mencari jalan penyelesaian pembayaran ganti rugi yang menjadi hak para korban.
”Pemerintah daerah akan mendampingi masyarakat korban lumpur mencari jalan penyelesaian,” ucap Muhdlor.
Saat itu juga, Muhdlor langsung menandatangani surat permohonan audiensi terkait penyelesaian ganti rugi korban terdampak semburan lumpur. Surat ditujukan ke Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD. Surat serupa sejatinya sudah dikirim oleh Penjabat Bupati Sidoarjo Hudiyono pada 2 Desember 2020 lalu.
Surat sebelumnya sebenarnya telah mendapat balasan dari Kemenko Polhukam. Dalam penjelasannya, Kemenko Polhukam mengatakan telah meneruskan permohonan audiensi itu ke Dirjen Pemerintah Desa Kementerian Dalam Negeri. Namun, sampai saat ini pelaksanaan audiensi belum terealisasi.
Oleh karena itulah, Pemkab Sidoarjo kembali mengirimkan surat permohonan audiensi dari Forum Masyarakat Korban Lumpur Lapindo Sidoarjo. Harapannya, ada peluang untuk menuntaskan perkara ini agar tidak terus berlarut-larut dan masyarakat korban bisa segera menata kembali kehidupannya.
Semburan lumpur panas di Sidoarjo muncul pertama kali pada 29 Mei 2006 di areal persawahan Desa Siring, Kecamatan Porong. Jarak titik semburan sekitar 150 meter arah barat daya dari sumur Banjar Panji I milik Lapindo Brantas Inc yang melakukan pengeboran vertikal untuk mencapai Formasi Kujung dengan kedalaman 10.300 kaki.
Ketika semburan lumpur terjadi pertama kali, volume yang dihasilkan sekitar 5.000 meter kubik per hari. Seiring waktu, semburan membesar menjadi 50.000 meter kubik per hari. Namun, beberapa tahun belakangan ini volume semburan stabil di kisaran 10.000-30.000 meter kubik per hari. Belum diketahui kapan semburan akan berhenti total.
Akibat besarnya volume semburan tersebut, banyak desa terendam dan penduduk di dalamnya menjadi korban. Untuk penduduk di dalam Peta Area Terdampak atau PAT, pembayaran ganti ruginya menjadi tanggung jawab Minarak Lapindo Jaya. Pemerintah menanggung pembayaran ganti rugi untuk korban di luar PAT.
Meski demikian, karena pembayaran ganti rugi oleh MLJ ini berlarut-larut tak kunjung tuntas, Presiden Joko Widodo turun tangan menyelesaikannya dengan skema dana talangan. Dana itu untuk meminjami Lapindo agar bisa menuntaskan kewajibannya dengan jaminan 80 persen sertifikat tanah. Perusahaan harus mengembalikan pinjaman dengan cara mencicil.