Dilema Peradaban Segitiga Emas ”Kota Atlas”
Dilema pembangunan dan eksistensi peradaban perkampungan lama Kota Semarang membayang di kawasan berjuluk ”Segitiga Emas”. Di jantung bisnis Semarang itu, warga kampung tetap berharap dapat melestarikan warisan budaya.
Keberadaan kampung-kampung asli di pusat bisnis Kota Semarang, Jawa Tengah, kian terancam di antara denyut investasi. Dilema antara pacuan pembangunan dan eksistensi peradaban sosial warga membayang di kawasan berjuluk ”Segitiga Emas” tersebut.
Aktivitas warga di Kampung Sekayu, Kelurahan Sekayu, Kecamatan Semarang Tengah, tampak lengang pagi itu, Kamis (6/5/2021). Di salah satu sudut kampung, beberapa warga bencengkerama. Sekitar 50 meter di hadapan mereka, menjulang menara yang merupakan bagian dari Masjid Taqwa Sekayu, yang didirikan pada 1413. Masjid tertua di ibu kota Jawa Tengah yang kerap dijuluki ”Kota Atlas” ini.
Di permukiman sekitar masjid, masih terdapat empat rumah yang sebagian besar bangunannya masih asli, berupa susunan papan dari kayu jati. Di antaranya termasuk rumah masa kecil novelis perempuan ternama asal Semarang, NH Dini, yang meninggal pada 2018. Dalam sejarahnya, kampung itu mulanya merupakan kebun jati sehingga dinamakan Pekayuan, kemudian menjadi Sekayu.
”Sebagian besar rumah memang sudah diubah menjadi batu bata (tembok). Namun, masih suka ada yang mau membeli papan kayu asli, biasanya penyuka barang-barang antik. Sebenarnya itu kembali bergantung pada pemilik rumahnya,” kata Risman (71), salah seorang warga Kampung Sekayu.
Baca juga : Napas Pluralitas ”Semarang Lama”
Rumah orangtua Emi (45) juga masih berupa papan. Ubin di dalam rumahnya, dengan corak hijau putih pun masih asli. Hanya ada sedikit keropos atau terkelupas. Menurut Emi, selain tak ada yang menawar papan jati di rumahnya, ia dan keluarganya sama sekali tak berniat menjual rumah leluhurnya itu. ”Eman-eman (sayang),” ujarnya.
Kampung Sekayu hanya satu dari beberapa permukiman lama yang masih bertahan di dalam ”Segitiga Emas” Kota Semarang. Kawasan itu memiliki batas luar Jalan Pemuda, Jalan Pandanaran, dan Jalan Gajah Mada. Wilayah itu adalah jantung bisnis kota. Dua dekade terakhir, gedung-gedung baru bertingkat kian menjalar.
Kampung Sekayu berada di belakang mal-mal yang menjulang di sekelilingnya, seperti Mal Paragon di sebelah barat, yang sebelumnya merupakan Gedung Rakyat Indonesia Semarang (GRIS). Sementara di sebelah timur ada Thamrin Square, yang dulunya merupakan asrama kepolisian.
Dilema
Berada dalam bayang-bayang pusat bisnis dan gedung-gedung menjulang, warga Kampung Sekayu dan kampung-kampung urban lain di Semarang dihadapkan pada dilema untuk tetap mempertahankan tanah leluhur mereka atau menjualnya ke pemodal. Walau begitu, harapan mempertahankan kampung tetap tersemat di benak warga, terlebih dengan keberadaan Masjid Taqwa.
”Saya tentu berharap Kampung Sekayu ini bertahan terus. Sudah turun-temurun. Meskipun saat ini, kan, biasanya yang punya duit yang menang,” ucap Emi.
Eggy Evansyah dan Santy Paulla Dewi, mahasiswa dan dosen Departemen Perencanaan Wilayah dan Kota Fakultas Teknik Universitas Diponegoro dalam penelitian ”Kebertahanan Kampung Tua Sekayu terkait Keberadaan Mal Paragon di Kota Semarang” menyebutkan, setelah berdirinya Mal Paragon, terdapat perubahan kawasan permukiman. Perubahan terjadi pada kondisi demografi, penggunaan lahan, fungsi bangunan dan bentuk bangunan, serta aktivitas sosial budaya.
Pada penelitian yang terbit pada Jurnal Ruang Volume 2 Nomor 1 Tahun 2014 itu disebutkan, perubahan penggunaan lahan, yakni hilangya RT 001 yang menjadi lahan parkir. Selain itu, tumbuh aktivitas perdagangan di Jalan Sekayu Raya. Adapun arsitektur bangunan-bangunan lama semakin sedikit.
Berada dalam bayang-bayang pusat bisnis dan gedung-gedung menjulang, warga Kampung Sekayu dan kampung-kampung urban lain di Semarang dihadapkan pada dilema untuk tetap mempertahankan tanah leluhur mereka atau menjualnya ke pemodal.
Berjarak sekitar 200 meter ke arah timur, terdapat juga kampung di Kelurahan Kembangsari, Semarang Tengah. Di ujung timur kampung tersebut juga telah dibangun hotel dan apartemen, di dekat Jalan Gajah Mada. Warga di Kembangsari, yang umumnya mendiami lahan tak bersertifikat mengaku tengah dilanda gusar mendengar rencana pelebaran jalan dari pemerintah, meski belum tahu kepastiannya.
”Kami orang kecil ya manut (menurut) pemerintah. Tetapi kalau ada yang digeser, pasti akan kena semua. Kami tak ada sertifikat, tetapi membayar PBB (Pajak Bumi dan Bangunan). Jika memang nantinya tergusur, ya tentu kami berharap ada penggantinya, tempat untuk tinggal,” ujar Suparno (63), yang lahir di Semarang, tetapi orangtuanya berasal dari Kebumen.
Baca juga : Merawat Bangunan Tua di Kota Lama Semarang
Satu dekade terakhir, Kota Semarang memang memacu pembangunan, termasuk di kawasan Segitiga Emas, yang letaknya strategis sebagai pusat bisnis. Hotel, mal, restoran, dan perkantoran terus menjamur. Itu juga tak terlepas dari upaya pemerintah dalam menggenjot sektor pariwisata di kota lumpia tersebut. Ekonomi daerah terus tumbuh. Konsekuensinya, alih fungsi lahan akan selalu menyertai.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik Jateng, pada 2016, total terdapat 60 hotel berbintang di Kota Semarang. Empat tahun kemudian atau 2020, angka tersebut bertambah menjadi total 90 hotel.
Pelihara kampung lama
Guru Besar Jurusan Sejarah Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Semarang Wasino menuturkan, Semarang memiliki kampung-kampung tua yang sarat sejarah. Dia mendorong kampung-kampung atau permukiman lama tetap dipertahankan. Apabila negara hendak membangun bisnis baru, jangan sampai memakan warisan budaya, yang seharusnya dipelihara.
Ia menambahkan, kampung-kampung yang bernilai sejarah sebenarnya tetap dapat berdaya tarik, seperti yang terjadi pada Kota Lama yang kini telah direvitalisasi. ”Warisan budaya ini bisa dihidupkan dan disuguhkan kepada wisatawan. Perlu dimunculkan terus gagasan tentang budaya multikultural. Bangun citra bahwa Semarang kota multikultural melalui kampung-kampung lama ini,” ujar Wasino.
Baca juga : Mengunjungi Kampung Tua Semarang
Upaya menghidupkan warisan budaya atau heritage juga bisa dengan menawarkan seni kerajinan atau mengangkat pasar-pasar tradisional lama. Hal seperti itu sebenarnya sudah ada di Waroeng Semawis di Jalan Gang Warung, Pecinan. Pada malam hari setiap akhir pekan, jalan itu ditutup dan dijadikan sentra kuliner malam yang menarik bagi pengunjung.
Kampung Sekayu yang bersejarah, lanjut Wasino, juga berpotensi untuk diangkat basis historisnya. Sejalan dengan itu, misalnya diperkenalkan juga makanan-makanan khas Semarang sehingga ada nilai-nilai lokal yang diangkat.
Guru Besar Departemen Perencanaan Wilayah dan Kota Fakultas Teknik Undip Nany Yuliastuti mengemukakan, dari riset yang dilakukannya beberapa tahun lalu, diketahui bahwa aspek sosial di kampung-kampung Semarang sebenarnya baik. Hal itu menjadi modal penting keberlanjutan. Kampung akan semakin mudah ditinggalkan penghuninya atau dijual jika interaksi sosialnya rendah. Lebih-lebih jika kumuh.
Terkait dilema pembangunan di antara permukiman warga, Kepala Bidang Perencanaan Pemerintahan, Sosial, dan Budaya Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kota Semarang Slamet Budiutomo menuturkan, perkembangan zaman ialah keniscayaan. Segala hal pasti akan berubah. Namun, melestarikan sesuatu yang bernilai sejarah, termasuk kampung, perlu dan menjadi pekerjaan bersama seluruh pemangku kepentingan.
Baca juga : Percik Spirit Kampung Urban Semarang
Pada dasarnya, lanjut Budi, Semarang memiliki kekuatan akulturasi budaya. Sudah banyak pertautan budaya di kota yang baru berulang tahun ke -474 pada 2 Mei kemarin itu. Akulturasi sendiri menjadi daya tarik. Di sisi lain, apabila ada sesuatu yang benar-benar asli, menjadi hal menarik dan benar-benar perlu dipertahankan.
Wali Kota Semarang Hendrar Prihadi mengungkapkan, untuk menjaga warisan budaya di perkampungan lama Semarang di pusat kota, pemkot akan berupaya mengembangkan sektor pariwisata religi, salah satunya Masjid Taqwa Sekayu. Tahun ini, pihaknya berencana memugar gapura masjid yang sebelumnya bernama Masjid Pekayuan itu. ”Karena masjid ini tertua di Semarang bahkan di Jawa Tengah, sudah sepantasnya dijaga kelestariannya,” katanya.
Selain Masjid Taqwa Sekayu, Kota Semarang juga memiliki banyak potensi wisata religi yang sarat akan sejarah, seperti Masjid Besar Kauman, Sam Poo Kong, Vihara Mahavira Graha, Masjid Layur Kampung Melayu, Pura Agung Giri Natha, Kelenteng Tay Kak Sie, Gereja Gedangan, Gereja Blenduk, dan Pagoda Watugong.
Seiring derap pembangunan, perubahan tak akan terelakkan. Namun, nilai-nilai pelestarian seyogianya jangan diabaikan. Jika ditata dan dikemas apik, bukan tak mungkin perkampungan lama beserta warisan sejarah di dalamnya dapat menjadi daya tarik wisata.
Baca juga : Pemilik Properti di Kota Lama Semarang Didorong ”Hidupkan” Bangunan