Kemendagri Ingatkan Realisasi Belanja Pemda Belum Optimal
Realisasi APBD kabupaten/kota masih di bawah APBN sekitar 10 persen. Sementara berdasarkan data BI ditemukan dana pemda di perbankan mencapai Rp 194,54 triliun.
Oleh
PRAYOGI DWI SULISTYO
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Realiasi belanja Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah atau APBD dinilai belum optimal karena jumlahnya masih di bawah realiasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara atau APBN. Kementerian Dalam Negeri mengingatkan agar pemerintah daerah tidak menyimpan uang di bank untuk mendapatkan bunga demi kepentingan pribadi.
Direktur Jenderal Bina Keuangan Daerah Kementerian Dalam Negeri Mochamad Ardian mengatakan, realisasi belanja APBD provinsi dan kabupaten/kota hingga 25 Mei 2021 mencapai 21,98 persen. Jumlah tersebut naik 1,83 persen jika dibandingkan dengan tahun 2020 pada 31 Mei yang jumlahnya sebesar 20,58 persen.
Realisasi APBD masih di bawah APBN sekitar 10 persen. Kita berharap bahwa pemda bisa mengejar ketertinggalan terhadap realisasi belanja. Syukur-syukur bisa mendekati angka APBN. (Direktur Jenderal Bina Keuangan Daerah Kementerian Dalam Negeri Mochamad Ardian)
Meskipun demikian, jumlah tersebut masih di bawah realisasi APBN yang mencapai 32 persen per 25 Mei. ”Realisasi APBD masih di bawah APBN sekitar 10 persen. Kita berharap bahwa pemda bisa mengejar ketertinggalan terhadap realisasi belanja. Syukur-syukur bisa mendekati angka APBN,” kata Ardian dalam konferensi pers di Jakarta, Senin (31/5/2021).
Ardian mengatakan, dengan rendahnya angka realisasi belanja, Kemendagri mencermati ada uang pemerintah daerah di perbankan pada 30 April 2021. Berdasarkan data yang diterima dari Bank Indonesia (BI), jumlahnya sebesar Rp 194,5 triliun.
Ia menuturkan, dari regulasi keuangan daerah, pemerintah daerah bisa melakukan deposito dalam rangka menjaga kas. Namun, jangan sampai uang disimpan di perbankan untuk mendapatkan bunga. Sebab, hal tersebut keluar dari regulasi. Apabila ada perpindahan uang ke deposito atau ke bank lain untuk maksud tertentu demi kepentingan pribadi, hal tersebut mengarah pada pidana.
”Antara Kemendagri, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP), dan Kementerian Keuangan selalu berkoordinasi. Rekan-rekan kami di KPK selalu mengingatkan hati-hati dalam rangka deposito perbankan. Jangan sampai untuk kepentingan pribadi,” kata Ardian.
Ardian mengungkapkan, data BI menyebutkan, pada Maret 2021 ada uang kas di perbankan Rp 182,33 triliun. Pada April naik menjadi Rp 194,54 triliun. Jika dibandingkan dengan tahun 2020, ada kenaikan angka simpanan di perbankan sekitar Rp 3 triliun. Jika diperhatikan, dari pendapatan dan belanja ada penurunan, tetapi simpanan semakin besar.
Ia menuturkan, dana transfer pemda kemungkinan ada pengurangan karena penyesuaian. Sektor pendapatan asli daerah (PAD) pun terkontraksi di era pandemi. Karena itu, ada upaya yang dilakukan pemda untuk bisa mendapatkan tambahan PAD melalui bunga.
Secara terpisah, Sekretaris Jenderal Sekretariat Nasional Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran Misbakhul Hasan mengatakan, belanja daerah masih sangat bergantung dari transfer pusat melalui Transfer ke Daerah dan Dana Desa (TKDD). Hingga Mei 2021, TKDD baru ditransfer 29,32 persen. Karena itu, kas daerah relatif kosong.
”Daerah belum bisa mengandalkan belanja yang bersumber dari PAD karena PAD masih terkontraksi karena Covid-19,” kata Misbakhul.
Kesengajaan daerah untuk tidak segera melakukan lelang proyek, pengadaan barang/jasa, dan justru disimpan di bank. Tidak heran kalau idle money (uang menganggur) APBD sangat tinggi. Hal ini juga rawan terhadap penyimpangan anggaran daerah. (Sekretaris Jenderal Sekretariat Nasional Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran Misbakhul Hasan)
Ia menjelaskan, serapan anggaran daerah rendah karena proses pencairan dan eksekusi anggaran dari dana transfer pusat itu prosesnya rumit. Selain itu, proses lelang pengadaan barang/jasa di daerah juga terlambat. Menurut Misbakhul, proses semacam ini perlu dievaluasi dan diubah karena mengorbankan kualitas proyek yang dilaksanakan.
Faktor lainnya adalah kesengajaan daerah untuk tidak segera melakukan lelang proyek, pengadaan barang/jasa, dan justru disimpan di bank. ”Tidak heran kalau idle money (uang menganggur) APBD sangat tinggi. Hal ini juga rawan terhadap penyimpangan anggaran daerah,” kata Misbakhul.