Sengkarut Lahan Hunian Tetap Penyintas Gempa Palu
Pemkot Palu dan pemangku kepentingan lain harus menyelesaikan masalah persediaan lahan pembangunan hunian tetap sebagian besar penyintas gempa.
Lahan untuk pembangunan hunian tetap penyintas gempa di Kota Palu, Sulawesi Tengah, belum kunjung tuntas diurus setelah dua tahun lebih bencana berlalu. Kepemilikan lahan masih diklaim sejumlah warga, situasi yang pelik di tengah penanganan pascabencana yang berlarut-larut.
Lokasi untuk pembangunan hunian tetap (huntap) yang status lahannya masih bermasalah tersebut berada di Kelurahan Tondo (Huntap Tondo II) dan Kelurahan Talise, Kecamatan Mantikulore. Dua lokasi tersebut berada di timur Palu dengan jarak sekitar 8 kilometer dari pusat kota.
Warga sekitar lokasi pembangunan huntap, yakni Kelurahan Talise, Talise Valangguni, dan Tondo, mengklaim memiliki sebagian besar lahan yang telah diratakan itu. Mereka mengklaim lahan telah lama mereka olah untuk berkebun meski tak ada alas hak, seperti sertifikat hak milik. Klaim tersebut mencuat sejak awal 2020 saat lokasi itu disiapkan untuk pembangunan huntap.
Berdasarkan catatan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR), di lahan huntap Tondo II dengan luas 65 hektar ada 37 orang yang mengklaim. Di lahan huntap Talise, tak kurang dari 100 orang yang mengklaim.
Tanda klaim warga di lokasi pembangunan huntap terlihat jelas dalam bentuk patok atau pagar-pagar kayu di lokasi. Hal itu, misalnya, terlihat jelas di sisi timur lahan huntap Tondo II.
Menurut Koordinator Warga Talise Bersaudara, Bei Arifin, Kamis (27/5/2021), klaim warga atas lahan berstatus hak guna bangunan (HGB) tersebut bermula pada 2012. Saat itu, lahan yang digarap warga dialihkan ke perusahaan untuk membangun kawasan bisnis di Kelurahan Talise.
Pemerintah kemudian menjanjikan lahan HGB lainnya, yakni di lokasi pembangunan huntap saat ini, bisa dibagikan kepada warga. Namun, hal itu tak kunjung dilakukan hingga terjadinya bencana pada 2018.
Pada rapat koordinasi khusus untuk menyelesaikan pembangunan huntap bersama Kementerian PUPR serta Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ART/BPN), Wali Kota Palu Hadianto Rasyid menjanjikan masalah lahan ditargetkan rampung pada 18 Juni.
Baca juga: Lahan Hunian Tetap di Palu Belum Kunjung Beres, Wali Kota Janjikan Segera Selesaikan
Pemerintah menyiapkan dua skenario. Pertama, pemindahan lokasi huntap ke lahan baru untuk mengakomodasi warga yang mengklaim lahan. Skenario kedua, pembangunan huntap di lokasi yang telah ditetapkan tetap berjalan, tetapi di luar lahan yang diklaim.
Sementara kekurangan lahan pada skenario kedua nanti bisa dipindah ke Desa Pombewe, Kecamatan Sigi Biromaru, Kabupaten Sigi, yang kelebihan lahan untuk huntap. Pembangunan huntap dan pembagian lahan untuk warga merupakan bagian penataan lokasi bekas HGB untuk kota satelit atau kota baru.
Huntap Tondo II dan huntap Talise bagian dari lahan untuk pembangunan huntap penyintas gempa, tsunami, dan likuefaksi. Diproyeksikan ada sekitar 3.000 huntap atau rumah dibangun di situ.
Pemerintah Provinsi Sulteng dan Pemerintah Kota Palu menetapkan lokasi tersebut untuk pembangunan lahan huntap karena kawasan tersebut bagian dari HGB yang sebagian sudah habis masa berlakunya. Sebagian lagi HGB-nya masih aktif, tapi bisa diambil negara untuk kepentingan darurat (penanganan bencana). Dengan dasar itu, pemerintah tak menyiapkan dana khusus untuk pembebasan lahan.
Penyediaan huntap bagian dari rekonstruksi pascabencana Kota Palu, Kabupaten Sigi, Donggala, dan Parigi Moutong. Huntap dibangun untuk penyintas yang rumahnya hancur di sekitar sempadan Sesar Palu Koro, bekas tsunami, dan likuefaksi pada 28 September 2018.
Di tiga titik tersebut tak diizinkan lagi pembangunan hunian untuk menghindari bencana serupa di masa datang. Pemerintah berencana menjadikan lokasi-lokasi tersebut ruang terbuka hijau. Total huntap untuk empat kabupaten terdampak bencana 11.000 unit.
Warga yang belum mendapatkan huntap saat ini masih tinggal di hunian sementara (huntara).
Khusus untuk Palu, dibutuhkan 6.000 huntap. Sekitar 2.000 huntap di Palu telah dibangun dan ditempati di Kelurahan Tondo (Huntap Tondo I) dan Kelurahan Duyu, Kecamatan Tatanga; serta Balaroa, Kecamatan Palu Barat. Huntap yang telah jadi tersebut sebagian besar dibangun oleh lembaga sosial/yayasan.
Ada pula sejumlah penyintas yang mengikuti program huntap mandiri, yakni pembangunan rumah di lahan sendiri. Di Sigi, Donggala, dan Parigi Moutong, pembangunan huntap masih berjalan. Secara umum, tidak ada kendala lahan di tiga kabupaten tersebut.
Warga yang belum mendapatkan huntap saat ini masih tinggal di hunian sementara (huntara). Di Palu, tak kurang dari 700 keluarga masih bertahan di huntara. Mereka ada di Petobo, Talise, Lere, dan Pantoloan.
Warga hidup secara komunal di huntara. Kamar mandi dan dapur digunakan bersama. Huntara berupa bangunan berpanggung dengan lantai sekat antarkamar dari papan lapis. Sebagian penyintas lainnya menyewa rumah atau kos.
Penyintas menilai, waktu 2,5 tahun pascabencana tanpa kejelasan lahan huntap merupakan bentuk ketidakseriusan pemerintah menangani bencana. ”Jangan terlalu banyak janji atau main politik dalam urus huntap. Ini soal ribuan orang yang masih bertahan di huntara dengan kehidupan seadanya,” ujar Taufik (38), penyintas di huntara Kelurahan Petobo, Palu, Senin (1/6/2021).
Pembangunan terhenti
Penyelesaian masalah lahan huntap berubah seiring terjadinya perubahan kepemimpinan di Pemerintah Kota Palu. Pada era Wali Kota Hidayat, pengerjaan lahan tetap dilakukan meski ada sengketa. Warga yang mengklaim tetap diakomodasi dengan pembagian lahan di luar lokasi yang dipersiapkan untuk huntap.
Baca juga: Jalan Lain bagi Penyintas Bencana untuk Menggapai Hunian Tetap
Beberapa kali warga mendatangi lokasi untuk menghentikan pekerjaan, tetapi dengan kawalan aparat keamanan, alat-alat berat tetap beroperasi. Hidayat waktu itu menegaskan, pengerjaan huntap tak boleh diganggu.
Setelah Hidayat lengser dari jabatannya menyusul kalah dalam pemilihan kepala daerah pada 9 Desember 2020, kebijakan lain muncul. Hadianto Rasyid, yang sekarang menjabat sebagai wali kota, mengakomodasi tuntutan warga Talise, Talise Valangguni, dan Tondo.
Warga tersebut merupakan pihak yang mengklaim lahan huntap. Hadianto menghentikan pekerjaan di lokasi pembangunan huntap. Semua bentuk aktivitas dihentikan sebelum para pengklaim menerima lahan, entah di lokasi huntap tersebut atau di luarnya.
Penghentian pengerjaan dimulai pada awal Maret atau kurang dari sebulan setelah Hadianto dilantik menjadi wali kota hingga saat ini. Pemerintah Kota menyatakan, tercatat 1.100 warga Talise, Talise Valangguni, dan Tondo yang akan mendapatkan jatah pembagian lahan dengan skema land consolidation. Mekanisme itu adalah penataan ulang lahan untuk didistribusikan kepada masyarakat.
Kebijakan akomodatif yang diterapkan Hadianto sah-sah saja, terutama untuk mempertemukan kepentingan penyediaan huntap dan klaim warga. Dengan jalan itu, diharapkan masalah lahan huntap terselesaikan dengan baik sehingga pengerjaannya tak terhambat lagi.
Baca juga: Dalam Sengketa, Penyiapan Calon Lahan Hunian Tetap Penyintas di Palu Jalan Terus
Namun, hal itu membutuhkan waktu lama karena selain untuk huntap, penggunaan lain lahan bekas HGB ataupun yang masih aktif statusnya membutuhkan koordinasi dengan Kementerian ATR/BPN dan perusahaan. Belum lagi berapa masing-masing luas lahan untuk pengklaim menjadi segi lain dari persoalan.
Sejumlah pihak pun menilai, alangkah baiknya jika Pemerintah Kota Palu kembali memikirkan solusi yang dulu pernah diambil, yakni pengerjaan lahan huntap tak diganggu sambil lahan di luar huntap disediakan untuk warga Talise, Talise Valangguni, dan Tondo.
Solusi ini tak mengabaikan pihak mana pun, hanya ada prioritas yang perlu diambil, yakni kebutuhan huntap penyintas. Komunikasi dengan warga tiga kelurahan yang mengklaim pun harus dijalin intens atas dasar pemahaman yang baik.
Anggaran yang telah dibelanjakan untuk penyiapan lahan pun mubazir jika Pemerintah Kota Palu menetapkan lokasi lain untuk huntap. Penyiapan lahan telah menghabiskan sekitar Rp 40 miliar. Jika penyediaan lahan baru lagi, masalahnya akan makin runyam, baik untuk anggaran baru maupun ketakpastian tersedianya huntap untuk penyintas.
”Yang paling urgent saat ini tentu penyediaan huntap penyintas. Kalau pemerintah menganggap penyediaan huntap bagian dari masalah kemanusiaan pascabencana, lebih bijak untuk memprioritaskan dahulu kebutuhan penyintas,” kata Adjad (38), salah satu koordinator forum penyintas gempa, tsunami, dan likuefaksi di Palu.
Ketua Tim Monitoring Solidaritas Korban Pelanggaran HAM (SKP-HAM) untuk Penyediaan Huntap Syafari Firdaus menegaskan, penyelesaian masalah huntap dan klaim warga harus menjamin tak ada masalah di kemudian hari, baik bagi penyintas maupun warga yang mengklaim lahan.
Jangan ada pengerjaan di lahan huntap sebelum jelas lahan untuk masyarakat.
Sementara itu, Bei Arifin menegaskan, pihaknya tak bermaksud menolak pembangunan huntap. Namun, pihaknya menuntut kepastian dari pemerintah terkait pembagian lahan. ”Jangan ada pengerjaan di lahan huntap sebelum jelas lahan untuk masyarakat,” ujarnya.
Dorongan kuat dari Kementerian PUPR juga bisa mempercepat penyelesaian masalah. Salah satu faktornya, periode penggunaan dana pembangunan huntap berakhir pada Desember 2021. Artinya, tersisa enam bulan lagi bagi Kementerian PUPR untuk menggunakan dana itu.
Meskipun bisa diperpanjang, hal itu menjadi preseden buruk bagi Bank Dunia sebagai pemberi pinjaman. Batas waktu itu bisa memaksa semua pihak untuk bekerja lebih cepat menuntaskan masalah lahan.
Janji dan gerak cepat Pemerintah Kota Palu serta pemangku kepentingan lain dinanti. Langkah yang diambil harus memastikan penyintas tak berlarut-larut tinggal di hunian sementara karena berlarut-larutnya penyediaan lahan huntap setelah dua tahun bencana. Penyintas di huntara tak bisa terus menunggu tanpa kepastian.