Warga Madura di antara Lonjakan Kasus dan Penyangkalan Covid-19
Situasi pandemi Covid-19 sedang memburuk di Bangkalan, Pulau Madura, Jawa Timur. Ketidakpedulian jadi pemicunya. Namun, warga punya modal sosial dan budaya untuk bangkit dengan kebersamaan sebagai warga Nusa Garam.
Oleh
AMBROSIUS HARTO
·5 menit baca
Lonjakan kasus Covid-19 di Bangkalan, Jawa Timur, sedang menguji ketangguhan warganya. Wabah yang sedang memburuk turut diduga karena perilaku sengkok norok buntek atau saya ikut-ikutan mengabaikan protokol kesehatan. Petaka bisa diakhiri dengan bangkit bersama bhuppa, bhabbu, guru, rato atau bapak, ibu, ulama, pemimpin.
Tiga hari terakhir, kasus Covid-19 di Bangkalan bertambah 145 orang. Sebanyak 10 orang di antaranya meninggal. Kasus aktif total ada 190 orang, semuanya dirawat sampai dengan Selasa (8/6/2021).
Jumlah kasus aktif di Bangkalan sementara ini tertinggi, yakni 9,5 persen dari 2.000 pasien se-Jatim. Penambahan tiga hari terakhir, yakni 25 kasus, 40 kasus, dan 80 kasus, juga tertinggi di antara 38 kabupaten/kota di Jatim.
Ada dugaan lonjakan kasus di Bangkalan terkait dengan serangan mutasi baru yang lebih cepat menular dan berbahaya bagi keselamatan pasien. Anggota Dewan Pakar Satuan Tugas Covid-19 Jatim, Agung Dwi Wahyu Widodo, dari Universitas Airlangga (Unair) mengungkapkan, telah ditemukan varian B117 Alpha dari seorang pasien asal Bangkalan yang diisolasi dan ditangani di rumah sakit kampus tersebut.
Situasi yang memburuk dan ancaman lebih mengerikan dari mutasi baru virus korona (SARS-CoV-2) ternyata belum membuat jerih kalangan warga Nusa Garam, julukan Pulau Madura. Sebagian dari mereka seolah meremehkan Covid-19, bahkan tidak atau kurang percaya ancaman pandemi yang nyata.
Tidak mengherankan jika di Madura, sejak serangan wabah pada Maret 2020, kedisiplinan menjalankan protokol kesehatan rendah. Warga tidak berpelindung (masker) adalah hal biasa. Malah yang bermasker dianggap luar biasa, aneh, takut dengan penyakit. Sosialisasi juga rendah.
Epidemiolog Unair, Windhu Purnomo, mengatakan, aparatur terkesan ”malas” untuk mengungkap kasus-kasus tersembunyi dengan pengetesan dan pelacakan. Jumlah sampel tes usap PCR sejak serangan wabah amat rendah, yakni di Bangkalan (4.675), Sumenep (4.608), Sampang (2.634), dan Pamekasan (1.781). Bandingkan dengan Surabaya (764.193). ”Karena tes sedikit, kasus yang diketahui ya sedikit, terlihat baik-baik saja sampai kemudian terjadi lonjakan,” katanya.
Lonjakan kasus di Bangkalan memaksa aparatur terpadu di Surabaya memberlakukan penyekatan lalu lintas dan kewajiban tes antigen seluruh pengendara dari Madura yang melalui Jembatan Suramadu atau penyeberangan Ujung-Kamal. Namun, kebijakan yang diberlakukan sejak Minggu itu terus memicu penolakan masyarakat, terutama dari Madura.
Senin sore, di pos pemeriksaan antigen di Jembatan Suramadu, seorang lelaki asal Bangkalan terpaksa diamankan karena marah-marah, bahkan menantang berkelahi aparatur di sana. Hasil tes antigen pria itu positif sehingga perlu tes usap PCR. Jika positif Covid-19, tentu si lelaki harus dirawat, sampai sembuh.
Namun, penjelasan itu justru membuatnya geram dan mengumpati banyak orang. Ia diamankan ke Kepolisian Resor Pelabuhan Tanjung Perak, diberi pengertian dan sosialisasi, memahami, dan akhirnya mohon maaf melalui video yang direkam polisi.
Selasa siang, Camat Sawahan M Yunus dan aparatur di Jembatan Suramadu mengejar seorang lelaki yang mencoba kabur saat hendak dibawa ke Asrama Haji Sukolilo untuk karantina dan tes usap PCR. Pengendara asal Bangkalan itu diketahui positif lewat tes antigen.
”Dalam bahasa Madura, saya kasih pengertian kalau dia akan dirawat, diberi makan dan obat biar sembuh sehingga akhirnya bersedia,” kata Yunus yang mengaku sempat terengah-engah mengejar lelaki dimaksud.
Belum lagi banyak kasus menggelikan atau geger ger-geran, tetapi sebenarnya cerminan keprihatinan pandangan warga Madura terhadap pandemi Covid-19. Di Jembatan Suramadu, banyak warga yang batal melintas alias balik kanan karena emoh tes antigen. Gubernur Jatim Khofifah Indar Parawansa juga menyayangkan minimnya keinginan warga Madura untuk tes usap PCR gratis.
Salah satu buktinya, mobil PCR yang sedang disiagakan di Bangkalan untuk pengetesan dan pelacakan ternyata minim peminat. ”Padahal, tes ini gratis dan akan sangat membantu kita untuk percepatan penanganan,” kata Khofifah.
Karakter
Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Budaya Universitas Trunojoyo Madura Surokim Abdussalam mengatakan, ketidakpercayaan warga Nusa Garam terhadap Covid-19 mencerminkan rendahnya literasi kesehatan mereka. Situasi ini linier dengan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) di Madura yang rendah.
Badan Pusat Statistik Jatim mencatat IPM 2020 di Bangkalan 64,1, Sampang 62,7, Pamekasan 66,2, Sumenep 66,4, sedangkan rerata Jatim 71,7. Kemiskinan di Madura juga lebih mendera dibandingkan dengan daerah lainnya di Jatim.
Ketidakpercayaan warga Nusa Garam terhadap Covid-19 mencerminkan rendahnya literasi kesehatan mereka.
”Di sisi lain, karakter warga Madura itu tangguh, yang salah satunya tecermin dari kondisi alam yang panas dan keras,” ujar Surokim. Mereka tidak akan gentar oleh sesuatu yang dianggap tidak terlalu membahayakan keselamatan jiwa. Padahal, Covid-19 mematikan.
Di Madura, data akumulatif keempat kabupaten, dari 5.752 warga terjangkit, kematian dialami oleh 432 orang. Mayoritas atau 5.320 orang berhasil sembuh. Masyarakat cukup yakin tidak rentan diserang dan cenderung meremehkan. Dalam praktik kehidupan selama masa pandemi, larangan mobilitas, disiplin protokol kesehatan, dan kewaspadaan akhirnya diabaikan.
Meski demikian, Surokim melihat penanganan pandemi di Madura selama ini kurang memerhatikan karakter budaya. Warga Madura lekat dengan pepatah sengkok norok buntek dan bhuppa, bhabbu, guru, rato atau saya ikut-ikutan bapak, ibu, ulama, pemimpin.
Warga Madura amat religius, dengan salah satu prinsip hidup mereka abantal syahadat, asapo iman, apayung Allah atau bersandar syahadat, berselimut keimanan, dan berlindung kepada Allah untuk keselamatan dunia dan akhirat.
”Saya yakin, orang Madura akan patuh dengan orangtua serta ulama yang meminta disiplin protokol kesehatan. Bahkan, kaum milenial Madura masih terikat, apa pun mereka masih meminta pandangan orangtua. Jika orangtua memberi contoh disiplin protokol kesehatan, anak-anaknya tentu akan mengikuti begitu juga warga patuh terhadap ulama,” kata Surokim.
Situasi pandemi di Madura sedang luar biasa. Rasanya, dengan karakter budaya yang ada, penanganan Covid-19 di sana juga perlu luar biasa alias istimewa. Semoga virus korona bisa dibuat norok buntek ke perbaikan dan lenyap dari Nusa Garam.