Lawang Sewu, Kaca Benggala Wajah Perkeretaapian Indonesia
Lawang Sewu dulunya merupakan kantor Nederlandsch-Indische Spoorweg Maatschappij (NIS atau NISM), perusahaan kereta api swasta dan pertama di Indonesia. Sempat tak terawat, Lawang Sewu kini menjadi magnet wisata.
Gedung Lawang Sewu di Kota Semarang, Jawa Tengah, satu dekade terakhir bertransformasi dari bangunan kusam nan angker menjadi magnet wisata Kota Lumpia. Dimiliki dan dikelola PT Kereta Api Indonesia, cagar budaya peringkat nasional itu menjadi kaca benggala transformasi perkeretaapian Tanah Air, dari yang penuh caci maki kini penuh pujian.
Wardijo (56) sigap memotret sepasang pria dan wanita paruh baya di depan pagar besar Gedung Lawang Sewu, suatu sore, awal Juli 2021. Siang itu, pria asli Purwodadi, Grobogan, tersebut didapuk jadi fotografer dadakan dua pelancong yang memakai jasa becaknya. Meski hanya bisa berfoto di luar gedung, kedua penumpang Wardijo itu tetap antusias.
”Saya sudah bilang kalau Lawang Sewu tutup karena pandemi, tetapi mereka ngotot pengin datang. Katanya, enggak apa-apa asal bisa foto kelihatan Lawang Sewunya,” kata Wardijo saat menunggu kedua penumpangnya berfoto sendiri mengelilingi pagar luar Lawang Sewu.
Kalau ingat bentuknya dulu, enggak menyangka. Sekarang, setiap penumpang pada minta ke sini.
Sambil memandangi bangunan megah itu, ingatan Wardijo melayang ke era tahun 2000-an. Ia pun menyeletuk, ”Dulu ya, Mas. Penumpang becak saya pada enggak mau dilewatkan Lawang Sewu, apalagi malam hari. Lihat dari jauh saja sudah takut. Yang minta diantar ke sini, ya, yang pengin lihat demit.”
Wardijo mengenang, bangunan Lawang Sewu hingga awal 2009 tidak terawat dan mangkrak. Bagian dalamnya hanya menjadi persinggahan gelandangan, penitipan gerobak pedagang kaki lima, dan tempat mesum. Menjadi pengayuh becak di Semarang sejak 1995, ia tahu persis kondisi Lawang Sewu saat itu.
Bangunan gedung penuh lumut, kusam, dan kotor. Akar pohon tua menjalari tembok-tembok. Ilalang tinggi memenuhi pelataran bangunan. Tak ada satu pun penerangan di sekitar. Bahkan, setelah terkenal sebagai salah satu tempat uji nyali sebuah program televisi, pada 2007 keangkeran bangunan itu pernah diangkat dalam film horor lokal.
”Kalau dibandingkan sekarang, jauh beda. Dulu, di sini baunya pesing banget. Saya kalau kemalaman diajak tidur di luar gedung. Paginya kalau dilihat, maaf, banyak kondom berserakan. Kalau ingat bentuknya dulu, enggak menyangka, sekarang setiap penumpang pada minta ke sini,” kata Wardijo disusul tawa lebar.
Baca Juga: Mengantar Semarang Jadi Gerbang Wisata
Jejak perkeretaapian
Gedung Lawang Sewu sejatinya menyimpan setangkup memori yang berkaitan erat dengan era mula perkeretaapian Tanah Air. Semua berawal dari dibangunnya jalur kereta api pertama di Indonesia di Kemijen, Semarang, pada 1864 oleh perusahaan kereta api swasta, Nederlandsch-Indische Spoorweg Maatschappij (NIS atau NISM). Pembangunan jalur beserta empat stasiun dari Semarang hingga Tangoeng (kini Tanggung), Grobogan, tersebut rampung pada 1867.
Pada 10 Agustus 1867 dilangsungkan perjalanan KA dari Stasiun Samarang NIS (kini ejaannya Semarang) hingga Tangoeng, sepanjang 25 kilometer, dengan waktu tempuh 1 jam. KA berhenti di Stasiun Allas-Toewa (Alastua) di Semarang dan Broemboeng (Brumbung) di Demak. Kendati juga digunakan untuk angkutan orang, prioritas lebih pada pengangkutan hasil perkebunan.
Dalam perkembangannya, sesuai konsesi, rute berlanjut menjadi Semarang-Surakarta-Yogyakarta (1873). Selain itu, juga ada percabangan jalur dari Kedungjati ke Ambarawa.
Dikutip dari buku Sejarah Perkeretaapian Indonesia Jilid I yang disusun Tim Telaga Bakti Nusantara, terbitan Angkasa Bandung (1997), pembangunan jalur ke Ambarawa menjadi syarat dari Pemerintah Kolonial Hindia Belanda saat mengabulkan permohonan konsesi NIS. Percabangan jalur itu untuk kepentingan militer karena ada Benteng Willem di Ambarawa.
Baca Juga: Semarang dalam Renjana Jalur Sepur Pertama di Indonesia
NIS juga mendapat konsesi membangun jalur KA Jakarta-Bogor mulai 1869. Adapun di Semarang, juga dibangun jalur Semarang-Juana, serta jalur trem kota yang beroperasi mulai 1882, oleh swasta lainnya, Samarang-Joana Stoomtram Maatschappij (SJS). Lalu, juga dibangun jalur Semarang-Cirebon oleh Semarang-Cheribon Stoomtram Maatschappij (SCS), juga swasta, pada akhir abad ke-19.
Pada perkembangannya, NIS tumbuh menjadi maskapai KA terbesar di antara belasan perusahaan swasta yang pernah mengoperasikan jalur rel di Indonesia. Pemerintah Hindia Belanda akhirnya juga mendirikan maskapai bernama Staatsspoorwegen (SS) dengan jalur pertama Surabaya-Pasuruan. Perusahaan pelat merah yang berpusat di Bandung itu juga mengambil alih jalur Jakarta-Bogor dari NIS hingga kemudian menjadi maskapai terbesar.
Awalnya, Stasiun Samarang juga sekaligus kantor NIS. Namun, seiring berkembangnya perusahaan dan bertambahnya jumlah pegawai, gerha atau kantor administrasi baru dibangun. Letaknya di sekitar Wilhelmina Plein (kini Tugu Muda Semarang) atau di ujung selatan Bodjongweg (kini Jalan Pemuda). Lokasi itu berjarak 4,5 kilometer dari Stasiun Samarang NIS yang kala itu mudah diterjang rob.
”(Kantor NIS) tak cuma di bagian atas Stasiun Samarang, tetapi juga pada bangunan-bangunan yang terpencar di sekitarnya. Namun, karena tidak efisien, maka dibuat baru, yang saat ini menjadi Lawang Sewu,” ujar Tjahjono Rahardjo dari Indonesian Railway Preservation Society (IRPS) Wilayah Semarang, di Semarang, Rabu (28/7/2021).
Baca Juga: Jejak Jalur Besi Merangkai Kota Dagang Semarang
Pembangunan gedung utama kantor baru NIS yang dirancang Prof Jakob F Klinkhamer dan B J Ouendag, arsitek dari Amsterdam, dimulai 27 Februari 1904 dan rampung 1907. Sementara bangunan tambahan dibangun 1916-1918. Gedung itu memiliki banyak jendela dan pintu sehingga warga menyebutnya Lawang Sewu. Namun, jumlah sebenarnya adalah 425 lubang pintu dan 928 daun pintu.
Selain desain unik dengan gaya Romanesque Revival, Lawang Sewu juga memiliki ornamen kaca patri dari pabrikan Johannes Lourens Schouten. Kaca patri itu disebut bercerita tentang kemakmuran dan keindahan Jawa. Juga, tentang penguasaan Belanda atas Semarang dan Batavia, sebagai kota maritim serta kejayaan kereta api.
Dikutip dari Heritage.kai.id, Lawang Sewu digunakan sebagai Kantor Pusat NIS sejak 1907. Lalu, diambil alih Jepang pada 1942-1945 dan menjadi kantor Ryuku Sokyoku (Jawatan Transportasi Jepang). Selepas proklamasi kemerdekaan pada 1945, bangunan itu menjadi kantor Djawatan Kereta Api Indonesia Republik Indonesia (DKARI), yang berkantor pusat di Bandung.
Pada 1946, Lawang Sewu digunakan sebagai markas tentara Belanda. Sementara setelah pengakuan kedaulatan RI pada 1949, gedung tersebut digunakan Kodam IV/Diponegoro. Pada 1994, gedung diserahkan kembali kepada kereta api yang saat itu bernama Perusahaan Umum Kereta Api (Perumka).
Baca Juga: Stasiun Samarang NIS, Pionir Perkeretaapian yang Terlupakan
Dalam perkembangannya, seperti diceritakan Wardijo, Lawang Sewu sempat telantar. Salah satunya karena tingginya biaya perawatan bangunan kuno. Pakar arsitektur Universitas Diponegoro, Eko Budihardjo, pernah menuturkan, agar tetap bermanfaat tanpa harus mengubah eksteriornya, fungsi bangunan kuno dapat dialihkan ke hal bermanfaat (Kompas, 24 September 1997).
Lantaran tidak terawat, Gedung Lawang Sewu, yang juga pernah akan dijadikan hotel mewah, lebih sering disebut sebagai gedung berhantu. Tjahjono pun menyayangkan Lawang Sewu yang saat itu lebih dikenal sebagai sesuatu yang mistis ketimbang nilai historis ataupun pelestarian.
”Saya sampai sedih. Suatu waktu ada seorang dosen sejarah datang ke Lawang Sewu, lalu bertanya, ’Mana, sih, ruang bawah tanah yang ada hantunya?’ Waduh. Padahal, dia dosen sejarah,” ujarnya.
Tjahjono, yang juga dosen Magister Lingkungan dan Perkotaan Universitas Katolik Soegijapranata, menuturkan, ruang bawah tanah di Lawang Sewu ada karena saat pembangunan tanahnya lembek. Untuk membangun fondasi harus dilakukan pengerukan secara dalam hingga akhirnya sisa ruang dimanfaatkan sebagai basement. Ruang semacam ini lazim ditemukan pada bangunan-bangunan kuno gaya Eropa.
Restorasi
Pada 2009, PT KAI akhirnya melakukan restorasi Lawang Sewu. Pada 5 Juli 2011, Ibu Negara Ani Yudhoyono meresmikan Gedung Lawang Sewu yang rampung dipugar, sekaligus pembukaan Pameran Kriya Unggulan Nusantara 2011.
Wajah Lawang Sewu yang semula seram akhirnya berubah cantik. Perubahan ini seiring transformasi besar-besaran yang juga terjadi di tubuh PT KAI saat itu. Pelayanan PT KAI yang sebelumnya dikenal buruk berangsur prima. Stasiun-stasiun yang sebelumnya ramai dan kurang nyaman ditata rapi meniru bandar udara. Tak hanya fisik, perbaikan juga terjadi di sisi sumber daya manusia pegawai PT KAI.
Di bawah pengelolaan PT Kereta Api Pariwisata, anak perusahaan PT KAI, Lawang Sewu lantas menjadi salah satu destinasi wisata utama dan ikon Kota Semarang. Areal gedung seluas total 18.232 meter persegi ini dapat disewa untuk kegiatan pameran, ruang pertemuan, pemotretan, syuting, pesta pernikahan, festival, bazar, pentas seni, ataupun lokakarya.
Manajer Historic Building Lawang Sewu (HBLS) Trisna Cahyani mengatakan, pihaknya juga menyediakan wahana paket sewa kostum plus foto. Selain itu, pada Mei 2021, diresmikan kafe dengan konsep angkringan serta gerai merchandise yang dinamakan Laseko (Lawang Sewu Koopwar). Adapun koopwar berasal dari bahasa Belanda berarti cendera mata.
Tantangan perawatan
Sebagai bangunan cagar budaya, perlakuan khusus diberlakukan pengelola dalam perawatan Lawang Sewu. Di antaranya, penetapan aturan bahwa dalam pemanfaatan gedung tidak diperkenankan memaku, menggantung, menyandarkan, dan meletakkan benda-benda ke tembok atau lantai yang bisa menyebabkan goresan.
Trisna menuturkan, kesabaran dan ketelatenan amat dibutuhkan dalam perbaikan dan perawatan Lawang Sewu. Semua harus disesuaikan material asli. Pun, cara perlakuannya harus sesuai karakter bangunan.
Sebagai contoh, saat plester dinding rompal atau terkelupas rontok, material yang digunakan untuk menempel haruslah bligon atau batu bata yang dihancurkan lagi. ”Bligon, kapur, plus pasir. Kalaupun ditambah semen, harus dalam jumlah tertentu. Apabila adukannya tidak pas, akan rontok lagi selang beberapa hari,” ucap Trisna. Sejauh ini, ia baru menemukan bligon pada satu perajin lokal di Kudus.
Selain itu, lanjut Trisna, banyak material di Lawang Sewu yang tidak tergantikan atau tidak ada lagi yang menjual. Untuk mendapatkannya harus memesan khusus. ”Jadi, biaya perawatan gedung ini bisa berlipat-lipat dibandingkan gedung baru,” katanya.
Wakil Wali Kota Semarang Hevearita G Rahayu mengemukakan, pengembangan pariwisata Lawang Sewu akan disinkronkan dengan rencana reaktivasi jalur trem yang mati sejak sekitar 1940. Saat ini, pihaknya tengah mengajukan penjajakan dengan Pemerintah Belanda dan Pemerintah Kota Amsterdam yang akan memberi hibah berupa trem bekas. Pemkot Semarang akan menyiapkan biaya pengapalan.
Lihat Juga: Jejak Sejarah Kereta Api di Kampung Sporland
Dua trase yang direncanakan pun sesuai jalur trem masa lalu, yang salah satunya melewati Lawang Sewu. ”Trem ini lebih sebagai kereta wisata menyusuri jalur cagar budaya,” kata Hevearita.
Lawang Sewu menjadi saksi pasang surut jejak perkeretaapian sejak masa kolonial. Meski tak murah dan tak mudah, pelestariannya terbukti bernilai besar karena kini menjadi ikon wisata Kota Semarang.