Menjadi Saksi yang Sembunyi-sembunyi di Kala Pandemi
Pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) yang masih terus diperpanjang menghadirkan "adu cerdik" antara obyek target pembatasan dan aparatur negara. Entah sampai kapan.
Situasi pandemi Covid-19 (Coronavirus disease 2019) yang belum mereda memaksa pemerintah terus memperpanjang pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat atau PPKM. Ada suatu masa ketika masyarakat, demi kebutuhan hidupnya, harus ”beradu cerdik” dengan aparatur negara yang ingin menjaga wibawa kebijakan.
PPKM darurat 3-20 Juli 2021 berlangsung di Surabaya, Jawa Timur. Hari itu, tim gabungan datang ke tempat cuci kendaraan di kawasan Surabaya Selatan. Mereka meminta kegiatan dihentikan karena usaha itu tidak termasuk dalam sektor kritikal atau esensial yang boleh beroperasi.
”Lha, terus cuci mobilnya online (dalam jaringan), Pak? Apa bisa?” kata seorang pekerja cuci mobil.
Petugas gabungan dari unsur Pemerintah Kota Surabaya segera menukas, ”Begini saja, nanti sehabis dua mobil ini selesai dicuci harus tutup, ya, atau kami segel.”
Baca juga : Pandemi Terus Hadirkan Kompleksitas Masalah
Perintah dari aparat itu memang membuat keberanian pegawai tempat cuci kendaraan itu menciut. Setelah mencuci dua mobil tersisa, tempat usaha itu tutup. Namun, keesokan harinya, mereka buka dengan trik. Separuh gerbang ditutup dengan papan pengumuman ”Tutup”. Di dalam, cuci mobil paling banyak dua unit. Kalau didatangi petugas, pegawai akan bilang mobil yang sedang dicuci milik pengelola usaha yang datang mengawasi.
Masih dalam masa PPKM darurat, kali ini di kedai kopi di tepi rel di kawasan Surabaya Selatan. Ketika itu, usaha makanan minuman tidak diperkenankan melayani konsumsi di tempat (dine in) alias harus dibawa pergi (take away) atau pemesanan lewat aplikasi dalam jaringan. Namun, kedai kopi itu ternyata tetap melayani konsumsi di tempat, secara sembunyi-sembunyi.
Benar saja, petugas datang dan menegur seseorang yang duduk di kedai itu. Padahal, di meja tidak tersedia makanan atau minuman. Pengelola kedai mengatakan sesuatu yang mengejutkan; bahwa yang bersangkutan adalah pegawai kedai yang berjaga-jaga. Padahal, bukan pegawai.
Baca juga : Kasus Turun, Jatim Perlu Tetap Waspada
Oleh karena memang tidak terlihat ada konsumen di kedai itu, petugas pergi. Padahal, tak jauh dari kedai, di bawah deretan pohon, sejumlah orang memarkir sepeda motor sambil menyeruput kopi dalam kantong plastik dan mengudap.
Di sebuah warung makan lain, Kompas bertanya apakah boleh makan di tempat? Pemilik tempat mengiyakan dengan syarat menikmati makanan di meja kasir atau dekat dapur. ”Biar kalau ditanya petugas saya bisa bilang mas ini pegawai warung yang sedang makan,” kata pengelola warung makan. Trik yang beda lagi.
PPKM darurat telah berakhir, tetapi diteruskan PPKM level 4. Ada salah satu pengenduran kebijakan, yakni boleh makan di tempat maksimal 20 menit. Kompas kembali menguji apakah kebijakan itu efektif? Jawabannya, tidak.
Minggu (8/8/2021) malam, di sela bersepeda, Kompas mampir ke salah satu dari deretan warung tenda kuliner bahari (seafood) di Gayungsari. Yang mengejutkan, warung itu penuh pengunjung. Karena merasa masih ngeri berdekatan dengan orang lain sekaligus menekan risiko penularan Covid-19, Kompas memilih berdiri sambil menunggu pesanan datang.
Semenit, dua menit, setengah jam, bahkan satu jam, situasi warung yang penuh tidak juga sepi. Makanan minuman yang dipesan akhirnya dibungkus untuk dinikmati di rumah.
Baca juga : Di Surabaya, Berbagai Bantuan untuk Warga Terdampak Covid-19 Terus Mengalir
Keesokan harinya, makanan dan minuman dibeli dari restoran yang sedang promosi atau banting harga. Paket makanan minuman nasi dengan lauk gurami goreng tepung, saus asam manis, sedikit mi goreng, dan air minum dalam kemasan gelas yang biasanya dijual Rp 30.000 didiskon menjadi Rp 18.000. ”Kami belum berani buka, takut ditegur petugas. Kalau buka, mustahil konsumen mengatur waktu makan maksimal 20 menit,” ujar pegawai restoran.
Di satu sisi, terlihat ketidakadilan. Sebagian pengelola usaha kuliner relatif leluasa beroperasi didatangi konsumen yang abai protokol kesehatan. Di sisi lain, sebagian usaha patuh meski harus terluka. Tidak sedikit pengusaha restoran yang terpaksa merumahkan atau memberhentikan pegawai, bahkan menjual aset karena situasi tidak kondusif untuk kelanjutan usaha.
”Situasi memang tidak kondusif karena kebijakan yang menurut kami tidak masuk akal untuk dilaksanakan dan diskriminatif,” ujar Ketua Perhimpunan Hotel dan Restoran (PHRI) Jatim Dwi Cahyono. Kenapa diskriminatif? Jaringan restoran lebih kentara dan lebih mudah diawasi daripada pengelola kuliner di warung tenda atau gerobak.
Akhirnya, pengelola restoran atau kedai besar terpaksa patuh dengan hanya melayani pembelian dibawa pergi. Di warung tenda atau gerobak sulit diawasi karena jumlahnya yang begitu banyak. Penertiban terhadap usaha mikro, kecil, dan menengah terkadang memang membuahkan perlawanan fisik dan sosial dari masyarakat.
Serba sulit
Di toko obat, masyarakat terpaksa bersaing mendapatkan kebutuhannya. Rata-rata harga obat, vitamin, cairan penyanitasi, dan masker naik setidaknya dua kali lipat dari sebelum pandemi. Itu pun ketersediaannya belum terjamin. Obat-obat vital, antara lain Ivermectin yang katanya harus dibeli dengan resep tertentu, ternyata masih bisa didapat secara terbatas, kongkalikong dan sembunyi-sembunyi. Mencari obat seperti di film-film bertema peredaran narkotika. Selain mahal, juga ilegal.
Menurut Kepala Kantor Wilayah IV Komisi Pengawas Persaingan Usaha Dendy Sutrisno, di Jatim masih ditemukan penjualan 11 jenis obat terapi Covid-19 dan tabung oksigen yang melampaui harga eceran tertinggi (HET).
Baca juga : Polda Jatim Awasi Distribusi Obat Terapi Covid-19 dan Tabung Oksigen
”Dari pemantauan kami, masyarakat kesulitan mendapatkan obat-obatan terapi Covid-19 di apotek atau jika ada dijual mahal dan merek lain,” ujar Dendy. Misalnya, Favipiravir 200 mg per tablet yang seharusnya hanya Rp 22.500, tetapi tidak tersedia atau ditawarkan dengan merek Avegan 200 mg senilai Rp 68.000-Rp 77.000 per tablet atau tiga kali lipatnya.
Kesulitan juga dialami masyarakat yang membutuhkan oksigen. Tabung ukuran 1 meter kubik yang sebelumnya berharga maksimal Rp 800.000 per unit menjadi Rp 2,1 juta atau hampir tiga kali lipat. Ketersediaan tabung masih menjadi kendala. Namun, untuk pengisiannya, di Jatim telah disediakan empat lokasi oleh pemerintah, yakni di Surabaya, Sidoarjo, Gresik, dan Malang. Pengisian oksigen di sana secara cuma-cuma, tetapi masyarakat harus mendaftar dalam jaringan atau menghubungi nomor tertentu.
Gubernur Jatim Khofifah Indar Parawansa mengatakan, situasi pandemi menyulitkan segala sektor kehidupan. Aparatur dan masyarakat punya tanggung jawab bersama dalam penanganan yang sejauh ini belum jelas kapan pandemi berakhir atau mereda.
”Untuk penyediaan barang-barang kebutuhan vital dan pokok, kami berkoordinasi dengan Polri dan TNI agar menekan potensi pelanggaran,” katanya.
Menurut Guru Besar Sosiologi Universitas Airlangga Bagong Suyanto, kohesi sosial menjadi satu-satunya modal penting bagi warga dan aparatur untuk bersama-sama menangani pandemi. Kebijakan apa pun dalam rangka penanganan pandemi, di sisi lain sepatutnya meredam sekecil mungkin pukulan dampak buruk terhadap penghidupan masyarakat.
”Ketokohan juga menjadi penting agar masyarakat tetap memiliki pegangan,” kata Bagong. Pejabat harus memberikan contoh baik dengan menerapkan protokol kesehatan secara disiplin dan mau mengakui jika keliru dan segera berbenah. Masyarakat perlu terus didekati meski tanpa mengabaikan protokol kesehatan untuk kepentingan sosialisasi program percepatan penanganan pandemi, antara lain tes, telusur, tangani (3T) dan vaksinasi.
Pandemi diprediksi masih akan berlangsung lama. Entah sampai kapan kebijakan semacam PPKM akan diperpanjang. Sampai kapan pula mencuci kendaraan, makan di warung atau restoran masih dibatasi.
Baca juga : Berbagai Pihak Bergerak Membantu Penanganan Pandemi