Dialek Medan kadang bikin pusing pendatang. Ada yang kesulitan mencari SPBU karena di Medan disebut galon minyak. Anak Medan sendiri kadang bingung di daerah lain ketika mencari ”doorsmeer” untuk mencuci keretanya.
Oleh
NIKSON SINAGA/AUFRIDA WISMI WARASTRI
·4 menit baca
Ribuan istilah dalam ragam lisan tumbuh di Medan menghasilkan budaya berbahasa baru ala Medan yang unik. hasil interaksi warga yang multietnis beratus tahun. Bukan bahasa kaleng-kaleng alias tidak bermutu.
”Entah hapa-hapa aja kamu, jangan menyebar berita sembarangan”, sapaan itu menjadi pembuka siaran program ”Pagi Berisik” di Radio Visi FM, Medan, yang dibawakan oleh Atto Hiria bersama Dicky Naibaho, Jumat (13/8/2021) pagi. Artinya, lebih kurang ajakan untuk tidak menyebar hoaks.
Atto langsung berdialog dalam dialek Medan memberitakan perpanjangan penerapan pembatasan kegiatan masyarakat level 4 di Kota Medan kepada pendengarnya. ”Emang berlahan-lahan, tapi satu bulan juga, Wak,” kata Dicky menimpali Atto. Kata Wak yang diucapkan Dicky adalah panggilan akrab teman khas Medan.
Sorenya, ada juga program cakap-cakap khas Medan dalam program ”Kedan”. Kedan dalam bahasa Medan artinya teman. Ada interaksi antara penyiar dan pendengarnya dalam bahasa sehari-hari. ”Kalau pakai bahasa Medan, banyak orang yang paham. Paling bagus dan mudah dimengerti,” kata Atto.
Berkembang dengan aneka suku di dalamnya, warga Medan memunculkan istilah-istilah baru yang tumbuh di kedai-kedai kopi, kafe, pasar tradisonal, media arus utama. media sosial, hingga kampus.
Onces itu badannya berselemak lumpur karena kereta yang ia naiki masuk ke sawah, artinya remaja tanggung itu badannya berlepotan lumpur karena sepeda motor yang ia naiki masuk ke sawah. Sampai rumah, dia direpeti mamaknya (Sampai rumah ia diomeli ibunya).
Di Medan tidak ada etnis yang mendominasi sehingga semuanya membaur membentuk kultur baru.
Istilah-istulah itu bahkan kini semakin banyak disablon dalam kaus khas Medan, termasuk di Tauko Medan yang berdiri sejak 2006. ”Aku enggak tahu kali soal cakap anak Medan ini, Bang. Awak cuman tahu sikit-sikit ajanya,” kata pendiri toko kaus khas Medan Tauko Medan, Fathraria.
Namun, Fathraria menggunakan kaus bertuliskan kata ”Jaga jarak, Lae Latteung”. Kaus menjadi media kampanye untuk jaga jarak di tengah pandemi Covid-19.
Lae artinya abang atau bung. Sementara latteung adalah umpatan yang diserap dari bahasa Batak yang sangat sering terdengar dalam percakapan sehari-hari yang artinya orang yang tidak berguna. Padahal, sejatinya latteung adalah nama buah-buahan keluarga terong yang tidak bisa dikonsumsi. Adapun Tauko Medan sendiri berarti ”Tau kau Medan”.
Acap kali, anak Medan pun tak tahu kalau bahasa yang digunakannya adalah bahasa khas Medan. Anak Medan yang pergi ke luar daerah juga sering sekali bingung karena lawan bicaranya tidak tahu apa yang dimaksud.
Kepala Bidang Pengelolaan Informasi Publik Dinas Komunikasi dan Informatika Sumatera Utara Harvina Zuhra bahkan mengingat bagaimana peserta pelatihan yang ia ikuti bingung dirinya mengunakan kata ”berondok” ketika menceritakan sebuah peristiwa. Penerjemah, karena acara diikuti orang asing, pun bingung.
”Waktu itu teman-teman saya dari Aceh dan Pekanbaru pun tidak tahu,” katanya. Dia baru sadar kalau kata berondok adalah istilah Medan yang artinya sembunyi.
Tak jarang anak Medan yang berada di kota lain pun kesulitan mencari doorsmeer atau sering bingung membedakan kereta sebagai sepeda motor atau kereta api. Mereka sering menggunakan istilah yang mereka sendiri lupa itu hanya dimengerti di Medan.
Situasi itu juga membingungkan orang yang pertama kali datang ke Medan. Kepala Balai Bahasa Sumatera Utara Maryanto, misalnya. Ia terheran-heran. ”Kok, ada anak ketabrak kereta di pasar. Saya bingung. Ternyata kereta itu artinya sepeda motor dan pasar itu artinya jalan,” kata Maryanto sambil tertawa.
Sementara seorang wartawan dari Jakarta kebingungan ketika bertanya di mana stasiun pengisian bahan bakar minyak (SPBU) kepada warga karena orang yang ditanya bingung. Di Medan, warga menyebutnya SPBU sebagai galon minyak.
Sebagai ahli bahasa, Maryanto sangat memahami, interaksi beragam suku di Medan dalam waktu yang lama membentuk ragam bahasa lisan khas Medan. Namun, semua tetap berakar dari bahasa Indonesia. Balai bahasa pun membuat Kamus Bahasa Medan.
Wartawan senior purnatugas di Medan sekaligus pembuat Kamus Cakap Medan Choking, Susilo Sakeh, mengatakan, variasi dialek Medan memang sangat kaya. ”Ada ribuan kata yang sebagian besar hanya anak Medan yang tahu dan menggunakannya dalam percakapan sehari-hari. Kosakata itu terbentuk dari serapan bahasa daerah, bahasa asing, perubahan bunyi, dan beberapa mengalami perubahan makna,” kata Choking.
Keragaman etnis
Istilah-istilah itu muncul dalam masa pembauran beragam etnik selama ratusan tahun yang dipengaruhi penduduk asli, yakni etnis Melayu di hilir dan Karo di hulu. Bahasanya bercampur dengan etnis lokal Sumut, seperti Toba, Mandailing, Simalungun, Nias, dan Pakpak, berbaur dengan pendatang luar daerah, seperti Jawa, Minang, Aceh, bahkan dengan etnis luar negeri seperti China, Tamil, Arab, Belanda, dan Inggris.
Pengajar di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara, Budi Agustono, mengatakan, Kota Medan berbeda dengan kota lainnya di Indonesia. Di Medan tidak ada etnis yang mendominasi sehingga semuanya membaur membentuk kultur baru. ”Ini yang membuat pembentukan kosakata yang sangat kaya terjadi di Kota Medan. Ini tidak terjadi di kota lain yang biasanya didominasi suku tertentu,” katanya.
Dalam prosesnya, dialek Medan pun mampu menciptakan nilai universalisme dan menjadi bahasa pemersatu di tengah masyarakatnya di kota itu.