Pelanggaran Implementasi SVLK Masih Ditemukan di Lima Provinsi
Pada lima provinsi di Indonesia masih ditemukan adanya pelanggaran dalam implementasi sistem verifikasi legalitas kayu atau SVLK. Untuk itu, pengawasan terhadap implementasi SVLK di lapangan harus lebih diperkuat.
Oleh
JUMARTO YULIANUS
·3 menit baca
SURABAYA, KOMPAS — Hasil pemantauan masyarakat adat dan masyarakat lokal pada lima provinsi di Indonesia ditemukan adanya beberapa pelanggaran dalam implementasi sistem verifikasi legalitas kayu atau SVLK. Untuk itu, pengawasan terhadap implementasi SVLK di lapangan perlu diperkuat.
Pusat Pendidikan Lingkungan Hidup (PPLH) Mangkubumi dan Jaringan Pemantau Independen Kehutanan (JPIK) pada periode 2020-2021 mengorganisasi masyarakat adat/lokal di Kalimantan Tengah, Maluku Utara, Papua Barat, Jawa Timur, dan Jawa Tengah untuk memantau pelaksanaan SVLK di lima provinsi tersebut.
”Di lapangan masih terjadi penyimpangan atau pelanggaran ketentuan SVLK dan pelanggaran kehutanan dari hulu, hilir, sampai ekspor,” kata Juru Bicara PPLH Mangkubumi Agus Budi Purwanto dalam konferensi pers yang digelar secara luring di Surabaya dan diikuti secara daring dari Banjarmasin, Selasa (14/9/2021) sore.
Di hulu, yakni di Kalimantan Tengah, Maluku Utara, dan Papua Barat, ungkap Agus, pemegang konsesi dan industri primer bekerja sama melakukan praktik pembalakan liar di luar konsesi. Dua ilegalitas (kayu dan dokumen) ”disulap” menjadi legal dan tersertifikasi atau memiliki sertifikat legalitas kayu (S-LK). Ada juga izin pemanfaatan kayu (IPK) berkedok kelompok tani yang melakukan pembalakan liar di luar areal izin, tetapi diklaim berasal dari lokasi izin.
Di lapangan masih terjadi penyimpangan atau pelanggaran ketentuan SVLK dan pelanggaran kehutanan dari hulu, hilir, sampai ekspor.
Di hilir, Surabaya dan Gresik merupakan daerah tujuan kayu ilegal dari daerah-daerah di luar Jawa, yakni dari Papua, Maluku, dan Kalimantan. Penindakan hukum kebanyakan dilakukan di pelabuhan kedatangan dan jarang pada pelabuhan keberangkatan. Selain itu, pembeli kayu dengan transaksi legal sulit dijerat hukum layaknya pemasok (supplier) yang melakukan pembalakan liar.
Berikutnya, pada izin perusahaan ekspor di Semarang ditemukan telah melakukan penyalahgunaan dengan menjual dokumen sertifikat legalitas kayu (V-Legal) kepada pelaku usaha yang tidak memiliki S-LK. Praktik penyalahgunaan V-Legal itu diduga melibatkan puluhan perusahaan eksportir nonprodusen.
”Pemalsuan dokumen menjadi modus yang paling sering dilakukan oleh pelaku kejahatan kehutanan. Praktik ini kalau dibiarkan akan merusak kredibilitas SVLK yang selama ini telah dipromosikan ke tingkat internasional sebagai sistem untuk mencegah pembalakan liar dan peredaran kayu ilegal,” kata Agus.
Dilaporkan
Juru Kampanye JPIK Deden Pramudiana mengatakan, 80 persen dari temuan pemantauan telah dilaporkan kepada penegak hukum maupun kepada Lembaga Verifikasi Legalitas Kayu (LVLK). ”Hampir semua sudah ditindaklanjuti melalui pembekuan dan pencabutan S-LK maupun penyidikan dan penindakan oleh penegak hukum,” ujarnya.
Menurut Deden, ada 32 perusahaan kayu yang dipantau pada periode 2020-2021. Pemantauan itu menghasilkan 34 laporan kepada pihak terkait. Rinciannya, 11 perusahaan dilaporkan ke LVLK atas temuan pelanggaran SVLK, 7 perusahaan dilaporkan ke penegak hukum atas indikasi pelanggaran tindak pidana kehutanan, 2 perusahaan dilaporkan ke Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) karena isu pencemaran lingkungan, dan 14 perusahaan dilaporkan ke Direktorat Jenderal Pengelolaan Hutan Produksi Lestari (PHPL) Kementerian LHK karena terindikasi melakukan pelanggaran ketentuan ekspor yang tidak ditindak oleh LVLK.
”Harus ada sanksi tegas yang berefek jera bagi para pelaku kejahatan kehutanan. Sanksi juga perlu diberikan kepada lembaga sertifikasi (LS) yang tidak menjalankan prosedur,” katanya.
Perkuat pengawasan
Selain itu, JPIK juga mendesak Kementerian LHK melalui Unit Pelaksana Teknis (UPT) Kehutanan ataupun Dinas Kehutanan setempat untuk memperketat pengawasan terhadap pelaksanaan SVLK. ”Pengawasan harus lebih diperkuat supaya kredibilitas SVLK dapat dipertahankan,” ujar Deden.
Bruno Cammaert, Koordinator Program FAO-EU FLEGT (Forest Law Enforcement, Governance and Trade) Regional Asia dan Pasifik, mengatakan, pemantau independen merupakan bagian integral dari SVLK di Indonesia. Pemantau independen telah bekerja sama dengan Kementerian LHK untuk mengidentifikasi praktik ilegal dalam usaha kayu dan kehutanan serta mendukung tindakan penegakan hukum atas praktik ilegal tersebut.
”Pemantau independen telah berkontribusi pada pengakuan internasional terhadap SVLK dan membantu menjaga integritasnya. Ini memberikan jalan bagi masyarakat sipil untuk memainkan peran formal dalam tata kelola hutan,” kata Cammaert.