Jelang Musim Tanam, Masyarakat Adat Pubabu Kesulitan Lahan Olahan
Hingga sekarang, 30 keluarga dari masyarakat adat Pubabu di Kecamatan Amanuban Selatan, Kabupaten Timor Tengah Selatan, Nusa Tenggara Timur, masih kesulitan mendapatkan lahan olahan dan tempat tinggal.
SOE, KOMPAS — Sebanyak 30 keluarga masyarakat adat Pubabu di Kecamatan Amanuban Selatan, Kabupaten Timor Tengah Selatan, Nusa Tenggara Timur, kesulitan mendapatkan lahan olahan dan tempat tinggal menjelang musim tanam. Pemerintah Provinsi NTT yang menjanjikan kesempatan mengelola lahan untuk kesejahteraan masyarakat masih sebatas wacana.
Koordinator Masyarakat Adat Pubabu Niko Manao, dihubungi di Pubabu, 25 kilometer dari Soe, Senin (4/10/2021), mengatakan, sudah satu tahun, 30 keluarga masyarakat Pubabu digusur dari rumah tinggal dan tanah adat mereka oleh Pemprov.
Kini, mereka masih mendiami lokasi itu, tetapi bukan di rumah tinggal seperti sebelumnya. Rumah tinggal yang dibangun Pemprov NTT berukuran 4 meter x 5 meter, dengan ketinggian 2-3 meter, dihuni lebih dari tujuh orang.
Menurut dia, sekarang warga tak lagi memiliki rumah tinggal dan lahan usaha. Menjelang musim hujan tahun ini, mereka pun semakin sulit mendapatkan tempat tinggal, bahkan sekadar untuk berteduh, termasuk belum adanya lahan usaha.
”Sementara kami gabung tinggal dengan 12 keluarga yang telah menyatakan sikap mendukung program Pemprov NTT. Kelompok ini sudah mendapat lahan usaha dari Pemprov berukuran 20 meter x 40 meter,” kata Manao.
Mereka yang terdiri atas 12 keluarga mendukung Pemprov NTT setelah mendapat teror dan intimidasi oleh satuan polisi pamong praja dan perwakilan Pemprov bersama Pemkab Timor Tengah Selatan. Bahkan sempat terjadi perkelahian antara warga sekitar dan masyarakat adat. Untuk setiap keluarga, Pemprov NTT memberi mereka rumah tinggal berukuran 4 meter x 5 meter dan lahan olahan 20 meter x 40 meter.
Sementara kami gabung tinggal dengan 12 keluarga yang telah menyatakan sikap mendukung program Pemprov NTT. Kelompok ini sudah mendapat lahan usaha berukuran 20 meter x 40 meter.
Rumah tinggal tersebut memiliki ketinggian 2-3 meter, berdinding bebak (batang pelepah lontar), beratap seng, dan berlantai semen. Pada siang hari, ruangan di rumah itu sangat panas sehingga semua penghuni rumah memilih bernaung di bawah pohon terdekat. Saat hujan, air masuk ke dalam.
Baca juga : Lagi, Keributan Terjadi antara Masyarakat Adat Pubabu dan Pemprov NTT
Posisi atap miring, bagian terendah 2 meter, dan tertinggi 3 meter. Tempat tidur tetap berada di lantai. ”Kalau diletakkan tempat tidur berukuran 1 meter, misalnya, ketinggian rumah sisa 2 meter. Itu makin terasa panas. Tidur dan bangun pun sangat sempit,” ujarnya.
Urusan lahan itu sudah selesai setelah tokoh adat menyerahkan kepada Pemerintah Provinsi.
Manoa mengatakan, dari 30 keluarga yang rumahnya sudah digusur, sebagian memilih tinggal di rumah bekas reruntuhan. Mereka bernaung di bawah atap ilalang yang rebah di tanah, tetapi masih utuh. Sebagian tinggal di bawah pohon dan ada yang bergabung dengan 12 keluarga yang sudah mendapatkan rumah.
Tidak tega
Mereka yang memilih tergabung dalam 12 keluarga ini tidak tega jika rekan-rekan mereka sebanyak 30 keluarga tersebut tidak punya rumah tetap. Mereka pun terpaksa menampung sebagian dari 30 keluarga itu. Mereka tidur berimpitan. Ada pula yang memilih tidur di luar rumah, di bawah rimbunan pohon di dekat rumah. Pada musim kemarau seperti sekarang, mereka memasak di luar rumah. Perkakas dapur pun disimpan di luar rumah.
Sebagian dari mereka berusaha menancapkan tiang, memasang atap seng tambahan ke sisi bangunan untuk menyimpan perkakas dapur, menggantung pakaian, dan memasak. Mereka yang kesulitan mendapatkan uang membiarkan bangunan berukuran 4 meter x 5 meter persegi itu seperti apa adanya.
Baca juga : Tergusur dari Hutan Adat Pubabu, Masyarakat Besipae Tinggal di Bawah Pohon
Manao bersama istri dan empat anaknya bergabung di salah satu dari 12 keluarga itu. Rumah Manao digusur Satpol PP Timor Tengah Selatan dan Pemprov NTT, Agustus 2020. Manao dan 29 keluarga lain tidak mendapat rumah tinggal sampai hari ini karena menolak kebijakan Pemprov NTT.
Saat ini, keluarga yang belum mendapat jatah rumah dan lahan usaha membiayai hidup dari menjual kayu bakar di sisi jalan yang menghubungkan Kabupaten Malaka-Kota Kupang. Satu ikat kayu bakar seberat 5 kilogram dijual dengan harga Rp 10.000. Ada pula yang menjual bebak untuk dinding rumah dan tali dari batang gewang untuk mengikat hewan peliharaan.
Air bersih pun sangat sulit didapat. Sebelumnya, mereka masih memiliki satu sumber mata air di sekitar hutan adat. Meski hanya tetes dari dalam batu wadas, sumber mata air itu masih bisa membantu warga untuk keperluan minum dan memasak ada puncak kemarau. Sekarang, air itu sudah mengering tuntas setelah lahan itu diambil alih Pemprov. ”Air kami beli. Satu jeriken 10 liter dihargai Rp 2.000, hanya untuk minum dan memasak,” katanya.
Kini, lahan seluas 6.000 hektar (ha) itu sudah terbakar, gundul, tidak seperti saat dikuasai masyarakat adat. Lahan yang dikuasai Pemprov seharusnya 3.780 ha, tetapi dalam peta pengembangan kawasan oleh Pemprov diperluas menjadi 6.000 ha.
Saat pengalihan lahan ke tangan Pemprov, Jumat (21/8/2020), ada janji segera menyejahterakan masyarakat sekitar, termasuk masyarakat adat Pubabu yang bergabung mendukung penyerahan tanah itu. Di atas lahan seluas 6.000 ha itu ada usaha pengembangan sapi, budidaya porang dan kelor, pembangunan sumur bor, dan budidaya pakan ternak. Ini demi kesejahteraan masyarakat setempat.
Sudah diolah
Menurut Sekretaris Daerah NTT Ben Polo Maing, soal lahan di Besipae atau Pubabu itu sudah diserahkan masyarakat kepada Pemprov NTT sejak Agustus 2020 untuk dikembangkan. ”Urusan lahan itu sudah selesai setelah tokoh adat menyerahkan kepada Pemprov,” katanya.
Bahkan, Pemprov NTT sudah menanam pakan ternak. terutama memasuki musim hujan 2021/2022, kemudian akan dilanjutkan dengan menanam kelor dan porang. Wilayah itu sangat gersang. Mengolah kawasan itu menjadi lahan pertanian dan peternakan butuh perencanaan yang matang. ”Intinya, kami sudah dan sedang kelola lahan itu bersama masyarakat setempat,” katanya.
Baca juga : Penggusuran Lahan Masyarakat Adat Pubabu
Bahkan, menurut Asisten Bidang Ekonomi dan Pembangunan SekretariatDaerah NTT Marius Ardu Jelamu mengatakan, kawasan Bersipae atau Pubabu akan menjadi pusat pertumbuhan ekonomi 10-30 tahun ke depan. ”Setiap gagasan besar butuh proses. Jangan dilihat situasi dan kondisi hari ini. Di lokasi itu dikembangkan pertanian dan peternakan, dan akan menjadi destinasi baru, apalagi lokasi itu persis di pinggir jalan nasional,” ujarnya.
Ke depan, di kawasan itu bakal ada pembangunan warung makan, restoran, dan homestay (penginapan). Selain itu, juga akan ada kebun pertanian sayur dan buah-buahan yang segar, termasuk peternakan sapi, babi, dan ayam. ”Orang akan datang ke sana untuk berekreasi, berbelanja, sekaligus menginap,” kata Jelamu.
Ia mencontohkan Pulau Semau di Kabupaten Kupang. Sebelumnya, pulau itu tandus dan gersang. Setelah ditata oleh Gubernur Viktor Laiskodat, wilayah itu menjadi pusat pertumbuhan ekonomi baru. Kawasan itu menjadi pusat destinasi wisata baru. Ada penginapan, restoran, warung makan, serta pusat kegiatan usaha mikro, kecil, dan menengah dari masyarakat lokal.
Akan tetapi, sudah satu tahun berlalu belum ada aksi konkret di atas lahan tersebut. Pemprov hanya membangun 12 rumah berukuran 4 meter x 5 meter dan menyerahkan lahan usaha seluas 20 meter x 40 meter masing-masing bagi setiap keluarga yang telah mendukung program Pemprov dan menyerahkan lahan itu. Sementara keluarga yang menolak dan masih bertahan sampai hari ini tidak mendapatkan lahan usaha.
Pejuang lingkungan hidup dari Kecamatan Moto Utara, Timor Tengah Selatan, Aleta Baun, mengatakan, masyarakat adat Pubabu yang sebelumnya mendiami lokasi itu, memanfaatkan sumber-sumber alam untuk hidup, menikmati air bersih, dan menjaga lingkungan sekitar kini makin terpuruk. Mereka semakin terbuang dari negerinya sendiri.
Janji pemerintah akan mengubah nasib masyarakat masih sebatas janji dan mungkin tetap menjadi janji abadi. Lahan itu memang dulu dikelola Australia bersama Pemprov NTT untuk pengembangan sapi, tepatnya pada 1982-2006. Semestinya setelah Australia meninggalkan kawasan itu pada 2007, lahan seluas 3.000-6.000 ha itu dikembalikan kepada masyarakat. Namun malah sebaliknya, lahan tetap dikuasai Pemprov.
Baca juga : Belasan Ribu Hektar Lahan di NTT Terancam Gagal Panen