Dari Surakarta Atlet Difabel Mendunia
Sejak lama, Kota Surakarta menjadi kawah candradimuka para atlet difabel Indonesia. Keramahan warga dan wajah kota ikut mendukung mereka berlatih demi satu ambisi, menggapai prestasi dunia.
Mimpi Leani Ratri Oktilla (30) menjadi pebulutangkis berprestasi nyaris sirna terenggut kecelakaan motor pada 2011. Fisiknya mengalami gangguan struktur yang membuat kaki kiri lebih pendek tujuh sentimeter. Di Kota Surakarta, Jawa Tengah, ia merajut lagi asa hingga akhirnya berhasil berdiri di podium dunia.
Setelah ikhlas menerima kondisi fisiknya, dua tahun setelah insiden kecelakaan, Ratri memutuskan beralih dari atlet umum menjadi atlet paralimpiade pada 2013. Mengikuti pusat pelatihan di Surakarta, latihan dua kali sehari disantapnya. Letih, keringat, dan rasa sakit jadi pelecut semangat.
Kegigihan Ratri berlatih salah satunya dipetik pada Paralimpiade Tokyo 2020. Ia meraih dua emas dan satu perak dalam cabang olahraga yang ditekuninya sejak berusia tujuh tahun. Prestasi lainnya dalam ajang internasional, yakni 2 emas dan 1 perak di Kejuaraan Dunia Basel 2019; kemudian 2 emas dan 1 perak pada Asian Paragames Jakarta 2018; dan juga 1 emas, 1 perak, dan 1 perunggu pada Kejuaraan Dunia Ulsan 2017.
Ratri tak memungkiri, keramahan Kota Surakarta terhadap difabel menjadi salah satu hal yang membantunya meraih rangkaian prestasi itu. Ia tak perlu lagi berurusan dengan pandangan-pandangan yang penuh penghakiman dari warga.
“Kota yang ramah difabel. Kota yang sangat nyaman. Itu mungkin jadi alasan kenapa saya betah di Surakarta. Mungkin, ini menjadi ‘rumah’ kedua selain kampung halaman saya,” kata atlet asal Riau itu saat ditemui di Kota Surakarta, Jawa Tengah, Kamis (7/10/2021).
Sebagai bentuk terima kasih terhadap kota tersebut, Ratri punya cita-cita membuat gedung olahraga khusus atlet difabel. Rencananya, sebagian bonus dari pemerintah yang diperolehnya sebesar Rp 13,5 miliar, akan digunakan untuk keperluan tersebut.
Baca juga : Pelita Kesetaraan Difabel Surakarta
“Kota Surakarta menjadi saksi perjuangan saya. Di mana saya mulai dari nol lagi untuk berkiprah di paralimpiade. Di mana saya sempat menyewa GOR sendiri, entah privat atau didampingi pelatih. Jerih payah saya kan di kota ini,” tutur Ratri.
Selain itu, Ratri ingin lebih banyak berkontribusi untuk pengembangan olahraga difabel lewat gedung olahraga itu. Ia merasakan sendiri, para atlet pengguna kursi roda sesekali masih kesulitan menyewa gedung berlatih pribadi. Padahal, para atlet difabel punya semangat yang tinggi dalam berlatih. Seringkali mereka berinisiatif menambah jam latihan sendiri. Kegigihan itu yang selanjutnya ikut memotivasi Ratri untuk lebih pantang menyerah dalam menggapai mimpi.
Ramah difabel
Achmad Zein (25), sprinter asal Salatiga, juga termasuk atlet difabel yang merasakan keramahan Kota Surakarta. Sebagai seorang atlet difabel, ia tak pernah dipandang sebelah mata oleh masyarakat di kota tersebut. Secara jujur, ia mengaku hal ini jauh berbeda dengan situasi di kampung halamannya.
“Di tempat asal saya, difabel seperti saya ini kalau jalan di tempat umum itu dilihatinnya dari atas sampai bawah. Beda dengan di Surakarta. Kami yang difabel ini dianggap sama saja seperti yang lain,” kata Zein, yang menjadi difabel fisik sejak lahir.
Zein menilai, fasilitas publik yang disediakan pemerintah kota pun sudah memperhatikan penyandang disabilitas. Setidaknya bagi para pengguna kursi roda dan penyandang difabel netra. Jalur miring (ramp) dan jalan pemandu (guiding block) menjadi hal yang biasa dijumpai di tempat-tempat publik.
Baca juga : Komitmen Kesetaraaan untuk Olahraga Disabilitas
“Sarana dan prasarananya ramah untuk difabel. Akses untuk teman-teman difabel seperti dipermudah. Orang-orangnya juga ramah dengan difabel. Ini sedikit banyak memberi kenyamanan bagi kami yang berimbas pada prestasi,” kata atlet jangkung yang sempat meraih medali perunggu pada ASEAN Paragames di Singapura, pada 2015 tersebut.
Keramahan Surakarta bagi atlet difabel bukan tanpa alasan. Kota tersebut merupakan tempat lahirnya olahraga difabel di Indonesia. Jejaknya bermula dari ajakan kepada Prof Dr R Soeharso, pendiri Balai Besar Rehabilitasi Sosial Bina Daksa, untuk mengikuti ajang eksibisi olahraga difabel di Belanda, pada 1962.
“Saat itu, dikirimlah sejumlah atlet. Pak Soeharso berangkat ke sana bersama Pak Pairan Manurung. Sepulang dari ajang tersebut, dibentuklah cikal bakal NPC (National Paralympic Committee) Indonesia yang pertama kali bernama YPOC (Yayasan Pembina Olahraga Cacat),” kata Ketua Umum NPC Indonesia, Senny Marbun.
Sebelum ikut membidani YPOC, Soeharso sudah lebih dahulu mendirikan Balai Besar Rehabilitasi Sosial Bina Daksa, yang semula bernama Rehabilitation Centrum. Awalnya, tempat itu didirikan untuk merawat korban perang yang harus menjadi difabel karena kehilangan anggota tubuhnya.
Di sana, mereka diberikan layanan medis, penguatan mental, dan pelatihan keterampilan. Salah satu kegiatan yang juga diberikan adalah olahraga untuk ajang sosialisasi dan membangun rasa percaya diri.
Untuk itu, di awal YPOC berdiri, banyak atlet difabel yang awalnya merupakan tentara korban perang. Bahkan, jumlahnya hampir 50 persen. Atlet yang dibina dari lembaga itu ikut serta dalam kejuaraan baik tingkat daerah, nasional, hingga Asia Pasifik. (Kompas, 3/10/2018)
Baca juga : Paralimpiade, Titik Balik Peduli Disabilitas
Mereka diberikan layanan medis, penguatan mental, dan pelatihan keterampilan. Salah satu kegiatan yang juga diberikan adalah olahraga untuk ajang sosialisasi dan membangun rasa percaya diri.
Sekali waktu, NPC Indonesia sempat diminta berpindah markas ke Ibu Kota. Namun, permintaan itu tak terealisasi. Gubernur Jawa Tengah periode 1998-2007 Mardiyanto ingin agar lembaga tersebut tetap bermarkas di Surakarta karena dinilai sudah menjadi aset dan ikon daerah.
Senny menilai, dengan tetap bertahan di Kota Surakarta, NPC Indonesia tetap lekat dengan jejak sejarahnya. Para atlet difabel tidak merasa terkucil menjalani kehidupan di kota tersebut. “Aksesibilitas dan cara masyarakat melihat difabel terbilang ramah. Angkutan umum juga disiapkan sesuai kebutuhan kita. Difabel atau tidak, sudah berbaur seperti biasa. Bagaimana tidak? Sudah sejak 1962 lembaga olahraga difabel berdiri di sini,” kata Senny.
Terus berpihak
Wali Kota Surakarta Gibran Rakabuming Raka mengaku sudah berkomitmen memberikan keberpihakan terhadap kelompok difabel. Dalam pembangunan kota, kata dia, kelompok difabel akan semakin sering dilibatkan. Tidak hanya dimintai saran, mereka juga akan diajak mengawasi langsung pembangunan di lapangan.
Pada 2019, publik Kota Surakarta sempat dihebohkan dengan pembuatan jalan pemandu yang ditata zig-zag, di Kecamatan Jebres. Desain jalan pemandu semacam itu dianggap sangat tidak ramah difabel. Setelah menuai berbagai kritik, Pemkot Solo akhirnya membongkar guiding block berbentuk zig-zag itu.
“Kami akan lebih melibatkan lagi teman-teman difabel dalam pembangunan. Jadi, tidak ada lagi kasus-kasus seperti itu. Kami akan mendorong teman-teman difabel untuk lebih terlibat dalam pembangunan kota ini,” ungkap Gibran.
Mengenai pelatihan bagi kaum difabel, Pelaksana tugas Kepala Dinas Ketenagakerjaan dan Perindustrian Agus Sutrisno menjelaskan, kegiatan-kegiatan semacam itu akan terus diperbanyak. Saat ini, baru dimulai satu pelatihan, yakni pelatihan barista.
“Akan kami perluas lagi jenis pelatihannya dan diperbanyak sasarannya. Kami pun tengah membuat unit layanan disabilitas dalam bidang ketenagakerjaan,” kata Agus.
Tonton juga : Medali Emas Paralimpiade, Penantian 41 Tahun
Dalam pembangunan kota, kelompok difabel akan semakin sering dilibatkan. Tidak hanya dimintai saran, mereka juga akan diajak mengawasi langsung pembangunan di lapangan. (Gibran Rakabuming Raka)
Di sisi lain, Agus melanjutkan, pemberian informasi dan penyaluran tenaga kerja difabel ke sejumlah perusahaan juga sudah kerap dilakukan. Meskipun diakui, jumlah penyerapannya belum tinggi. Tahun ini, baru 44 orang difabel yang sudah disalurkan ke sejumlah perusahaan, sedangkan yang masih menunggu 1.339 orang.
Tini Ismayati (45), penyandang difabel fisik mengaku, beberapa tahun lalu sempat disalurkan untuk bekerja di salah satu perusahaan tekstil di wilayah Surakarta Raya bersama sejumlah rekan difabel lain. Ia juga mengaku, perlakuan pemilik industri sangat ramah dan memahami kebutuhan khusus. Setelah tidak lagi bekerja di pabrik tekstil, Tini merintis usaha berjualan hasil bumi.
“Saya berharap, selain diberi keterampilan dan disalurkan untuk bekerja, mulai ada pelatihan wirausaha hingga bantuan modal bagi kaum difabel yang ingin merintis usaha,” ujar Tini yang juga mantan atlet balap kursi roda itu.
Meski belum sempurna, wajah ramah Surakarta terhadap para difabel terentang melintas masa. Mulai dari rehabilitasi, pemberian keterampilan, hingga menggembleng mereka menjadi atlet berkelas dunia.