Pemanfaatan bangunan-bangunan kuno menambah semarak peradaban di Kota Semarang. Ruang-ruang berstatus cagar budaya kini jadi tempat bercengkerama hingga bekerja. Nuansa romantis dengan fungsi modern jadi daya tarik.
Oleh
ADITYA PUTRA PERDANA
·5 menit baca
Kehidupan di Oudestad atau Kota Lama Semarang, Jawa Tengah, kembali berdetak. Restorasi bangunan kuno bergaya Eropa, seperti lorong waktu, bagi para pemburu romansa. Mari berhidang dan bercengkerama di pusat dagang era kolonial.
Aryan Nur Sasongko (28) dan kedua temannya melangkah keluar Tekodeko Koffiehuis di Kota Lama, Kamis (14/10/2021) sore. Sebelum membuka pintu menuju teras, mereka melangkah mengikuti deretan marmer kuno yang disusun menyerupai pola engklek. Itulah marmer tersisa dari bekas pabrik kusen pada 1930 tersebut.
Deretan kayu tebal yang sudah dicat ulang kokoh menopang lantai dua Tekodeko yang juga beralas kayu. Pada fasad bangunan, empat pilar putih menjulang setinggi 6 meter. Sejumlah ornamen menunjukkan bangunan bergaya indische empire.
”Di bagian dalam memang ada hiasan dan gambar dinding kekinian yang pas untuk anak muda. Tapi, bentuk asli bangunan tidak hilang. Seru, suasana masa lalu sangat terasa,” ujar Aryan.
Tekodeko, yang selesai dipugar dan mulai beroperasi pada 2015, menjadi saksi perubahan Kota Lama, setidaknya enam tahun terakhir. Dari lokasi kumuh, kusam, gelap, dan langganan rob, distrik ini bertransformasi menjadi destinasi wisata.
Penataan tak lepas dari revitalisasi kawasan, didukung Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat dengan biaya sekitar Rp 200 miliar. Tak cuma perbaikan jalan dan drainase, tetapi juga penambahan sejumlah sarana.
Seiring membaiknya prasarana, bangunan-bangunan mangkrak kembali dihidupkan. Kebanyakan berada di ruas utama, seperti Jalan Cendrawasih, Letjen Suprapto, Kepodang, Branjangan, Gelatik, dan Merak. Gedung-gedung itu dulunya kantor-kantor administrasi niaga berskala global, termasuk komoditas gula.
Dulu dihindari, kini dihampiri. Begitulah potret kawasan bersejarah yang sempat dikeliling benteng enam penjuru itu. Bangunan lawas sebagai latar foto menjadi daya tarik utama. Kian bertumbuhnya kafe, kedai, dan rumah makan jadi magnet bagi pengunjung, siang dan malam.
Seperti yang dirasakan Stefanus Fabian Aristanto (19) kala menikmati senja Kota Lama, Kamis (14/10/2021). ”Makin banyaknya tempat makan hingga kedai kopi bagus, sih. Yang harganya terjangkau juga ada. Jalan-jalan menikmati suasana kolonial kian lengkap,” kata warga Genuk itu.
Jessie Setiawati (31), pengelola Tekodeko, mengatakan, awal mula didirikannya Tekodeko diawali keprihatinannya akan kondisi Kota Lama. Dengan potensi bangunan bersejarah, tetapi minim tempat nongkrong. Bersama pemilik bangunan, ia dan dua rekannya berinisiastif menata hingga akhirnya mengelola kedai kopi.
Slogan ”Good place for coffee and socialize” diusung. ”Kami merasa komunitas-komunitas butuh tempat. Sejauh ini, banyak yang berkegiatan di sini," ujar Jessie, yang aktif menggelar kegiatan di Kota Lama sekitar satu dekade terakhir.
Ia senang makin banyak tempat usaha lain di kawasan seluas sekitar 40 hektar itu. Salah satu tantangan mengelola bangunan tua ialah pemeliharaan. ”Ada perlakuan khusus. Misalnya, dengan cat dinding biasa, bisa 2-3 kali dalam setahun. Namun, kini sudah ada cat khusus untuk bangunan kuno. Biayanya tiga kali lipat, tetapi bisa untuk setahun,” ujarnya.
Sekitar 120 meter ke arah barat, ada Spiegel Bar & Bistro milik Shita Devi Kusumawati (32). Pada 2012, ia membeli bangunan itu. Butuh tiga tahun perencanaan hingga akhirnya beroperasi pada 2015.
H Spiegel, toko serba ada yang menyediakan produk-produk dari Belanda, didirikan pada 1885 oleh Herman Spiegel. Sebelum mangkrak, bangunan ini dipakai kantor ekspor-impor dan gudang alat berat.
Shita mengaku, awalnya kondisi bangunan ini terbengkalai. Lusuh, kusam, dan tidak bernyawa. Namun, ia yakin kawasan Kota Lama potensial. Apalagi, di negara lain, kesadaran mengembalikan fungsi bangunan cagar budaya sudah menggeliat. Sekadar mengambil contoh terdekat, yakni Kota Melaka di Malaysia.
Apabila lantai satu digunakan untuk bar dan bistro, lantai dua Spiegel untuk kantor dan ruang privat berbagai kegiatan. Sejumlah kegiatan kreatif diberi ruang.
Sementara di Jalan Cendrawasih, sejak awal 2021 juga dibuka Marabunta Resto & Bar. Plafon dan pilar bergaya kuno jadi bagian autentik yang dipertahankan. Chase Alexander (34), pengelola Marabunta, mengatakan, dulu gedung itu adalah tempat pertunjukan opera dan teater. Kini, selain tempat makan, pertunjukan musik dan band tetap dipertahankan.
Jessie yang juga Sekretaris Asosiasi Masyarakat Mbangun Oudestad (AMBO), memaparkan, dari sekitar 116 gedung di kawasan Kota Lama, ada 60 gedung yang sudah tergabung. Belakangan, kian banyak investor menanamkan modal. Bahkan, sejumlah kantor dan gudang pindah, lalu gedungnya disewakan.
Tak hanya Kota Lama, pemanfaatan bangunan cagar budaya juga dilakukan di bangunan Rumah KS15 atau banyak disebut Rumah Abraham Fletterman, di Jalan Kiai Saleh. Rumah itu kini dikelola Yayasan Mardi Waluyo.
Bangunan bergaya Eropa tersebut awalnya milik arsitek Abraham Fletterman yang kemudian ditempati Maximillian van der Sluys Veer, kelahiran Belanda dan istrinya, Elly Kristanti. Pada 2013, bangunan dihibahkan ke Yayasan Mardi Waluyo, yang bergerak di bidang kesehatan ibu dan anak.
Rumah dengan tanah seluas 3.600 meter persegi yang selesai dipugar pada 2018 itu kini difungsikan sebagai tempat pertemuan, reuni, dan pesta pernikahan. Namun, orientasi pengelola tidak untuk mendapat keuntungan semata. ”Sekitar 20 persen untuk kegiatan sosial. Yayasan juga rutin menggelar kegiatan, seperti sunatan massal atau bantuan untuk bidan dan panti asuhan,” kata Dwi Prakoso, pengelola Rumah KS15.
Ketua Tim Ahli Cagar Budaya Kota Semarang Ufi Saraswati mengatakan, konservasi perlu diarahkan untuk kesejahteraan warga. Bangunan cagar budaya jangan jadi menara gading, tetapi dapat dimanfaatkan untuk menghidupi lingkungannya. ”Tiga pilar konservasi, yakni perlindungan, pengembangan, dan pemanfaatan. Namun, tetap ada rambu-rambu yang mesti ditaati,” kata Ufi, yang juga dosen Prodi Ilmu Sejarah Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Semarang.
Peraih Nobel Sastra 1954, Ernest Hemingway, pernah berkata, ”Memory is hunger.” Kenangan seperti halnya rasa lapar. Ia akan selalu ada dalam perasaan terdalam seseorang dan hanya berubah intensitas ataupun maknanya. Dengan sentuhan yang relevan bagi kebutuhan kekinian, daya tarik bangunan-bangunan kuno tak akan pudar sepanjang zaman.