Ojek sepeda motor adalah kata kunci sekaligus simpul ekonomi dan mobilitas orang dan barang di Seko, Luwu Utara, Sulawesi Selatan. Belum sekalipun aspal menyentuh jalan di wilayah ini.
Oleh
Reny Sri Ayu
·7 menit baca
Seko, sebuah kecamatan terpencil di Kabupaten Luwu Utara, Sulawesi Selatan, sesungguhnya punya kopi enak, beras organik yang pulen, kakao, dan beragam komoditas lainnya. Alamnya pun sungguh elok. Sayang, selama ini orang lebih mengenal Seko sebagai wilayah dengan ongkos ojek sepeda motor termahal di Sulsel, bahkan mungkin di Indonesia.
Hari beranjak petang, Selasa (26/10/2021), saat Andika (39) tiba di Dusun Lambiri, Desa Embonatana, Seko. Dia telah berkendara sejak pagi dari Tugu Durian di Kecamatan Sabbang. Jaraknya sekitar 110 kilometer. Tugu Durian adalah pertigaan yang menghubungkan wilayah di Seko, Rongkong, Sabbang, dengan Masamba (ibu kota Luwu Utara). Titik itu juga simpul ke arah Kota Palopo, Luwu, hingga Luwu Timur, kabupaten tetangga Luwu Utara.
”Kuda besi” alias sepeda motor bebek yang dikendarai Andika penuh dengan barang bawaan. Saking banyaknya barang, jika orang melihat dari belakang, kepala Andika tak terlihat. Barang didudukkan di atas potongan papan seukuran 1 meter x 0,5 meter yang diikat pada sadel sepeda motor. Di bagian depan barang juga menumpuk hingga sejajar lehernya.
Tampak jelas tanah yang liat menempel di seluruh ban dan bodi sepeda motor. Begitupun pada sepatu dan celananya. Jalan yang dilalui dari Palandoang–dusun pertama di Kecamatan Seko–menuju Lambiri memang bukan aspal, melainkan jalan tanah yang membelah hutan. Kubangan berisi genangan air dan tanah becek serta gumuk tanah memenuhi sepanjang jalan yang menghubungkan dua dusun ini.
Namun, perjalanannya belumlah usai. Dia masih harus melanjutkan satu jam lagi untuk tiba di tujuan, di Seko tengah. Tak berselang lama, puluhan pengojek lain juga tiba. Mereka beristirahat sebentar sembari mendinginkan sepeda motor, beberapa lainnya mengecek kanvas rem dan kopling.
Sepeda motor-sepeda motor itu tentulah bukan sepeda motor standar, melainkan telah dimodifikasi untuk melumat medan berat di Seko. Modifikasi sasis, suspensi, dan ban bergerigi khusus offroad adalah di antaranya. Sekilas, tampilan sepeda motor ojek di Seko mirip dengan sepeda motor trail pabrikan.
Meninggalkan Seko dua hari sebelumnya, Andika mengangkut 150 kilogram biji kopi. Biji kopi ini adalah hasil panen petani yang dijual di Sabbang. Biasanya Andika mengenakan biaya pengiriman Rp 5.000 per kg.
Jadi, sebenarnya seperti barter saja. Kopi, beras, kakao, ditukar gula, sabun, minyak goreng, dan apa pun.
Acap kali dia tak langsung menerima uang sebagai pembayaran, tetapi akan dipotong dari hasil penjualan. Misalnya, harga kopi Rp 21.000 per kg di Pasar Sabbang, maka petani mematok harga Rp 15.000-Rp 16.000 per kg. Selisihnya menjadi jatah pengojek.
Saat pulang, dia akan membawa berbagai kebutuhan, seperti gula, terigu, sabun, minyak goreng, dan barang apa pun yang dipesan warga. Harga barang juga dihitung dengan ongkos ojek yang berkisar Rp 5.000 per kg. Kadang pula petani yang menitipkan kopinya untuk dijual tak lagi menerima uang tunai hasil penjualan, tetapi dalam bentuk berbagai barang kebutuhan yang sudah dipesan.
Hasmin (42), pengojek lain, mengatakan, tak jarang mereka juga menjadi seperti pedagang pengumpul. Mereka membeli kopi petani lalu menjualnya. Pulangnya, mereka membeli barang kelontong untuk dijual lagi.
”Jadi, sebenarnya seperti barter saja. Kopi, beras, kakao, ditukar gula, sabun, minyak goreng, dan apa pun. Kami pengojek hanya jadi perantara. Saya mengambil ongkos dari selisih harga. Tapi, kalau mereka punya uang tunai, saya dibayar berdasarkan jumlah barang yang saya bawa,” kata Hasmin.
Di Seko, ongkos ojek secara umum bervariasi, dari Rp 500.000 hingga Rp 700.000. Saat musim hujan, harganya bisa mencapai Rp 1 juta. Harga yang sama berlaku untuk mengantar warga. Biaya ojek yang tinggi ini adalah imbas dari kondisi jalan yang buruk di Seko. Selama ini, belum sekali pun jalan aspal menyentuh Seko.
Sebenarnya ada transportasi udara dari Seko ke Masamba, ibu kota Luwu Utara. Harga tiketnya sekitar Rp 400.000. Namun, dengan kapasitas hanya 12 penumpang sekali jalan membuat tak semua warga bisa menikmatinya.
Buruknya kondisi jalan juga berimbas pada harga kebutuhan pokok. Sebagai contoh bahan bakar jenis premium dan solar yang harganya Rp 30.000-Rp 40.000 per liter, gula pasir Rp 25.000-Rp 30.00 per liter, dan elpiji ukuran tabung 3 kg mencapai Rp 75.000. Sementara semen seharga Rp 150.000 per zak. Intinya, hampir semua harga kebutuhan pokok di wilayah ini dua hingga tiga kali lipat lebih mahal ketimbang di ibu kota kabupaten.
Inayanti (40), warga Desa Padang Balua, bercerita, saat membangun kios untuk berdagang, dia membeli semen seharga Rp 250.000 per zak. Saat itu sedikitnya 40 zak yang dibutuhkan untuk membuat lantai kiosnya.
”Saya keluar Rp 10 juta hanya untuk lantai semen. Saat itu kondisi jalan sangat parah dan hujan. Tak ada pilihan lain selain membeli seharga itu. Beruntungnya harga ini sudah termasuk ongkos ojek,” katanya.
Sebagai daerah terpencil, praktis hanya ojek sepeda motor inilah yang menjadi tumpuan warga. Ojek menjadi alat transportasi utama untuk membawa hasil bumi ke Masamba. Ojek pula yang dimanfaatkan untuk membeli berbagai kebutuhan yang tak bisa diproduksi di desa. Untuk mobilisasi warga, ojek juga yang menjadi tumpuan. Di Seko, ojek adalah kata kunci yang jadi simpul denyut nadi ekonomi dan mobilitas warga. Ada ratusan ojek yang saat ini beroperasi di Masamba.
Seko adalah wilayah terpencil di dataran tinggi Tokalekaju yang dikelilingi gugus Pegunungan Verbeek dan Quarles. Ketinggiannya 1.200-1.800 meter di atas permukaan laut. Jumlah penduduk di wilayah ini sekitar 14.000 jiwa yang tersebar di 12 desa. Seko berada di jantung Sulawesi dan berbatasan dengan Sulawesi Tengah dan Sulawesi Barat.
Sebenarnya, jarak Seko ke Masamba hanya 120 kilometer. Sepanjang jalan berupa jalan pengerasan, jalan tanah, dan aspal. Namun, aspal baru sampai di Kecamatan Rongkong, tetangga Seko. Itu pun belum meliputi seluruh Rongkong. Dari Dusun Palandoang–dusun pertama di Seko yang berbatasan dengan Rongkong–ke Padang Balua, ibu kota Seko, jaraknya sekitar 20 kilometer.
Jalur terberat ada di sepanjang 20 kilometer ini. Namun, ini hitungannya hanya jalan poros penghubung kecamatan. Jalan antardusun dan antardesa sama buruknya. Jalan poros ini membelah hutan dan bukit savana.
Kompas yang berkunjung ke Seko selama Minggu-Rabu (24-27/10/2021) melihat langsung betapa jalur sepanjang 20 kilometer ini dipenuhi kubangan lumpur yang dalam. Permukaan tanah yang becek, bergelombang, dan dipenuhi gumuk tanah membuat pengendara harus lihai mengendalikan kendaraan. Salah perhitungan, kendaraan bisa terbalik.
Mau sampai kapan kami di Seko menderita akibat kondisi seperti ini?
Di jalan ini belasan kendaraan truk dan kendaraan roda empat terjebak lumpur. Maju tak bisa, mundur pun sulit. Beberapa kendaraan harus ditarik secara manual oleh manusia untuk keluar dari kubangan lumpur. Adapun truk ditarik oleh truk lain. Beberapa mobil terjebak dan ditinggal pemiliknya.
”Saat menuju Eno (sebutan lain untuk ibu kota Seko) dari Palandoang, kami bermalam tiga hari di tengah hutan karena mobil sulit bergerak. Pernah sehari kendaraan hanya bergerak beberapa ratus meter saja. Pas balik, kami nginap lagi di sini. Padahal, ke Eno kami tidak menginap dan hanya mengantar barang,” kata Selvi, seorang pedagang yang kerap ikut membawa dagangan dengan truk dan mobil berpenggerak empat roda.
Camat Seko Akbar Ali mengatakan, kondisi jalan yang buruk ini tak hanya jadi pemicu mahalnya harga ojek dan barang kebutuhan pokok. Dampak lain adalah kurang optimalnya pengembangan potensi sumber daya alam.
”Karena kondisi ini membuat warga menanam seperlunya saja, yang penting cukup untuk dimakan atau ditukar dengan barang kebutuhan pokok lainnya. Mereka tak bisa menambung dari hasil pertanian karena mereka tak menanam banyak. Untuk apa menanam banyak, berproduksi banyak, lalu sulit untuk dijual. Kasihan warga saya,” kata Akbar.
Sebenarnya, pada 2019, Nurdin Abdullah (Gubernur Sulsel nonaktif), sudah merintis pembangunan jalan ke Seko. Sebagian jalan di Rongkong sudah diaspal, sebagian lagi sudah berupa pengerasan. Sedianya pembangunan akan diteruskan ke Seko secara bertahap dengan menganggarkan setiap tahun dari APBD. Namun, sejak Nurdin ditangkap KPK pada Februari 2021, pembangunan jalan tak berlanjut.
”Mestinya, jika ini sudah diprogramkan walau gubernur ditangkap, proyek tetap jalan. Sekarang saya lihat pekerjaan sudah terhenti. Mau sampai kapan kami di Seko menderita akibat kondisi seperti ini?” ujar Akbar.