1.000 Perempuan Muda di Timor Tengah Utara Ikuti Pelatihan Tenun Ikat
Untuk meningkatkan kemandirian perempuan, sebanyak 1.000 remaja putri putus sekolah dan ibu rumah tangga muda di Timor Tengah Utara (TTU), Nusa Tenggara Timur, mengikuti pelatihan tenun ikat di Kefamenanu, TTU.
Oleh
KORNELIS KEWA AMA
·4 menit baca
KEFAMENANU, KOMPAS — Sebanyak 1.000 remaja putri dan ibu rumah tangga muda di Timor Tengah Utara, Nusa Tenggara Timur, mengikuti pelatihan tenun ikat di Kefamenanu. Pelatihan berlangsung tiga bulan secara kelompok dalam rangka meningkatkan kemandirian secara ekonomi perempuan setempat dan melestarikan warisan budaya tenun khas Timor Tengah Utara.
Koordinator Pelatihan Keterampilan Tenun Ikat Timor Tengah Utara (TTU) Nusa Tenggara Timur (NTT) Angela Neobani (46), Selasa (9/11/2021), di Kefamenanu, mengatakan, pelatihan ini merupakan program dari Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Anak-Anak Kabupaten TTU. Pelatihan dikhususkan bagi anak-anak remaja putus sekolah mulai dari tingkat SD sampai dengan perguruan tinggi, juga ibu-ibu rumah tangga muda yang belum memiliki keterampilan menenun.
”Jumlah peserta sekitar 1.000 orang. Masing-masing dari mereka harus bisa menenun satu lembar kain sampai selesai dengan motif yang berbeda. Motif tenun di TTU sangat variatif, sesuai jumlah suku-suku di daerah itu. Ada motif buna, insana, buna insana, dan sotis. Motif buna pun ada beberapa jenis, mulai dari buna satu sampai dengan buna 50. Itu kekayaan motif tenun di TTU yang perlu dilestarikan generasi yang akan datang,” kata Angela.
Pelatihan berlangsung tiga bulan mulai 21 Oktober hingga 21 Desember 2021 secara berkelompok, yang masing-masing kelopok 50-100 orang. Pelatihan dalam satu kelompok berlangsung 14-20 hari tergantung tingkat kemahiran kelompok.
Kegiatan ini terselenggara atas kerja sama Bank NTT, Dinas Pendidikan dan Kebudayaan TTU, dan satu LSM lokal. Setiap peserta wajib menyelesaikan satu lembar kain dengan motif sesuai pilihan.
Kain ini akan dibeli Dekranasda dan Ketua PKK TTU untuk diteruskan ke pengusaha tenun. Para peserta diharapkan dapat mengembangkan keterampilan tersebut di rumah masing-masing.
Kebiasaan menenun di kalangan kaum perempuan TTU dan NTT umumnya tidak dilakukan rutin. Biasanya mereka menenun saat waktu luang, yakni usai kegiatan di ladang, kebun, atau kantor. Apa pun profesi mereka, kebiasaan menenun di kalangan perempuan tetap dijalankan.
Namun, pemasaran hasil kerajinan mereka masih menjadi masalah. Saat ini masih ada ribuan lembar kain tenun dengan berbagai jenis motif yang tersimpan di rumah-rumah warga di desa-desa, hasil kerajinan para ibu rumah tangga.
”Paling mereka bawa ke pasar tradisional di Kefamenanu. Tetapi, siapa yang membeli karena hampir semua ibu rumah tangga menenun di rumah,” kata Neobani.
Melani Suni (24), salah satu peserta pelatihan, mengatakan baru pertama mengikuti pelatihan itu. Selama di bangku SD sampai dengan kelas dua SMP ia tidak pernah mengikuti pelatihan itu. ”Saya tinggal dengan om dan tante sejak usia empat tahun. Keduanya pegawai negeri sipil di Kefamenanu, tidak punya waktu menenun,” kata Suni.
Selama empat hari dari 14 hari masa pelatihan, ia mengaku sudah bisa mengikat untuk membentuk motif. Ia berjanji bisa mengikuti pelatihan dengan baik sehingga dapat menghasilkan satu lembar kain yang cantik, hasil karya pertama sebagai perempuan perajin tenun ikat. ”Saya bangga bisa menenun, dan akan lanjutkan menenun di rumah,” katanya.
Saya bangga bisa menenun, dan akan lanjutkan menenun di rumah. (Melani Suni)
Sepi pengunjung
Pemilik dan pendiri Central Tenun Ina Ndao di Kota Kupang, Lusi Ina Indao, mengatakan, saat ini pemasaran tenun ikat masih sangat sulit. Daya beli masyarakat rendah. Central Tenun Ina Ndao pun sepi pengunjung.
”Kalau satu hari laku satu atau dua lembar kain saja, kami sudah bersyukur. Dulu, sebelum pandemi, satu hari bisa 20-100 lembar, sekarang sangat sepi pengunjung. Hampir semua toko penjualan tenun di NTT mengalami kondisi yang sama, ” kata Lusi.
Perajin tenun dengan pewarna alamiah, Thobias Lomi Ratu, di Kelurahan Kolhua, Kota Kupang, mengatakan, saat ini dirinya menyimpan 50 lembar kain di rumah. Bahan tenun hasil karyanya semuanya alamiah. Ia menanam kapas, dan tumbuh-tumbuhan sebagai bahan pewarna, seperti pohon mengkudu, nila, kunyit, dan beberapa jenis pohon berwarna lain.
Kain tenun hasil kerajinan Thobias Lomi dinilai Rp 1,5 juta-Rp 3 juta per lembar. Kain dihargai mahal karena semua jenis bahan baku diproses secara alamiah, tidak didatangkan dari toko atau hasil pabrikan.
Ia ingin mempertahankan tradisi menenun yang diwariskan almarhum ibunya. Jika ia menggunakan bahan baku dari pabrik, itu berarti sebagian dari tradisi warisan nenek moyang akan hilang. Ia memproses tenun mulai dengan menanam bahan baku, kemudian diolah sendiri sampai menghasilkan satu lembar kain.
Lomi, salah satu dari dua perajin tenun pria di Kota Kupang, mengatakan, sebelum pandemi Covid-19 ia menjual hasil karyanya sendiri ke Denpasar. Di sana ia membangun kerja sama dengan tiga pengusaha kain tradisional. Mereka tertarik dengan kain hasil kerajinan Lomi, tetapi saat pandemi Covid-19, pesanan dari Denpasar berhenti.
”Hanya tas, dompet, kipas tangan, dan selendang yang diminati konsumen di Kota Kupang. Harga bahan-bahan ini berkisar Rp 50.000-Rp 200.000 per buah. Sementara kain lembaran tidak diminati sejak pandemi Covid-19, tetapi saya tetap menenun untuk mengasah keterampilan, dan menjaga warisan leluhur,” kata Lomi.