Merasakan Semesta Menyatu di Gunung Prau
Mendaki gunung menjadi alternatif wisata luar ruang di masa pandemi. Gunung Prau di Wonosobo setinggi 2.569 mdpl bisa jadi alternatif karena tak terlalu tinggi dan mudah diakses. "Sunrise" menjadi magnet.
Wisata luar ruang menjadi pilihan di tengah pandemi Covid-19 yang belum berujung. Menawarkan adrenalin, mendaki gunung cukup tren di kalangan kaum urban. Mereka yang hendak mencicipi jalur pendakian yang tergolong ramah, Gunung Prau di Dataran Tinggi Dieng bisa menjadi alternatif.
Gerimis tipis menyapa Dataran Tinggi Dieng, Jawa Tengah, Selasa (19/10/2021) siang. Cuaca demikian sempat membuat gamang rencana awal mendaki Gunung Prau setinggi 2.590 meter di atas permukaan laut. Rupanya sepiring nasi ayam goreng dengan sambal bawang cukup mengungkit lagi adrenalin hingga bulatlah tekad untuk kembali mendaki gunung setelah 15 tahun lebih.
”Kalau cuma kecil, hujan turun lagi. Tapi kalau sudah deras, biasanya berhenti kok, Mas,” cetus Sodikun (48) sedikit berteriak. Ia berusaha mengalahkan nyaring bunyi atap seng dijatuhi titik-titik hujan di Basecamp Gunung Prau, Dusun Kali Lembu, Desa Dieng, Kecamatan Wonosobo.
Menurut Sodikun, pendakian Gunung Prau mulai dibuka secara terbatas sejak akhir Agustus seiring penerapan pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) level 3 di Wonosobo.
Sodikun adalah porter atau pramuantar sekaligus pemandu yang rencananya menemani Kompas mendaki Gunung Prau. Keberadaan porter cukup memudahkan orang-orang awam yang ingin mendaki gunung. Selain memandu, mereka bisa membantu membawakan barang-barang pendaki, mendirikan tenda, hingga memasakkan makanan dan minuman saat berkemah di gunung.
Baca juga : Dieng Culture Festival 2021 Kembali Digelar Virtual
Sodikun yang 15 tahun menjadi porter di Gunung Prau mengatakan, biasanya ia dibantu satu porter atau helper lain yang bertugas khusus mendirikan tenda serta mengangkut logistik pendaki. Pasangan porter Sodikun ini biasanya mendaki sendiri hingga lokasi pendirian tenda, lalu mendirikan tenda bagi tamu dan Sodikun, meletakkan logistik, dan kembali turun.
Adapun paket pendakian Gunung Prau bervariasi, mulai dari Rp 450.000 hingga Rp 1,25 juta per orang. Semakin mahal paket, kian lengkap pula fasilitas. ”Kami sesuaikan kebutuhan tamu,” ujar Sodikun, yang sejak awal tak pernah melepas maskernya.
Harga paket juga sudah mencakup tiket pendakian Rp 15.000. Pengelola paket pendakian juga meminta syarat KTP dan sertifikat vaksin Covid-19. Dari pantauan, penerapan protokol kesehatan di kawasan basecamp juga ketat. Selain wajib bermasker, tersedia pula hand sanitizer, serta keran dengan sabunnya.
”Semua petugas basecamp, termasuk porter, juga sudah divaksin lengkap. Demi keamanan bersama,” ujar Sodikun.
Enam jalur
Akhirnya, tepat pukul 14.30 WIB, pendakian Gunung Prau dimulai. Ada beberapa jalur pendakian. Selain Kalilembu, ada juga Patakbanteng, Dieng, Igirmranak, Dwarawati, dan Wates. Yang paling populer adalah Patakbanteng. Namun, Kompas memilih mendaki dari Kalilembu karena jalurnya lebih panjang sehingga pemandangan yang bisa dinikmati lebih banyak.
Menurut Sodikun, pendakian Gunung Prau mulai ramai pada awal 2012. Selain diviralkan sejumlah pendaki di media sosial, gunung ini juga ramah bagi pendaki pemula. Ketinggian gunung lain di sekitarnya, seperti Merapi (2.910 mdpl), Merbabu (3.100 mdpl), Sumbing (3.371 mdpl), dan Sindoro (3.136 mdpl). Dieng juga bisa diakses dari kota Wonosobo ataupun jalur pantura Jateng.
Lihat juga : Cukur Rambut Gimbal di Dieng Berlangsung Sederhana
Dari Kalilembu, waktu pendakian 3-5 jam. Banyak pendaki memilih ”tek-tok” alias berangkat, menikmati matahari terbit di puncak, lalu langsung turun. Namun, banyak juga yang nyantai dan bermalam di gunung.
Setelah melintasi ladang sayuran, masuk areal hutan primer. Di sini, banyak papan imbauan menaati protokol kesehatan pencegahan Covid-19, seperti memakai masker dan jaga jarak. Demi menaati protokol pula, Kompas selalu menjaga jarak di belakang porter.
Rute semakin menanjak menuju Pos 2. Jalanan becek sehabis diguyur hujan seperti berat mencengkeram sepatu. Napas mulai terengah-engah. Udara sejuk di belantara rimba yang vegetasinya beragam seperti memompa kembali oksigen dalam rongga paru-paru. Kerinduan mencumbu alam raya setelah sekian lama teralienasi pandemi pun terobati.
Setelah menempuh perjalanan sekitar 1 jam 20 menit, akhirnya sampai pula di Pos 2. Saatnya rehat sejenak, meneguk air, dan mengunyah satu-dua potong camilan. ”Mari Mas, kami lanjut. Biar sampai puncak masih terang,” sapa seorang remaja yang bersama empat temannya mendahului Kompas di Pos 2.
”Santai saja. Enggak perlu buru-buru. Disesuaikan saja dengan kemampuan,” tukas Sodikun, sang porter mengingatkan.
Setelah 20 menit istirahat, perjalanan berlanjut ke Pos 3. Cuaca mendadak cerah. Sinar matahari menembus sela-sela pepohonan raksasa. Semangat kembali membuncah.
Menuju Pos 3, rute kian terjal. Sejumlah akar dan pohon yang melintang di rute pendakian memaksa lebih berhati-hati supaya tidak tersandung atau tergelincir. Akhirnya, sekitar pukul 17.45, sampailah di puncak Prau.
Sayangnya, kabut tebal menyelimuti puncak gunung. Angin kencang berembus membawa titik-titik air. Setelah membantu berfoto, Sodikun menyarankan agar segera menuju lokasi tenda yang sudah didirikan rekannya.
Di area puncak Prau dilarang mendirikan tenda. Sangat berbahaya karena sering terjadi cuaca buruk, seperti suhu dingin ekstrem, badai, bahkan petir.
Adapun areal kemah berada sekitar 500 meter dari puncak. Tempat ini dinamakan Sunrise Camp, atau juga telogo wurung yang jadi tempat bermalam ideal para pendaki karena lokasinya luas dan terlindung dari angin.
Benar juga kata Sodikun, dua tenda sudah didirikan sebelum Kompas tiba di Sunrise Camp. Satu tenda lagi untuk tempat Sodikun beristirahat dan memasak. ”Kopi atau teh, Mas?” tanya Sodikun.
”Terima kasih, kopi saja tanpa gula,” jawab Kompas.
Belum juga memasak air, Sodikun bertanya lagi, ”Kayaknya capek banget. Sekalian makan mi rebus enak kayaknya.” ”Wah, mantap, Mas,” sergah Kompas.
Baca juga : Wisata Dataran Tinggi Dieng Siap Dibuka Kembali
Menu yang disajikan untuk paket standar terbilang bersahaja, seperti mi rebus, mi goreng, dan nasi goreng. Selesai menyantap menu makan malam nasi goreng, karena kekurangan air, dua pendaki remaja ikut bergabung di tenda Sodikun yang cukup besar. Mereka santri asal Tasikmalaya, Jawa Barat. ”Mumpung ada tanggal merah. Lagi pula Gunung Prau relatif tidak terlalu tinggi. Jadi satu hari saja cukup bolak-balik,” kata Afifurahman (18), salah satu santri.
Obrolan ngalor-ngidul di atas gunung berlalu begitu saja. Setelah mata kian berat, tiba waktunya rehat. Semua berdoa, semoga esok cerah.
Menanti sunrise
Namun, alam berkehendak lain. Menjelang subuh, mendung dan kabut melingkupi sekitar puncak Prau. Para pendaki yang sudah menanti momen golden sunrise hanya bisa menatap nanar ke ufuk timur. Golden sunrise adalah momen saat matahari terlihat bulat utuh terbit dengan warna kuning keemasan. Momen ini menjadi salah satu magnet Gunung Prau.
Sekitar pukul 05.30, akhirnya mendung tersibak. Namun, matahari sudah naik terlalu tinggi. Walau tak mendapat momen golden sunrise, para pendaki langsung berfoto ria, tak ingin menyia-nyiakan momen cerah itu.
Wiyogo (58), pendaki asal Pekalongan, sedikit kecewa tak mendapatkan momen matahari terbit di Gunung Prau yang dikenal sangat indah. ”Agak kecewa. Tapi, namanya alam tidak bisa ditebak. Yang penting petualangannya,” ujar pria paruh baya yang mengaku berangkat mendaki pukul 03.00 hanya untuk mengejar momen matahari terbit.
Dia mendaki Prau bersama istri dan empat rekannya yang usianya sama-sama sudah paruh baya. Bagi Wiyogo, mendaki gunung adalah hobi saat remaja. Oleh karena sibuk bekerja, ia tak punya waktu luang untuk melakukan hobinya itu.
”Sekarang sudah umur pensiun, saya ingin kembali naik gunung. Tapi yang enggak terlalu tinggi. Selain Prau, saya juga naik Gunung Ungaran. Tapi, enggak pernah nge-camp (berkemah), sudah enggak kuat dinginnya,” ujar Wiyogo disusul tawa lebar.
Baca juga : Harmoni di Dieng, ”Negeri Para Dewa”
Selain matahari terbit, areal lain yang biasa jadi obyek foto di sekitar puncak Gunung Prau adalah hamparan sabana dengan beberapa bukit kecil. Di musim tertentu, bukit itu dipenuhi rumput hijau dan bunga daisy (Bellis perennis) sehingga beberapa pelancong menyebutnya Bukit Teletubbies.
Akhirnya, sekitar pukul 09.00, seusai sarapan mi goreng, Kompas menuruni Gunung Prau melalui jalur Patakbanteng. Hanya butuh sekitar 1 jam dari Sunrise Camp hingga sampai ke Pos 1. Jalur ini memang lebih singkat, tetapi menukik.
Mendekati lereng, bau pupuk kandang yang tebal melapisi tanah Dieng untuk menanam kentang mulai menyengat. Tanda permukiman sudah dekat. Puncak Prau pun mulai samar tertutup kabut.
Pengalaman mendaki gunung sebagai alternatif liburan di usia yang terbilang sudah tidak belia ternyata cukup menyenangkan. Benar juga ungkapan filsuf Yunani, Aristoteles (384-322 SM), ”Dalam semua bagian alam, selalu ada hal-hal menakjubkan.”