Meski Dinyatakan Tidak Layak Huni, Pulau Babi Masih Didatangi Warga
Pulau Babi dinyatakan tidak layak huni, tetapi warga masih beraktivitas di sana. Pulau seluas 5,6 kilometer persegi itu pernah hancur dilanda gempa dan tsunami.
Oleh
FRANSISKUS PATI HERIN
·3 menit baca
MAUMERE, KOMPAS — Meski sudah lama dinyatakan tidak layak huni, Pulau Babi di Kabupaten Sikka, Nusa Tenggara Timur, masih sering didatangi warga. Saat gempa bermagnitudo 7,4 mengguncang daerah itu pada Selasa (14/12/2021), puluhan orang tengah beraktivitas di pulau yang pernah hancur lebur diterjang tsunami pada 1992 tersebut.
Pulau Babi diguncang gempa M 7,5 dan langsung disapu tsunami pada 12 Desember 1992. Ratusan orang di pulau seluas 5,63 kilometer persegi tersebut meninggal dan hilang. Sebagian daratan yang dulu areal permukiman kini berada di dasar laut.
Akan tetapi, kejadian itu tidak lantas membuat warga Desa Nangahale, Kecamatan Talibura, benar-benar meninggalkan daerah tersebut. Mereka yang sebelumnya warga Pulau Babi lalu direlokasi ke Nangahale di Pulau Flores itu, beternak dan mencari ikan di sana.
Kepala Desa Nangahule Sahnudin, Jumat (17/12/2021), menuturkan, puluhan orang sedang beraktivitas di pulau tersebut pada Selasa. Padahal, titik gempa saat itu berada di Laut Flores, tidak jauh dari Pulau Babi.
”Saat gempa kemarin, kami khawatir nasib mereka di pulau (Babi). Selain beternak dan mencari ikan, ada juga yang memilih tinggal sementara beberapa waktu di sana untuk kemudian balik ke Nangahale,” tuturnya.
Seperti diberitakan sebelumnya, Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika melaporkan, terjadi gempa tektonik berkekuatan M 7,4 pada Selasa. Pusat gempa pada koordinat 7,59 Lintang Selatan dan 122,24 Bujur Timur pada kedalaman 10 kilometer di bawah permukaan laut. Titik gempa sekitar 112 kilometer arah barat laut Larantuka, ibu kota Kabupaten Flores Timur.
Pulau Babi dan Nangahale dijangkau menggunakan perahu motor dengan waktu tempuh sekitar 40 menit. Warga Nangahale biasanya ramai-ramai menyewa perahu motor menuju Pulau Babi. Tarif satu kali sewa pergi pulang sebesar Rp 500.000.
Nurdin (44), warga Nangahale yang biasa bepergian ke Pulau Babi, menurutkan, kendati sudah direlokasi, warga tetap memiliki kecintaan pada tempat itu. Di sana, mereka lahir dan dibesarkan. Warga juga datang untuk mengenang anggota keluarga yang meninggal akibat gempa dan tsunami.
Keberadaan warga di Pulau Babi, lanjutnya, juga untuk menunjang kehidupan ekonomi mereka sebagai nelayan dan peternak. Khusus untuk ternak, seperti kambing, mereka tidak punya lahan di Nangahale. Sebagai warga dengan status transmigrasi lokal, lahan yang diberikan pemerintah sangat terbatas.
Menurut dia, warga juga enggan mati konyol. Kini mereka sudah memahami cara menyelamatkan diri ketika terjadi gempa dan tsunami. ”Memang Pulau Babi itu kecil, tapi ada sedikit bukit yang bisa menjadi titik perlindungan jika sampai terjadi tsunami,” katanya.
Gubernur NTT Viktor Bungtilu Laiskodat lewat siaran pers kembali mengingatkan masyarakat agar tetap waspada dan mengikuti anjuran pemerintah. Wilayah yang dinyatakan rawan tsunami untuk sementara agar dihindari.
”Meski BMKG sudah mencabut status peringatan dini tsunami, warga tetap waspada,” ujarnya.
Viktor menginstruksikan kepada semua kepala daerah yang wilayahnya dilanda gempa agar terus memantau aktivitas masyarakat. Hingga saat ini, tidak ada laporan korban jiwa ataupun kerusakan akibat gempa pada Selasa lalu itu.