Kendati dinyatakan tidak layak huni, di Pulau Babi kini berdiri puluhan rumah. Warga yang tinggal di sana selalu waspada jika terjadi gempa berpotensi tsunami.
Oleh
FRANSISKUS PATI HERIN
·3 menit baca
MAUMERE, KOMPAS — Puluhan rumah kini berdiri di Pulau Babi, Kabupaten Sikka, Nusa Tenggara Timur. Padahal, pulau seluas lebih kurang 5,6 kilometer persegi itu dinyatakan tidak layak lagi untuk dihuni setelah porak-poranda diguncang gempa dan disapu tsunami pada 1992. Warga beralasan, mereka hanya tinggal sementara di pulau itu.
Sabtu (18/12/2021), Kompas mendatangi Pulau Babi. Dari Maumere, ibu kota Kabupaten Sikka, Pulau Babi dijangkau dengan perjalanan darat sekitar satu jam, kemudian dilanjutkan menggunakan perahu motor sekitar 1,5 jam. Ada juga alternatif lain. Jika menggunakan perahu motor langsung dari Maumere, waktu perjalanan 3 jam sampai 4 jam.
Di Pulau Babi kini berdiri lebih dari 20 rumah. Puluhan perahu motor juga ditambatkan di sana. Jumlah warga yang menetap di sana diperkirakan sekitar 70 jiwa. ”Satu rumah itu paling kurang tiga orang. Rumah kami bangun beberapa tahun setelah bencana 1992,” kata Sahar (47), warga di pulau itu.
Rumah dimaksud semuanya rumah panggung. Ketika musim pasang maksimum, air laut masuk ke darat jauh melewati deretan tempat rumah berdiri. Rumah berjejer hingga 50 meter dari bibir pantai, sementara air laut pasang hingga lebih dari 100 meter dari bibir pantai.
Warga yang tinggal di sana hampir semua pasangan suami istri dan anak atau cucu. Kebanyakan mereka pasangan lanjut usia. Di sana mereka menangkap ikan, bertani, dan menjaga ternak. ”Di sini kami cari hidup karena di tempat relokasi yang baru kami tidak punya lahan,” ujarnya.
Seperti yang diberitakan sebelumnya, pada 12 Desember 1992 terjadi gempa bermagnitudo 7,5 di Laut Flores dan menimbulkan tsunami. Permukiman di Pulau Babi ambrol. Kemudian datang tsunami menyapu pulau itu hingga 300 meter dari pantai. Tak ada satu pun bangunan yang berdiri. Sekitar 700 orang meninggal.
Tak ada satu pun bangunan yang berdiri. Sekitar 700 orang meninggal.
Pulau tersebut kemudian dinyatakan tidak layak dihuni. Warga yang selamat direlokasi ke daratan Pulau Flores. Mereka membentuk permukiman baru menjadi Desa Nangahale di Kecamatan Talibura, sekitar 40 kilometer timur Maumere. Sementara Nangahale ke Pulau Babi sekitar 1,5 jam perjalanan dengan perahu motor.
Gempa magnitudo 7,4
Kepala Desa Nangahale Sahanudin mengatakan, semua warga yang tinggal di pulau itu memiliki rumah dan anggota keluarga di Nangahale. Mereka biasa datang ke Nangahale pada saat Lebaran, setelah itu mereka kembali lagi ke Pulau Babi. Terkadang mereka secara bergantian menjaga ternak di sana.
Sahanudin memahami, banyak warga masih cinta pada pulau itu. Di sana mereka lahir dan dibesarkan. Di sana pula ada kuburan anggota keluarga mereka yang meninggal akibat tsunami. ”Bagi mereka, kenangan di pulau itu harus terus mereka rawat dengan keberadaan mereka di sana,” katanya.
Pada saat gempa berkuatan magnitudo 7,4 pada Selasa (14/12/2021), mereka yang tinggal di Pulau Babi langsung berlari menjauh dari pesisir. Mereka menuju sebuah bukit dan tinggal di sana beberapa jam. Mereka pun tidur di bukit itu selama dua malam.
Kepala Pelaksana Badan Penanggulangan Bencana Daerah Kabupaten Sikka Muhammad Daeng Bakir mengatakan, pemerintah berulang kali mengimbau warga yang tinggal di Pulau Babi agar selalu waspada. Kejadian gempa pada Selasa lalu itu seharusnya menjadi peringatan bagi mereka.
”Kendati sudah dinyatakan tidak layak untuk dihuni, kami tidak mungkin paksa mereka untuk pergi keluar dari pulau tersebut. Mereka punya alasan bahwa mereka tinggal di sana hanya sementara waktu saja. Pas kejadian gempa seperti ini, baru mereka trauma,” kata Daeng.