Minta Relokasi Ditunda, PKL Malioboro Mengadu ke LBH Yogyakarta
Sejumlah pedagang kaki lima (PKL) di kawasan wisata Malioboro, Yogyakarta, meminta rencana relokasi PKL ditunda. Beberapa orang PKL juga mengadu ke LBH Yogyakarta untuk meminta bantuan advokasi terkait rencana relokasi.
Oleh
HARIS FIRDAUS
·4 menit baca
YOGYAKARTA, KOMPAS — Sejumlah pedagang kaki lima di kawasan wisata Malioboro, Kota Yogyakarta, Daerah Istimewa Yogyakarta, meminta Pemerintah Daerah DIY menunda rencana relokasi PKL di kawasan itu. Beberapa orang PKL juga mengadu ke Lembaga Bantuan Hukum Yogyakarta untuk meminta bantuan advokasi terkait rencana relokasi.
Pada Selasa (11/1/2022), sejumlah PKL yang sehari-hari berjualan di kawasan wisata Malioboro mendatangi kantor LBH Yogyakarta, Kota Yogyakarta. Mereka menyampaikan aduan mengenai rencana relokasi PKL Malioboro yang akan dilakukan oleh Pemda DIY. Menurut rencana, relokasi itu akan dilakukan pada Januari ini. Namun, belum ada informasi pasti tanggal berapa relokasi dilakukan.
Salah seorang PKL Malioboro, Purwandi (66), menyatakan, kondisi perekonomian para PKL di kawasan Malioboro belum sepenuhnya pulih setelah terkena dampak pandemi Covid-19. Oleh karena itu, sejumlah PKL Malioboro merasa keberatan dengan rencana Pemda DIY yang akan melakukan relokasi pada bulan ini.
Para PKL itu berharap agar rencana relokasi itu diundur. ”Intinya, kami tidak menolak program dari pemerintah. Kami hanya mengajukan permohonan untuk diundur waktunya karena kami betul-betul habis terbelenggu oleh musibah korona selama hampir dua tahun dan ini pun belum selesai,” ujar Purwandi yang berjualan di Malioboro sejak tahun 1991.
Seperti diberitakan, Pemda DIY berencana merelokasi para PKL yang selama ini berjualan di kawasan wisata Malioboro. Relokasi itu dilakukan sebagai bagian dari penataan kawasan Sumbu Filosofi Yogyakarta. Sumbu Filosofi merupakan garis lurus yang membentang dari tiga bangunan penting di Yogyakarta, yakni Tugu Golong Gilig atau Tugu Yogyakarta, Keraton Yogyakarta, dan Panggung Krapyak.
Sumbu Filosofi itu melambangkan perjalanan manusia sejak lahir hingga meninggal atau kembali kepada Tuhan. Sejak beberapa tahun lalu, Pemda DIY berencana mengajukan kawasan Sumbu Filosofi agar ditetapkan sebagai warisan budaya dunia. Usulan disampaikan kepada Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNESCO).
Menurut rencana, para PKL itu akan dipindahkan ke dua tempat berbeda yang masih berada di kawasan Malioboro. Tempat pertama adalah bangunan di lahan bekas Bioskop Indra yang berada di seberang Pasar Beringharjo. Sementara tempat kedua adalah los atau lapak yang telah dibangun di lahan bekas kantor Dinas Pariwisata DIY.
Pemerintah tidak bisa menjamin kesejahteraan PKL. Jadi, relokasi ini dirasakan oleh teman-teman sangat berat.
Purwandi menuturkan, meski berencana melakukan relokasi, Pemda DIY tidak bisa menjamin pendapatan para PKL tidak akan anjlok saat berjualan di lokasi baru. Padahal, para PKL sangat khawatir pendapatan mereka anjlok saat harus pindah ke tempat berjualan yang baru. ”Pemerintah tidak bisa menjamin kesejahteraan PKL. Jadi, relokasi ini dirasakan oleh teman-teman sangat berat,” katanya.
Kondisi itulah yang membuat sejumlah PKL mengadu ke LBH Yogyakarta. Mereka berharap, LBH Yogyakarta bisa melakukan pendampingan dan advokasi untuk memperjuangkan aspirasi para PKL Malioboro. ”Kami minta bantuan hukum, mudah-mudahan nanti permohonan terkabul,” kata Purwandi.
Rumah aduan
Staf Divisi Penelitian LBH Yogyakarta, Era Hareva, menyatakan, LBH Yogyakarta memang membuka rumah aduan untuk menampung aspirasi para PKL Malioboro terkait rencana relokasi. LBH Yogyakarta juga siap melakukan advokasi untuk memperjuangkan aspirasi para PKL Malioboro.
Era memaparkan, berdasarkan kajian LBH Yogyakarta, rencana relokasi PKL Malioboro tidak tepat karena dilakukan saat kondisi perekonomian para PKL belum pulih sepenuhnya akibat pandemi Covid-19. Padahal, relokasi itu berpotensi membuat pendapatan para PKL anjlok karena mereka harus berjualan di tempat baru yang belum dikenal oleh para wisatawan.
Era menilai, relokasi tersebut juga berpotensi menghilangkan identitas sosial budaya kawasan Malioboro. Sebab, selama ini, keberadaan PKL sudah sangat identik dengan kawasan Malioboro. Di sisi lain, penyusunan kebijakan relokasi itu juga dinilai kurang melibatkan partisipasi masyarakat, termasuk para PKL Malioboro.
Dengan berbagai masalah itu, Era menyatakan, LBH Yogyakarta mendesak Pemda DIY menunda rencana relokasi PKL Malioboro. Selain itu, LBH Yogyakarta juga meminta Pemda DIY untuk meninjau ulang kebijakan relokasi tersebut. ”Kami juga mendesak Pemda DIY untuk membuka ruang partisipasi yang seluas-luasnya terkait rencana relokasi itu,” ujarnya.
Kepala Dinas Koperasi dan Usaha Kecil Menengah DIY Srie Nurkyatsiwi menyatakan, selain untuk penataan kawasan Sumbu Filosofi, proses relokasi PKL juga bertujuan agar para PKL Malioboro bisa naik kelas. Srie mengklaim, dengan adanya relokasi, para PKL akan lebih nyaman saat berjualan. Selain itu, legalitas mereka sebagai pedagang juga lebih terjamin.
”Relokasi ini adalah bentuk afirmasi pemerintah untuk meningkatkan kenyamanan dan legalitas para PKL. Untuk membuat mereka naik kelas kan ada prosesnya,” tutur Srie.
Srie memaparkan, setelah relokasi dilakukan, Pemda DIY akan berupaya agar tempat berjualan baru para PKL itu tetap dikunjungi oleh para wisatawan dan pembeli. Dengan begitu, para PKL tetap bisa memperoleh pendapatan yang layak saat berjualan di tempat baru. ”Jadi, bukan dipindah asal dipindah,” ujarnya.