Terbukti Terima Gratifikasi, Bekas Bupati Talaud Divonis Penjara Lagi
Belum genap setahun setelah bebas, Bupati Kepulauan Talaud 2014-2019 Sri Wahyumi Maria Manalip kini bersiap untuk kembali meringkuk di penjara akibat perbuatan yang sama, yaitu korupsi. Ia terbukti menerima gratifikasi.
Oleh
KRISTIAN OKA PRASETYADI
·4 menit baca
MANADO, KOMPAS — Belum genap setahun setelah bebas, Bupati Kepulauan Talaud 2014-2019 Sri Wahyumi Maria Manalip kembali divonis bersalah dalam kasus korupsi. Ia terbukti memperkaya diri dengan menerima commitment fee dari beragam proyek di wilayahnya selama menjabat. Hakim pun menjatuhi hukuman pidana empat tahun penjara.
Putusan ini dibacakan hakim ketua Djamaluddin Ismail, Selasa (25/1/2022), di Pengadilan Negeri (PN) Manado, Sulawesi Utara. ”Dengan ini menetapkan terdakwa Sri Wahyumi Maria Manalip terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi secara bersama-sama,” kata Djamaluddin.
Majelis hakim menyimpulkan, antara pertengahan 2014 dan 2017, Sri Wahyumi menerima gratifikasi atau commitment fee sebesar 10 persen dari nilai berbagai pekerjaan atau proyek yang dilelang kepada beberapa pengusaha. Selama itu, ia terbukti menerima Rp 9.303.500.000 melalui empat ketua kelompok kerja (pokja) pengadaan barang dan jasa.
Pada 2019, Sri Wahyumi dijebloskan ke Lembaga Pemasyarakatan Kelas II-A Tangerang dan mendekam selama dua tahun setelah terbukti menerima suap berupa uang dan barang-barang mewah dari pemegang proyek revitalisasi Pasar Beo dan Pasar Lirung di Talaud. Tak lama setelah bebas, KPK mencokoknya lagi pada April 2021 atas tuduhan gratifikasi.
Proses peradilan di PN Manado dimulai pada September 2021. Dalam persidangan terungkap bahwa Sri Wahyumi memerintahkan empat ketua pokja untuk membantunya mengumpulkan uang. Empat ketua pokja itu adalah John R Majampo, Azaria Mahatui, Frans W Lua, dan Jelby Eris. Mereka telah diperiksa sebagai saksi.
”Untuk apa saya tempatkan kalian di sini kalau tidak bisa bantu Ibu? Ibu butuh dana untuk pilkada (2019),” ujar hakim anggota M Alfi Sahrin Usup dalam sidang putusan, mengutip instruksi Sri Wahyumi kepada para ketua pokja itu.
Alfi melanjutkan, kesaksian para pengusaha juga mengungkap bahwa gratifikasi adalah praktik biasa di Talaud selama kepemimpinan Sri Wahyumi. ”Sudah jadi rahasia umum di kalangan pengusaha di Talaud, harus memberikan fee 10 persen kepada terdakwa selaku bupati,” katanya.
Para ketua pokja memberikan spesifikasi proyek kepada para pengusaha sebelum lelang elektronik dimulai. Pemenang proyek pun telah ditentukan sebelum lelang dimulai jika pengusaha telah menyetorkan commitment fee kepada ketua pokja, yang kemudian diberikan kepada Sri Wahyumi.
Sri Wahyumi terbukti melanggar Pasal 12B Ayat 1 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 juncto UU No 20/2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang mengatur tentang gratifikasi. Ia juga melanggar Pasal 12C Ayat 1 UU No 31/1999 juncto UU No 20/2001 karena tidak melaporkan gratifikasi yang ia terima kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Ia pun dijatuhi hukuman penjara empat tahun dan denda Rp 200 juta yang jika tidak dibayarkan dapat diganti dengan kurungan selama tiga bulan. Bekas kader PDI-P dan Hanura itu juga harus mengembalikan gratifikasi yang telah ia terima. Tanah dan bangunan miliknya di perumahan CitraGran, Kecamatan Jatisampurna, Bekasi, yang dibeli dengan uang gratifikasi, juga akan disita.
Saya menerima putusan ini.
”Kalau tidak dibayarkan dalam satu bulan setelah putusan diberlakukan, harta benda terdakwa akan disita. Kalau nilai sitaan tidak mencukupi, harus diganti dengan kurungan selama dua tahun,” tambah Djamaluddin.
Sekalipun menerima gratifikasi dengan bantuan para ketua pokja, dalam persidangan ini, Sri Wahyumi menjadi satu-satunya terdakwa. Kendati begitu, majelis hakim telah menyatakan kasus ini sebagai tindak korupsi bersama-sama. Hakim mempertimbangkan empat ketua pokja telah melakukan perbuatan melawan hukum.
Ketika hakim meminta tanggapan, Sri Wahyumi pun menyatakan tak mempermasalahkan putusan hakim. ”Saya menerima putusan ini,” ujar bekas bupati yang sempat dikenal karena baret merah muda yang dikenakannya ketika ia digelandang ke Gedung KPK, Jakarta, 2019.
Eduard Manalip, kuasa hukum Sri Wahyumi, juga mengapresiasi putusan hakim. Ia menyatakan kliennya tak keberatan membayar denda. ”Kami tinggal cari tambahan Rp 7 miliar. Terdakwa punya uang, orangtuanya kaya,” katanya.
Namun, Eduard mendesak KPK agar juga menangkap empat ketua pokja. ”Mereka harus masuk penjara karena mereka punya kemerdekaan untuk menolak (instruksi Sri Wahyumi), tetapi mereka lakukan juga. Kalau tidak, artinya KPK melindungi pelaku kejahatan juga,” tambahnya.
Di lain pihak, jaksa penuntut umum dari KPK, Dody Silalahi, menyatakan masih akan pikir-pikir terhadap putusan majelis hakim. Sebab, tuntutan mulanya hanya diarahkan kepada Sri Wahyumi. Namun, KPK menghormati pertimbangan hakim yang mengenakan pasal perbarengan.
”Atas dasar itu, kami menyatakan sikap pikir-pikir untuk kami diskusikan dengan tim di kantor. Namun, semua amar pidana penjara, denda, dan barang bukti sudah sesuai, terutama pemulihan asetnya. Kami cukup mengapresiasi putusan hakim,” kata Dody.
Dody menyebutkan, KPK tidak berusaha melindungi empat ketua pokja. Justru, timnya akan berupaya mengumpulkan minimal dua alat bukti pelanggaran hukum para ketua pokja sebelum mengajukan perkara. ”Kami tidak serampangan. Semua harus sesuai hukum,” ujarnya.
Sidang diakhiri dengan isak tangis para pendukung Sri Wahyumi yang datang berbondong-bondong dari Talaud. Sang bekas bupati pun berusaha menghibur mereka. ”Enggak lama, kok. Cuma empat tahun,” katanya sambil berlinang air mata.