Malioboro, ikon Kota Yogyakarta, berganti wajah. Seiring penataan sebagai kawasan heritage, ribuan asongan yang puluhan tahun jadi ciri khas resmi dipindah. Asa dan gamang membayangi pengasong.
Oleh
HARIS FIRDAUS
·5 menit baca
Puluhan tahun lekat dengan lesehan dan riuh asongan, rupa Malioboro, jalan legendaris ikon Kota Yogyakarta, bersilih. Semburat asa berbalut cemas terbayang di benak ribuan pedagang kaki lima yang mesti berpindah ke lokasi baru demi penataan Malioboro.
Denni Supriyanto (68) duduk bersila di lantai tempat relokasi pedagang kaki lima (PKL) di kawasan wisata Malioboro, Selasa (1/2/2022) pagi. Tangannya memegangi besi-besi panjang yang akan dirakit menjadi rak. Dibantu istrinya, dia mencoba merakit rak besi dan meletakkannya di sepetak lahan berukuran 117 cm x 120 cm. Namun, petak itu ternyata lebih ciut letimbang ukuran raknya.
”Rak ini rencananya untuk menyimpan barang dan display (memajang) barang jualan. Tapi besi-besinya mungkin harus dipotong dulu supaya sesuai dengan ukuran lahan di sini,” ujar pedagang tas kulit itu pasrah.
Menjadi PKL di trotoar Malioboro sejak 1979, Denni mesti meninggalkan lokasi yang telah menghidupinya berpuluh tahun itu sejak awal Februari ini. Pemerintah Daerah DI Yogyakarta dan Pemerintah Kota Yogyakarta memutuskan merelokasi seluruh PKL yang selama ini berjualan di trotoar kawasan Malioboro.
Relokasi itu dilakukan sebagai bagian dari penataan kawasan Sumbu Filosofi Yogyakarta yang mencakup area Malioboro. Sumbu Filosofi merupakan garis lurus yang membentang dari tiga bangunan penting di Yogyakarta, yakni Tugu Golong Gilig atau Tugu Yogyakarta, Keraton Yogyakarta, dan Panggung Krapyak.
Sumbu Filosofi itu melambangkan perjalanan manusia sejak lahir hingga meninggal atau kembali kepada Tuhan. Sejak beberapa tahun lalu, Pemda DIY berencana mengajukan kawasan Sumbu Filosofi sebagai warisan budaya dunia ke Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNESCO).
Berdasarkan data Pemda DIY, ada 1.836 PKL di kawasan Malioboro yang menjadi sasaran relokasi. Mereka dipindahkan ke dua tempat relokasi di kawasan Malioboro. Tempat pertama dinamakan Teras Malioboro I yang berlokasi di bekas lahan Gedung Bioskop Indra, sedangkan tempat kedua, Teras Malioboro II, berada di lahan bekas kantor Dinas Pariwisata DIY.
Adapun Denni kebagian tempat di Teras Malioboro II. Di tempat itu, setiap PKL mendapat jatah sepetak lahan untuk lapak berjualan. Masalahnya, ukuran lapak di tempat baru itu ternyata lebih sempit dibandingkan dengan tempat berjualan di trotoar. ”Lebih luas saat jualan di trotoar. Di trotoar, lapak saya ukurannya 1,5 meter x 2 meter,” ujar Denni.
Untuk itu, PKL harus bersiasat agar bisa berjualan di lapak yang lebih sempit. Namun, mereka mengaku pasrah. ”Ya bagaimana lagi. Kami cuma menurut saja,” ujar Denni.
Hal serupa disampaikan, Ida Lestari (42), PKL Malioboro lain yang direlokasi ke Teras Malioboro II. Ia membandingkan lapak termpatnya berjualan di trotoar Malioboro dulu berukuran 120 cm x 200 cm. Dengan ukuran lapak yang kian sempit, Ida yang berjualan tas mesti pintar-pintar mengatur barang dagangannya. ”Terimanya seperti ini, mau gimana lagi. Kami cuma bisa nerima apa yang didapat,” keluh Ida.
Selain lapak yang lebih sempit, PKL juga gamang penghasilan mereka akan anjlok setelah direlokasi. ”Jelas merasa cemas karena kami masih meraba-raba di sini apakah nanti ramai atau enggak,” kata Ida.
Dia mengaku, saat berjualan di trotoar Malioboro, penghasilan bersihnya dari berjualan tas kain sekitar Rp 5 juta per bulan. Ia pun berharap penghasilannya tak anjlok saat berjualan di lokasi baru. ”Harapannya sih rezeki kami lancar saat berjualan di sini,” kata PKL yang telah berjualan selama 20 tahun di kawasan jalan sepanjang 2 kilometer itu.
Promosi dan atraksi
Kecemasan setelah relokasi juga dirasakan Eko Budiyono (49), salah seorang PKL yang direlokasi ke Teras Malioboro I. Meski kondisi bangunan dan fasilitas di Teras Malioboro I lebih baik dibandingkan saat berjualan di trotoar, dia belum yakin tempat baru itu akan ramai pembeli. ”Kalau masalah lapaknya jelas lebih bagus, tetapi masalah lakunya kami belum yakin,” kata penjual sandal itu.
Eko yang sudah berjualan di Malioboro selama 30 tahun itu pun berharap Pemda DIY aktif mempromosikan tempat berjualan baru PKL di Teras Malioboro I dan II. Harapannya, tempat baru itu sama ramainya dengan trotoar Malioboro.
Kegamangan ihwal masa depan itulah yang membuat sejumlah PKL sempat meminta relokasi diundur setelah libur Lebaran tahun ini. Didampingi Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Yogyakarta, PKL menyampaikan aspirasi ke sejumlah pihak, termasuk DPRD DIY dan DPRD Kota Yogyakarta. Bahkan, DPRD Kota Yogyakarta sempat membentuk panitia khusus terkait relokasi PKL Malioboro.
”Kami siap kok direlokasi cuma mohon ditunda habis Lebaran. Hitung-hitung kami cari sangu (uang saku) untuk masuk di tempat baru. Karena di tempat baru, tidak menjamin kita begitu masuk langsung laku,” ungkap Ketua Paguyuban Angkringan Malioboro Yati Dimanto.
Namun, harapan Yati dan teman-temannya tak terwujud setelah Pemda DIY bersikeras memulai relokasi, Selasa (1/2/2022). Sejak hari itu, PKL diberi waktu hingga Senin (7/2/2022) untuk memindahkan barang dagangannya ke Teras Malioboro I dan Teras Malioboro II.
Kepala Dinas Koperasi dan Usaha Kecil Menengah DIY Srie Nurkyatsiwi berjanji, setelah relokasi, Pemda DIY akan aktif mempromosikan Teras Malioboro I dan Teras Malioboro II melalui berbagai media. Dengan begitu, diharapkan masyarakat dan wisatawan luar kota mengetahui tempat berjualan baru para PKL itu.
Selain itu, Pemda DIY juga akan membuat atraksi atau acara yang bisa menarik pengunjung. ”Kami akan membuat atraksi-atraksi yang membuat masyarakat hadir di sini. Atraksi ini kan juga bagian dari promosi,” ujar Srie.
Para PKL juga didorong mengembangkan penjualan daring. Dengan begitu, mereka bisa mendapatkan penghasilan tambahan dan tidak hanya bergantung pada penjualan barang di tempat relokasi.
Trotoar kawasan Malioboro harus benar-benar bisa digunakan secara nyaman oleh pejalan kaki dan tidak diokupasi aktivitas lain. (Sugeng Bayu Wahyono)
Sosiolog Universitas Negeri Yogyakarta, Sugeng Bayu Wahyono, menilai, relokasi PKL bisa menambah kenyamanan kawasan Malioboro sebagai ruang publik dan destinasi wisata favorit bagi semua kalangan. Untuk itu, trotoar kawasan Malioboro harus benar-benar bisa digunakan secara nyaman oleh pejalan kaki dan tidak diokupasi aktivitas lain.
Di sisi lain, Sugeng mengingatkan, Pemda DIY juga harus memberi dukungan kepada para pelaku ekonomi di Malioboro, termasuk para PKL yang baru saja direlokasi. Oleh karena itu, Pemda DIY harus aktif menyosialisasikan tempat berjualan baru para PKL agar banyak wisatawan dan warga yang berkunjung ke sana.
Meski kerap dituding membuat semrawut, keberadaan pedagang kaki lima tak dimungkiri telah mewarnai kenangan akan Malioboro. Mereka berharap tak ditinggalkan dalam penataan Malioboro menjadi kawasan wisata heritage yang mendunia.