Sempat terhenti selama 11 tahun, kakao Ransiki kembali diproduksi oleh Koperasi Ebier Suth di Manokwari Selatan, Papua Barat, menjadi salah satu cokelat berkualitas tinggi. Menembus pasar Jakarta dan mancanegara.
Oleh
JOHANES GALUH BIMANTARA
·4 menit baca
Dalam sebuah mal di jantung Jakarta, produk cokelat batang dijual dengan kemasan elegan yang menggugah selera. Namun, siapa sangka cokelat batang itu berbahan baku kakao dari pelosok Papua Barat.
Cokelat produksi Pipiltin Cocoa bertuliskan Ransiki itu sesuai dengan asal bahan baku kakaonya, di Distrik Ransiki, Kabupaten Manokwari Selatan, Papua Barat. Tidak hanya untuk produsen cokelat di Jakarta, kakao Ransiki juga diekspor ke Swiss dan Perancis yang dikemas menjadi cokelat batang premium.
Biji kakao berkualitas tinggi ini dipanen dari hamparan kebun seluas 140 hektar. Bukan perusahaan multinasional yang mengelola kebun tersebut, melainkan koperasi bernama Ebier Suth. ”Cokelat Ransiki adalah salah satu yang memiliki kualitas terbaik,” ujar Koordinator Umum Koperasi Ebier Suth, Abdul Rochim Arkan Sawa Semariai.
Memberdayakan warga
Kakao yang diekspor itu dibudidayakan oleh tangan-tangan terampil tenaga kerja yang sebagian besar asli Papua Barat. Setiap pagi, sebuah truk menjemput para pekerja dari pusat kabupaten Manokwari Selatan, untuk membawa mereka ke dalam areal perkebunan kakao koperasi Ebier Suth.
Sebagian besar pekerja merupakan perempuan yang umumnya bertugas memanen biji kakao.
Salah satunya adalah Deli Jofari (42) atau Mama Deli, yang biasa memanen kakao dari pohon setinggi 4-5 meter. ”Sekarang standarnya dapat 40 kilogram (biji kakao basah per hari), kalau lagi turun 20 (kg),” tutur Mama Deli, saat ditemui, akhir April 2021 silam.
Sebelum bekerja di Koperasi Ebier Suth, Mama Deli sudah akrab dengan perkebunan kakao di sana karena selama belasan tahun hingga awal 2000-an, bekerja di PT Coklat Ransiki (Cokran), yang mengelola kebun kakao tersebut. PT Cokran kemudian tutup karena pailit pada 2006.
Tutupnya PT Cokran mengakibatkan 600-an karyawan kehilangan pekerjaan. Para pekerja kontrak macam Deli akhirnya banting setir ke sumber penghidupan lain.
Selang beberapa tahun produksi kakao vakum, para mantan karyawan PT Cokran bersama Pemerintah Kabupaten Manokwari Selatan merencanakan pengoperasian kembali kebun kakao dengan harapan mengembalikan kejayaan cokelat asli Ransiki. Agar lebih luwes, entitas pengelolaan ditetapkan berbentuk koperasi.
Nama ”Ebier Suth” disematkan karena frasa dari bahasa suku Sougb, masyarakat asli Manokwari Selatan, tersebut bermakna ”membangkitkan kembali ”.
Koperasi Ebier Suth pun didirikan pada 2017, yang mayoritas pekerjaannya merupakan mantan karyawan PT Cokran. Nama ”Ebier Suth” disematkan karena frasa dari bahasa suku Sougb, masyarakat asli Manokwari Selatan, tersebut bermakna ”membangkitkan kembali”.
Menurut Abdul Rochim Arkan, koperasi saat ini baru mampu mempekerjakan 150 orang dengan 80 orang di antaranya bertugas di kebun, sedangkan sisanya di pabrik, bagian administrasi, serta pekerjaan penunjang lain. Sebanyak 99 persen dari seluruh pegawai merupakan orang asli Papua.
Kemampuan koperasi menggarap kebun masih minim jika dibandingkan skala operasi PT Cokran. Dari 1.668 hektar kebun kakao warisan perusahaan, koperasi baru mampu memproduksi biji di area seluas 140 hektar. Dari dulu, PT Cokran mampu menyuplai 100 ton biji kering per bulan, kini Ebier Suth baru memproduksi 4 ton biji kering per bulan.
Menjaga kualitas
Meskipun produktivitas belum sebesar dulu, Ebier Suth disiplin menjaga kualitas dan cita rasa biji kakao. Bibit yang hendak ditanam di area baru pun diupayakan dari pohon-pohon lawas. ”Jadi, kami sekarang takut kalau ada bibit-bibit dari luar. Jangan sampai mengganggu kakao yang ada di sini,” ujar Abdul Rochim.
Abdul Rochim menegaskan, pupuk kimia ”haram” dipakai di kebun kakao, baik dari era PT Cokran maupun Koperasi Ebier Suth. Kesuburan tanah ditunjang oleh pohon-pohon kakao itu sendiri. Proses alami yang kemudian menghasilkan produk organik bermutu yang diolah menjadi cokelat berkualitas tinggi.
Semua perjuangan mengawal mutu biji kakao itu membuat Ebier Suth dilirik Biji Kakao Trading Ltd, spesialis penyalur kakao berkualitas dari daerah-daerah di Tanah Air ke produsen-produsen cokelat siap konsumsi di banyak negara. Lewat Biji Kakao Trading, biji cokelat produksi mereka sudah melanglang buana ke pembuat cokelat di Swiss dan Perancis, meski koperasi baru berusia 3,5 tahun.
Pipiltin Cocoa, produsen cokelat yang fokus mendayagunakan kekayaan hayati Nusantara, turut mengambil cokelat Ransiki untuk menjadi cokelat batang yang dijual di gerainya, termasuk di mal Grand Indonesia, Jakarta Pusat.
Rasa gurih atau rasa umami yang ada pada cokelat Ransiki tidak dimiliki cokelat daerah lain di Indonesia. ”Itu spesialnya Ransiki. ”
Menurut salah satu pendiri Pipiltin Cocoa, Irvan Helmi, rasa gurih atau rasa umami yang ada pada cokelat Ransiki tidak dimiliki cokelat daerah lain di Indonesia. ”Itu spesialnya Ransiki,” ujar Irvan.
Sejak tahun 2017 hingga Februari 2021, Koperasi Ebier Suth telah mengirim 234,2 ton biji kakao kering ke para pemesan, termasuk Pipiltin Cocoa. Bisnis sejauh ini mendatangkan pemasukan total Rp 7,18 miliar bagi koperasi.
Gubernur Papua Barat Dominggus Mandacan mengungkapkan, kakao sebagai komoditas nondeforestasi telah ditetapkan sebagai salah satu komoditas unggulan di Papua Barat. Pemprov Papua Barat turut membantu mencari pasar di hilir, memperbaiki rantai pasok, dan membenahi produktivitas di bagian hulu.
Perjalanan memang masih panjang bagi Ebier Suth. Namun, upaya koperasi dengan memberdayakan warga lokal dan menjaga kualitas sudah dalam jalur yang tepat bagi cokelat Ransiki menuju kebangkitan hakiki.