Antre Berjam-jam, Sopir Truk di Padang Mengeluh Biosolar Langka
Sejumlah sopir truk yang mengisi biosolar di stasiun pengisian bahan bakar untuk umum atau SPBU di Kota Padang, Sumatera Barat, mengeluhkan sulitnya mendapatkan bahan bakar bersubsidi tersebut.
Oleh
YOLA SASTRA
·5 menit baca
PADANG, KOMPAS — Sejumlah sopir truk yang mengantre biosolar di stasiun pengisian bahan bakar untuk umum atau SPBU di Kota Padang, Sumatera Barat, mengeluhkan sulitnya mendapatkan bahan bakar bersubsidi tersebut. Mereka bisa antre berjam-jam. Padahal, Pertamina mengklaim jumlah stok biosolar banyak meski menyebut perlu dikendalikan agar tepat sasaran.
Di SPBU Tanjung Aur, Kecamatan Koto Tangah, Rabu (23/3/2022) siang, puluhan truk antre di pinggir jalan raya. Para sopir sudah mengantre di SPBU itu sejak pagi. Pasokan biosolar baru tiba dan dijual di SPBU itu sekitar pukul 13.00.
Edi (52), sopir truk pengangkut pupuk, mengatakan, ia antre di SPBU Tanjung Aur sejak pukul 06.00. Hingga sekitar pukul 13.00, gilirannya belum datang. ”Sudah empat hari ini saya mencari solar, tidak dapat. Kemarin-kemarin, tiba di giliran saya, solarnya habis. Baru hari ini mungkin, kalau dapat,” katanya.
Menurut Edi, akibat sulitnya mendapat biosolar, pekerjaannya mengantarkan pupuk ke Dumai, Riau, terhambat. Kondisi seperti tidak hanya dialami ketika di Sumbar, tetapi juga di Riau. Kesulitan mendapatkan biosolar dialami Edi dalam lima bulan terakhir.
”Harusnya sehabis bongkar baru bisa istirahat. Ini justru sekarang habis waktu untuk antre minyak. Saya berharap solar ini tidak langka lagi. Beralih ke Dexlite mahal, anggaran cukup untuk biosolar,” ujar Edi.
Pemandangan serupa juga terjadi di SPBU Aie Pacah, Rabu siang. Puluhan truk mulai dari roda empat hingga roda enam antre di pinggir jalan hingga 400 meter. Biosolar baru tiba dan dijual di SPBU tersebut sekitar pukul 13.30.
Andes (53), sopir truk cangkang sawit dan semen Padang-Indragiri Hulu, mengatakan, ia antre di SPBU Aie Pacah sejak pukul 10.00. Hingga pukul 13.30, gilirannya belum juga tiba. ”Sudah puas pula tidur di sini, belum juga dapat,” katanya.
Kata Andes, kelangkaan solar dialami sebulan terakhir. Tidak hanya di Padang, kondisi ini ia alami pula saat di Indragiri Hulu. ”Telantar pekerjaan saya. Mestinya bisa istirahat, tidak jadi istirahat. Ini sudah setengah hari antre,” ujarnya.
Sementara itu, di SPBU Lubuk Buaya, belasan truk sudah antre, Rabu pukul 12.00, meskipun biosolar baru akan dijual selepas waktu maghrib. Peri (35), sopir truk CPO rute Pasaman Barat-Padang, mengatakan sengaja antre lebih awal karena takut tidak kebagian biosolar.
”Kalau antre di SPBU yang ada solarnya sering tidak dapat pas giliran kita. Maka, sekarang antre di awal meskipun solarnya belum ada,” kata Peri.
Menurut dia, kelangkaan biosolar ia alami 2-3 bulan terakhir. Dampaknya, pekerjaannya jadi tersendat. Jika biasanya ia bisa mengantar CPO ke Padang tiga kali dalam sepekan, sekarang cuma bisa dua kali dalam sepekan.
Peri menjelaskan, ia tidak bisa beralih ke Dexlite karena harganya jauh lebih mahal, Rp 13.250 per liter. Adapun harga biosolar Rp 5.150 per liter. ”Uang jalan dari tauke cuma cukup untuk biosolar. Kalau pakai Dexlite, saya tekor, tauke juga tekor, karena ini hanya usaha perorangan,” ujarnya.
Ia berharap pasokan biosolar kembali normal. Selain menghambat pekerjaan, kelangkaan biosolar juga membuat Peri tidak produktif dan risiko kecelakaan meningkat.
”Kalau dapat solar siang, sore sudah tiba di rumah (di Pasaman Barat), sudah standby untuk memuat CPO besok paginya. Kalau dapat habis maghrib, tentu tengah malam tiba di rumah. Letih, sudah memuat barang lagi besok pagi. Efek sampingnya, mobil bisa masuk ke jurang atau tabrakan,” tuturnya.
Pengawas SPBU Aie Pacah, Zulhedi, mengatakan, antrean untuk mendaparkan biosolar di tempat itu sudah berlangsung dua bulan terakhir. Ia tidak tahu penyebabnya. Menurut Zulhedi, tidak ada pengurangan kuota biosolar di SPBU tersebut.
”Kuota biosolar untuk SPBU kami 16 kiloliter sehari. Baru dua kali di Maret ini yang dapat 8 kiloliter, Rabu ini dan Minggu kemarin,” katanya.
Zulhedi menjelaskan, biosolar sebanyak 8 kiloliter baru masuk pada Rabu pukul 13.30. Ia memperkirakan stok itu sudah habis pukul 18.00. Jika pasokan masuk 16 kiloliter pada pukul 08.00, biasanya pukul 18.00 sudah habis.
Ia menyebutkan, setiap orang dibatasi membeli biosolar maksimal Rp 600.000 atau sekitar 116 liter. ”Tujuannya biar truk lain juga dapat. Kasihan kalau sudah lama-lama antre tidak dapat,” ujarnya.
Pengawas SPBU Lubuk Buaya, Dolli Martha, mengatakan, pada Rabu tengah hari, biosolar belum tiba. Pasokan diperkirakan tiba sekitar pukul 14.00. Walakin, biosolar baru akan dijual selepas waktu maghrib.
”Dua hari ini diinstruksikan polsek setempat jual selepas maghrib. Selain menghindari kemacetan, juga karena antrean menghambat tempat usaha orang lain,” kata Dolli.
Ia melanjutkan, antrean truk membeli biosolar berlangsung 2-3 terakhir. Ia tidak tahu penyebabnya. Kuota SPBU juga tidak dikurangi, sekitar 8 kiloliter sehari. ”Mungkin terjadi antrean panjang karena solar tidak datang di semua SPBU dalam waktu bersamaan,” ujarnya.
Terkait kelangkaan biosolar, Area Manager Communication Relation & CSR Sumbagut PT Pertamina Patra Niaga Taufikurachman mengatakan, pihaknya menyalurkan bahan bakar ke SPBU sesuai kuota yang ditetapkan, termasuk biosolar. Pertamina juga mengalami kekurangan stok.
”Stok kami banyak. Namun, kami harus mendistribusi BBM bersubsidi agar tepat sasaran. Kami betul-betul mengendalikannya. Jangan sampai mobil bukan sasaran juga menikmatinya. Mobil bukan sasaran bisa gunakan Dexlite dan Pertamina Dex. Mobil roda enam ke atas tidak boleh. Untuk di Padang, kendaraan roda enam dibatasi cuma bisa membeli 100 liter,” kata Taufik.
Ia menjelaskan, hingga awal Maret tahun ini, untuk Sumbar terdapat 129 lembaga penyalur atau SPBU yang mendistribusikan solar dengan realisasi penyaluran sebanyak 92.366 kiloliter atau 22,47 persen dari kuota solar di SPBU yang ditetapkan BPH Migas pada tahun 2022 ini sebesar 411.028 kiloliter.